Polemik Data Keamanan BSI Bocor, Transaksi Nasabah jadi Error

Oleh : Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja

Sejumlah layanan perbankan PT Bank Syariah Indonesia (Persero) Tbk. atau BSI mengalami error atau gangguan selama berhari-hari sejak awal pekan ini, Senin, 8 Mei 2023. Pengamat teknologi dari ICT Institute Heru Sutadi menjelaskan, apa yang terjadi di BSI sangat mungkin menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat dalam ke sistem perbankan. “Sehingga memang OJK, Bank Indonesia, termasuk juga BSSN, Kominfo harus gercep (gerak cepat) untuk menangani masalah ini agar proses transformasi digital yang kita lakukan,” ujarnya pada Tempo, Ahad 14 Mei 2023.

Khususnya, kata Heru, jangan sampai masalah ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat untuk menggunakan layanan perbankan secara online, misalnya dengan mobile banking atau mobile payment. Pasalnya, saat ini penggunaan mobile banking sangat krusial dan merupakan tuntutan zaman. Selain itu, penggunaan sistem ini juga memberikan kemudahan bagi masyarakat. “Tapi di sisi lain, ancaman keamanan siber juga makin terbuka. Pintunya akan makin banyak,” ujar Heru.

Oleh sebab itu, kata Heru, pintu acaman keamanan siber harus terus diperhatikan dan diperkuat keamanannya. Dengan begitu, masyarakat semakin percaya dan ekonomi digital Indonesia juga meningkat, sehingga transformasi digital yang dilakukan di sektor perbankan membuahkan hasil. Lebih jauh, Heru mengatakan kemarin dikatakan sistem sudah pulih, tapi banyak masyarakat yang mengatakan masyarakat sistemnya belum pulih. Dia menilai, hal tersebut harus disampaikan kepada masyarakat secara transparan.

“Cuma dikatakan pulih bertahap, pulih bertahap ini sampai berapa lama? Dan siapa saja yang sudah bisa mengakses dan mendapatkan layanan? Jenis apa saja yang belum mendapatkan layanan dengan baik?” ucap Heru. Walhasil, dengan informasi yang simpang siur juga, akhirnya nasabah resah dan sangat mungkin jadi paranoid untuk mengakses bank. Ia juga mengingatkan tantangan dalam digital banking adalah tuntutan bahwa layanan berbasis digital haruslah digital trust dan memiliki keamanan siber yang baik.

“Artinya bahwa pelayanan digital itu faktor trust-nya menjadi faktor yang sangat penting dan utama,” ujar Heru. Adapun layanan BSI diketahui bermasalah sejak Senin, 8 Mei 2023. Pada Kamis, 11 Mei 2023 BSI telah melakukan konferensi pers yang menyatakan layanan telah berangsur-angsur pulih. Direktur Utama BSI Hery Gunardi sebelumnya juga telah menyampaikan permintaan maaf kepada para nasabah akibat gangguan sistem tersebut.

Ia menyatakan, selama pemulihan mobile banking, sebanyak 434 kantor cabang se-Indonesia akan tetap dibuka pada akhir pekan ini, Sabtu-Minggu, 13-14 Mei 2023. Sementara itu, nasabah BSI asal Jombang, Jawa Timur, Vita mengatakan gangguan layanan BSI selama beberapa hari telah membuat kepercayaannya turun. Tak cuma pada aplikasi mobile BSI, tapi juga pada semua sistem mobile banking-nya. “Gara-gara ini aku jadi menurunkan kepercayaan, kok BSI bisa sih kayak gini? Mendingan duit nggak aku masukin bank,” kata dia pada Tempo, Rabu, 10 Mei 2023.

Peristiwa ini mau tidak mau membuat animo masyarakat terhadap bank pelat merah berlabel syariah menjadi menurun. Padahal, pada saat yang sama, iklim ekonomi digital dan identitas Indonesia sebagai salah satu basis ekonomi syariah dunia tengah digencarkan oleh pemerintah.

Pada akhir Maret 2023 lalu, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh baru saja menobatkan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin sebagai Bapak Ekonomi Syariah Indonesia. Penobatan ini ditandai dengan peluncuran buku berjudul ‘KH Ma’ruf Amin: Bapak Ekonomi Syariah Indonesia’, di Auditorium Ali Hasyimi, Kampus UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Namun sayang, erornya layanan BSI nyatanya adalah tamparan keras sekaligus manifestasi runtuhnya kecongkakan jargon bombastis ekonomi syariah, terutama yang berbasis digital.

Oleh karenanya, sangat penting bagi kita untuk mendalami hakikat kelembagaan BSI yang tidak lain adalah lembaga perbankan. Pasalnya, meski sudah berlabel syariah, BSI tetap saja tumbuh dengan bernaung di bawah sistem ekonomi kapitalisme. Dalam kapitalisme sendiri, lembaga perbankan adalah salah satu mesin penyedot uang, selain pasar modal.

Berita Lainnya
1 dari 835

Di antara faktor penyebab tetap tegaknya sistem ekonomi kapitalisme adalah kelihaiannya melakukan tambal sulam. Tidak heran jika sampai detik ini, kapitalisme masih mampu bertahan kendati berulang kali mengalami krisis dan resesi. Pada titik ini, lembaga perbankan dan pasar modal adalah senjata untuk menyerap sisa-sisa uang (akumulasi uang) yang beredar di tengah masyarakat dalam wujud uang tabungan/celengan agar masuk ke kantong kapitalisme.

Terkhusus perihal lembaga perbankan yang bahkan disebut sebagai jantung ekonomi kapitalisme dan sangat diandalkan oleh ekonomi pasar bebas, lembaga ini adalah lembaga yang paling cepat mengakumulasi dana-dana dari rumah tangga masyarakat dengan jumlah yang sangat fantastis. Selanjutnya, dana dari masyarakat ini difungsikan untuk menggelembungkan perusahaan-perusahaan kapitalis agar makin besar dan besar lagi.

Bayangkan jika bank tidak ada, maka para kapitalis (pengusaha) akan kesulitan mendapatkan tambahan modal untuk memperbesar perusahaannya. Oleh sebab itu, bank merasa berkepentingan untuk memberikan bunga (riba) sebagai fasilitas bagi nasabah agar mereka tertarik menyimpan uangnya di bank. Pembesaran perusahaan kapitalis tersebut, selama ini kita kenal dengan istilah “pertumbuhan ekonomi”, yang sejatinya berupa pertumbuhan yang bertumpu pada utang dan penjualan kertas saham.

Inilah sebabnya pertumbuhan ekonomi kapitalisme juga dikenal sebagai pertumbuhan “bubble economy” (ekonomi balon). Ini karena dari penampakannya seolah-olah ekonominya tumbuh, padahal sebenarnya hanya membesar karena utang, bukan pertumbuhan ekonomi sektor riil. Namun tentu saja, bank tidak boleh menggunakan akumulasi dana dari masyarakat ini 100 persen untuk penyaluran kredit/utang. Bank harus menahan persentase kredit untuk kapitalis tersebut pada kisaran 85—90 persen saja.

Ini sebagai upaya antisipasi jika masyarakat sewaktu-waktu menarik dananya secara tunai dari bank. Tidak heran, ketika terjadi peristiwa seperti krisis moneter 1997-1998, yakni saat masyarakat berbondong-bondong dan mendadak menarik uangnya dari bank, bank pun kolaps dan tidak mampu menyediakan semua dana tersebut.

Memang, keberadaan layanan ekonomi digital, sebagaimana juga terdapat di sistem ekonomi kapitalisme saat ini, adalah wujud teknologi yang boleh kita ambil. Namun, ketika kapitalisme menggunakan teknologi itu sebagai mesin pengungkit roda ekonominya, kita harus jeli mencermati titik-titik yang masih boleh kita ambil sebagai konsekuensi keterikatan kita terhadap hukum syarak karena kita adalah muslim.

Keharaman riba sebagai fasilitas bank saat ini, tidak layak kita perdebatkan. Riba tidak boleh diambil. Terlebih karena demi motif promosi/pemasaran (marketing) bank, istilah riba saat ini makin banyak jenisnya, padahal tetap saja hakikatnya riba. Jika kita memang harus memiliki rekening di bank karena meyakini kebolehan teknologi keuangan tadi, hendaklah kita memilih jenis rekening yang tidak ada ribanya atau 0 persen bunga. Ini adalah upaya parsial yang bisa menjadi alternatif saat ini.

Namun demikian, solusi bagi sistem ekonomi saat ini tentu saja harus sistemis. Kita tidak bisa menggunakan sistem ekonomi berlabel syariah, tetapi tubuhnya tetap ekonomi pasar bebas, darahnya tetap uang kertas, jantungnya tetap lembaga perbankan dan pasar modal, serta pompa jantungnya adalah suku bunga. Sistem ekonomi Islam adalah satu-satunya solusi sekaligus motor untuk mengganti sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi Islam hanya dapat berjalan di bawah naungan sistem pemerintahan yang menjadikan ideologi Islam sebagai dasar negara, yakni Khilafah.

Mekanisme sistem ekonomi Islam dalam menggantikan sistem ekonomi kapitalisme adalah dengan mengganti seluruh organ beserta akad-akad transaksi ekonomi di dalamnya. Sistem ekonomi Islam meniadakan riba sehingga riba tidak akan memiliki celah sebagai instrumen pengembangan harta. Sistem ekonomi Islam juga menutup pertumbuhan pasar modal sehingga pertumbuhan ekonomi yang berjalan hanya ekonomi riil tanpa ada sedikit pun ekonomi nonriil.

Selanjutnya, distribusi kekayaan menurut Islam tidak berdasarkan mekanisme harga dan pasar bebas, melainkan dengan mendudukkan jenis-jenis kepemilikan beserta pengelolaannya menurut jenisnya tersebut, yakni meliputi kepemilikan individu, umum, dan negara. Islam tidak antiteknologi keuangan beserta digitalisasinya. Namun, ketika teknologi digunakan untuk menggerakkan ekonomi kapitalisme, kita layak kritis dan tidak begitu saja menerima realitas sistem ekonomi yang ada.

Sistem ekonomi Islam jelas hanya memberi ruang bagi terjadinya pertumbuhan ekonomi riil mengikuti syariat Islam kafah, bukan yang parsial sebagaimana kamuflase bank berlabel “syariah”, tetapi nyatanya tetap bernaung di bawah sistem ekonomi kapitalisme. Andai kata sistem ekonomi Islam meniscayakan penggunaan teknologi digital, penyelenggaraannya tentu akan profesional dan tidak mudah jatuh akibat serangan siber. Penguasa Khilafah akan memastikan penyelenggaraan teknologi keuangan tersebut sesuai dengan pilar-pilar politik pengurusan urusan umat dengan amal-amal terbaik.

Berlangganan via E-MAIL
Berlangganan via E-MAIL
Berita Menarik Lainnya

Situs ini menggunakan Cookie untuk meningkatkan Kecepatan Akses Anda. Silahkan Anda Setujui atau Abaikan saja.. Terima Selengkapnya