Oleh : Haryo Wibisono
Peminat Kajian Antropologi
Setelah pemilu ada satu kata unik yang hadir dalam perbincangan politik Indonesia yaitu keringat. Bisa disimak dalam berita dengan judul seperti ini: Erick Thohir: Menteri Jokowi Saya Harap yang Kemarin Berkeringat. Atau begini: Wasekjen Hanura: Erick Thohir Berkeringat, Kami Berdarah Tapi Tidak Ada Kursi.
Kedua tema berita itu berlangsung pada periode krusial perpolitikan seperti pembentukan kabinet yang berisikan menteri dan wakil menteri, sekaligus refleksi bagaimana jalannya distribusi kuasa oleh pemenang pemilu.
Keringat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti air yang keluar melalui pori-pori tubuh (karena panas dan sebagainya). Lazimnya, pengertian ini ada pada berita olahraga ataupun kesehatan. Misalnya, “Berolahraga yang baik akan membuat kalori terbakar sehingga mengeluarkan keringat’’.
Namun, saat menjadi kiasan keringat akan memiliki istilah yang cukup menarik, yaitu dengan keringatnya sendiri yang mengandung arti dengan usahanya (jerih payah) sendiri; makan keringat orang alias mengecap kesenangan dengan jalan memperkuda (memperalat) orang lain; keluar keringat keringnya yang berarti payah sekali; memeras keringat atau bekerja (berusaha) dengan sekuat tenaga.
Jika diringkas, maka elemen utama dari kiasan keringat adalah kerja keras, terkurasnya fisik, tenaga, biaya, mental, dan waktu. Sebagai simbolnya orang bekerja keras, keringat bisa menjadi tolok ukur seberapa berat tenaga yang dikerahkan untuk melakukan pekerjaan.
Namun, apakah keluarnya keringat adalah tanda kesungguhan dalam bekerja? Nanti dulu.
Seorang kolumnis Guardian, Ben Tarnoff menuliskan istilah yang menarik yaitu conspicuous production yang kurang lebih berarti tampilan seseorang yang sedang giat bekerja. Si orang akan memacu dirinya untuk melebih batas maksimal orang kerja; kerja berlebih akan dianggap sebagai pengakuan dirinya sebagai manusia berkemampuan adidaya dan pribadi yang giat bekerja.
Sosial media mampu memediasi keinginan orang yang ingin menunjukkan dirinya yang sedang bekerja. Kita bisa dengan mudah menyaksikan orang mem-posting laptop atau komputer, suasana kantor, tumpukan kertas, segelas kopi, sembari bersungut-sungut, “I Hate Monday’’. Orang yang melihatnya akan mudah menebak, informasi tersebut menandakan orang itu sedang bekerja, padahal bisa saja tidak.
Persoalannya bukan si orang itu bekerja sungguhan atau tidak, namun bagaimana ia menampilkan dirinya agar tampak sebagai orang yang bekerja, dan apa saja yang ditempuh oleh orang yang bersangkutan agar dirinya dikategorikan sebagai orang bekerja.
Pada beberapa literatur ilmu sosial, orang yang melakukan aktivitas fisik apalagi yang menguras keringat dianggap “pekerjaan kelas bawah’’. Kerja berkeringat identik dengan kerja kasar, orang tidak berpendidikan, hanya bisa diperintah, berupah rendah, dan pekerjaan penuh risiko terutama risiko kecelakaan bahkan kematian.
Saat kumpulan “manusia berkeringat’’ itu ditempatkan dalam satu lokasi, maka tempatnya disebut sweatshop, istilah lain dari tempat kegiatan produksi yang ditandai buruknya lingkungan kerja entah secara sosial ataupun kesehatan.
Sweatshop adalah tempat bertemunya pekerja informal, imigran gelap, atau pekerja cilik yang semuanya direkrut dengan satu kesamaan, yaitu asal mau kerja dan ilegalitas. Sementara sang bos, dia berbaju necis, duduk di ruang ber-AC, lobi sana-sini, menarik laba semaksimal mungkin, menekan ongkos produksi lewat upah yang rendah, dan membungkus kegiatan produksinya dengan istilah kerja sukarela –tidak diikat dengan hierarki manajemen formal.
Di sini keringat akan menjelma sebagai hal yang melekat dari relasi kerja; ada yang memperkerjakan, ada yang dipekerjakan; ada yang mengupah dan ada yang diupah; ada yang diperintah dan ada yang memerintah, begitu seterusnya. Cucuran keringat akan menjadi rekam jejak bagi orang tentang apa yang sudah dilakukan pada orang yang mempekerjakannya.
Lebih jauh lagi, keringat akan menjadi simbol pembeda antara mereka yang melakukan pekerjaan berat atau sekedar leha-leha. Secara simbolik, berkeringat akan teratribusi dengan cara untuk mendapatkan sesuatu yang lebih saat pekerjaan sudah selesai, sebaliknya orang yang tidak berkeringat akan dianggap merampas hasil jerih payah, ingin untung sendiri, atau mendapat bagian dari susah payahnya orang yang berkeringat.
Lama-kelamaan saya mulai paham, politik bukan sekadar urusan mengatur pembagian kekuasaan atau seni mengatur orang agar sesuai dengan tujuan kuasa. Namun, bagaimana caranya menebus keringat yang sudah tercecer sepanjang drama politik yang melelahkan.