Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Mediasi Penyelesaian Sengketa Tanah

×

Mediasi Penyelesaian Sengketa Tanah

Sebarkan artikel ini

Oleh : Husnayadi Herliza, SH.MH
Pemerhati Pertanahan

Dalam kenyataan sehari-hari permasalahan tanah muncul dan dialami oleh seluruh lapisan masyarakat. Sengketa pertanahan merupakan isu yang selalu muncul dan selalu aktual dari masa ke masa, seiring dengan bertambahnya penduduk, perkembangan pembangunan, dan semakin meluasnya akses berbagai pihak untuk memperoleh tanah sebagai modal dasar dalam berbagai kepentingan. Dapat dikatakan sengketa di bidang pertanahan tidak pernah surut, bahkan mempunyai kecenderungan untuk meningkat di dalam kompleksitas permasalahan maupun kuantitasnya seiring dinamika di bidang ekonomi, sosial dan politik.

Baca Koran


Selain penyelesaian sengketa melalui litigasi, di dalam sistem hukum nasional dikenal juga penyelesaian sengketa melalui lembaga di luar peradilan (non litigasi) sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Salah satu alternatif penyelesaian sengketa tanah adalah melalui upaya mediasi. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa secara alternatif telah menawarkan cara penyelesaian sengketa yang khas, dan dikarenakan prosesnya relatif sederhana, maka waktunya singkat dan biaya dapat ditekan.

Tipologi Sengketa Tanah

Coser, seperti dikutip Maria SW. Sumardjono (2008) menyebutkan, “Conflicts involve struggles betwesen two or more people over values, or competition for status, power, or scare resources’’. Jika konflik tersebut telah nyata (manifest) maka hal tersebut disebut sengketa.

Tipologi kasus-kasus di bidang pertanahan secara garis besar dapat dipilah menjadi lima kelompok, yaitu : a. Kasus-kasus berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah perkebunan, kehutanan, dan lain-lain; b. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform; c. Kasus-kasus berkenaan dengan ekses-ekses penyediaan tanah untuk pembangunan, d. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah; e. Sengketa berkenaan dengan tanah ulayat.

Rusmadi Murad (1991) menyebutkan, sifat permasalahan dari suatu sengketa tanah secara umum ada beberapa macam, yaitu : a. Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak; atau atas tanah yang belum ada haknya; b. Bantahan terhadap suatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak; c. Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang tidak benar; d. Sengketa lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis.

Baca Juga :  Tagar #KaburAjaDulu: Antara Kekecewaan Generasi dan Kesenjangan Ekonomi Dunia

Dalam konteks tipologi, BPN membagi sengketa pertanahan dibagi menjadi sengketa penguasaan dan pemilikan, sengketa prosedur penetapan dan pendaftaran tanah, sengketa batas/letak bidang tanah, sengketa ganti rugi eks tanah partikelir, sengketa tanah ulayat, sengketa tanah obyek landreform, sengketa pengadaan tanah, dan sengketa pelaksanaan putusan.

Prinsip Mediasi

Mediasi pada intinya adalah “a process of negotiations facilitated by a third person who assist disputens to pursue a mutually agreeable settlement of their conlict’’. Sebagai suatu cara penyelesaian sengketa alternatif, mediasi mempunyai ciri-ciri yakni waktunya singkat, terstruktur, berorientasi kepada tugas, dan merupakan cara intervensi yang melibatkan peran serta para pihak secara aktif. Keberhasilan mediasi ditentukan itikad baik kedua belah pihak untuk bersama-sama menemukan jalan keluar yang disepakati.

Arie S Hutagalung (2005) menegaskan, mediasi memberikan kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan. Dengan demikian, solusi yang dihasilkan mengarah kepada win-win solution. Upaya untuk mencapai win-win solution ditentukan oleh beberapa faktor di antaranya proses pendekatan yang obyektif terhadap sumber sengketa lebih dapat diterima oleh pihak-pihak dan memberikan hasil yang saling menguntungkan dengan catatan bahwa pendekatan itu harus menitikberatkan pada kepentingan yang menjadi sumber konflik.

Selain itu, faktor kemampuan yang seimbang dalam proses negosiasi atau musyawarah. Perbedaan kemampuan tawar menawar akan menyebabkan adanya penekanan oleh pihak yang satu terhadap yang lainnya. Pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi mempunyai kelebihan dari segi biaya, waktu, dan pikiran bila dibandingkan dengan berperkara di muka pengadilan, di samping itu kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administratif yang melingkupinya membuat lembaga pengadilan merupakan pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa.

Menurut Maria SW Sumardjono (2005), segi positif mediasi sekaligus dapat menjadi segi negatif, dalam arti keberhasilan mediasi semata-mata tergantung pada itikad baik para pihak untuk menaati kesepakatan bersama tersebut karena hasil akhir mediasi tidak dapat dimintakan penguatan kepada pengadilan. Supaya kesepakatan dapat dilaksanakan (final and binding), seyogyanya para pihak mencantumkan kesepakatan tersebut dalam bentuk perjanjian tertulis yang tunduk pada prinsip-prinsip umum perjanjian. Di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia pada umumnya mediasi lebih sesuai untuk diterapkan dalam kasus-kasus yang menyangkut kelangsungan hubungan antara para pihak, keseimbagan kekuatan antara kedua belah pihak, sengketa yang berjangka waktu singkat, atau sengketa yang tidak pasti hasil akhirnya bila dibawa ke pengadilan. Untuk Indonesia, kasus-kasus yang lebih sesuai untuk diselesaikan melalui mediasi adalah kasus-kasus yang segi hukumnya kurang mengemuka dibandingkan dengan segi kepentingan (interest) para pihak.

Baca Juga :  PERDA KEBUDAYAAN, "SAHIBAR" PROYEK SOSPER?

Dalam perkembangannya, terkait penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi telah diterbitkan Keputusan Kepala BPN No.34/2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, terakhir setelah beberapa kali perubahan diganti dengan Permen ATR/BPN No.11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan. Ditegaskan bahwa dalam menjalankan tugasnya menangani sengketa pertanahan, BPN melakukan upaya antara lain melalui mediasi. Dengan adanya aturan tersebut dapat menjadi jalan keluar bagi masyarakat yang memiliki permasalahan di bidang pertanahan, agar permasalahan dimaksud diselesaikan dengan cara yang efektif dan efisien melalui prosedur mediasi.

Dalam proses mediasi yang dipimpin oleh mediator, para pihak akan diminta untuk memberikan keterangan-keterangan dengan disertai bukti-bukti terkait permasalahan yang ada. Jika mediasi tersebut berhasil maka antar para pihak tersebut akan disusun perjanjian berdasarkan kesepakatan bersama. Namun jika upaya mediasi ternyata tidak berhasil mencapai kesepakatan, para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan melalui lembaga peradilan. Putusan atau kesepakatan mediasi tersebut bersifat mengikat sehingga dapat langsung dilaksanakan oleh para pihak yang bersengketa. Sesuai ketentuan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, kesepakatan atau perjanjian yang dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

Perspektif ke depannya, mengingat bangsa Indonesia terkenal dengan penyelesaian masalah melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, kiranya pemanfaatan lembaga mediasi dapat merupakan alternatif yang berdampak positif untuk penyelesaian sengketa pertanahan. Mediasi dilakukan dengan menerapkan pendekatan persuasif yang menitikberatkan win–win solution untuk kedua pihak dengan mengedepankan asas keadilan.

Iklan
Iklan