Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Menakar Teloransi Pada Kebhinekaan

×

Menakar Teloransi Pada Kebhinekaan

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ersa Rachmawati
Anggota komunitas menulis `Akademi Menulis Kreatif chapter Kalsel’

Natal kali ini tak berbeda dengan Natal tahun-tahun sebelumnya yaitu adanya perayaan Natal bersama, disebut-sebut ini adalah bentuk toleransi antar umat beragama, benarkah ?

Baca Koran

Di Banjarmasin sendiri puncak perayaan Natal Bersama digelar di Ballroom Grand Mitra Plaza Banjarmasin pada hari jum’at, 27 Desember 2019.

Setidaknya ada Sekretaris Daerah Provinsi Kalsel, H Abdul Haris, Kapolda Kalsel, Irjen Yazid Fanani, Wali Kota Banjarmasin, H Ibnu Sina dan Mantan Gubernur Kalsel, H Rudy Ariffin yang turut berhadir. (Tribun news.com/27-12-2019)

Natal bersama adalah perayaan Natal yang tak hanya dihadiri oleh umat Kristiani tetapi juga umat beragama lain termasuk umat Islam.

Indonesia memang negara yang Berbhineka dengan aneka ragam perbedaan didalamnya termasuk beragamnya agama yang diakui secara resmi oleh negara.

Bhineka Tunggal Ika menjadi slogan pemersatu dengan toleransi sebagai perekatnya. Toleransi memang diperlukan untuk menjaga harmoni, namun jangan sampai kebablasan dalam bertoleransi hingga melanggar aturan syari’at semata agar dikatakan sebagai umat yg toleran.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) toleran adalah  bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Jadi makna toleransi adalah saling membiarkan atau tidak melarang dengan adanya perbedaan tersebut dan bukan berarti ikut serta didalamnya.

Didalam syari’at Islam sendiri telah jelas ada larangan untuk mengikuti ibadah ritual umat lain diluar Islam, hingga sikap toleran sebenarnya cukup dengan membiarkan mereka melakukan peribadatannya tanpa ikut serta didalamnya, jangan sampai alasan toleransi aqidah tergadaikan.

Toleransi bukan Sinkritisme.

Sinkritisme adalah pencampradukan keyakinan, paham atau aliran kepercayaan. Hal ini terlarang dalam Islam. Contoh-contoh Sinkritisme adalah perayaan Natal bersama, pemakaian simbol-simbol agama lain, ucapan salam lintas agama, doa lintas agama dll. Sehingga kita harus berhati-hati jangan karena ingin dianggap toleran tapi justru kebablasan.

Baca Juga :  Hakikat Radikalisme dan Terorisme

Kenapa ummat Islam ingin sekali disebut toleran oleh dunia luar dan selalu ingin membuktikan bahwa Islam adalah agama yang toleran? Tidak lain karena secara politis dunia saat ini berada dibawah kepemimpinan negara-negara Barat yang sekuler kapitalis sehingga seakan-akan umat Islam berada pada posisi memelas-melas minta pengakuan dan tak percaya diri.

Narasi yang berkembang saat ini ada anggapan jika tidak mengucapkan selamat Natal atau perayaan agama yang lain akan dianggap intoleran atau radikal. Maka sebagai muslim yang berpegang pada syari’at tak perlu kiranya kita hiraukan stigma-stigma semacal itu.

Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya, maka mestinya kita berpegang teguh pada syariat dan tidak perlu mementingkan penilaian dunia luar.

Tanpa Sinkritisme toleransi tetap bisa kita lakukan untuk menciptakan harmoni dimasyarakat karena Islam adalah agama yang damai Rahmatan Lil ‘alamin.

Jika kita telisik lebih jauh sebenarnya dari mana munculnya paham Sinkritisme ini? Tidak lain paham ini muncul dari ideologi Kapitalisme Sekuler. Sekulerisme adalah ide pemisahan agama dari kehidupan, menurut ide ini semua agama disamakan kedudukannya, tidak ada agama yang mendominasi dan tidak boleh ada klaim kebenaran.

Dari sinilah terjadi pencampuradukkan agama. Setiap orang yang beragama semestinya meyakini bahwa agamanya lah yang benar dan agama yang lain adalah salah, karena kalau tidak yakin kebenarannya maka untuk apa menganut agama tersebut.

Ketika sudah yakin dengan agamanya maka berpegang teguhlah pada agama tersebut dan jangan mencampurnya dengan agama yang lain. Namun berpegang teguh pada suatu agama bukan berati tidak bisa toleran dan memaksakan agamanya pada orang lain.

Wujud Toleransi dalam Islam.

Secara nyata dapat kita saksikan saat ini ketika umat Islam menjadi mayoritas maka tidak ada penindasan bagi minoritas non muslim, meskipun hal tersebut tidak berlaku sebaliknya.

Baca Juga :  Socialpreneur, Menjembatani Perubahan Sosial atau Sekadar Tren?

Adapun gambaran nyata toleransi di dalam Islam dapat kita ketahui dari catatan sejarah ketika Islam diterapkan secara kaffah dalam sebuah negara.

Sebagai contoh pada masa Rasulullah Saw. di Madinah, ketika itu agamapun beragam, umat Islam, Yahudi dan Nashrani hidup berdampingan dan bebas menjalankan ibadahnya masing-masing.

Dimasa Kekhilafahan pun tolensi tetap terjaga tak kurang seorang orientalis dan sejarawan Kristen TW Arnold memuji toleransi beragama dalam negara Khilafah. Dalam bukunya, The Preaching of Islam : A History of Propagation of the Muslim Faith, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Khilafah Turki Ustmani telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa’’.

Dalam sistem Islam perayaan-perayaan keagaamaan umat non muslim dibiarkan untuk diadakan hanya saja akan dibatasi sebatas komunitas mereka saja tidak boleh mensyi’arkannya keluar apalagi mengajak kaum muslimin untuk terlibat di dalamnya.

Demikianlah Islam telah mengatur kehidupan antar umat beragama dalam suatu negara. Masing-masing harus bisa bertenggang rasa, toleran namun tetap menjaga kemurnian agama masing-masing. Wallahu’alam

Iklan
Iklan