Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Skandal Mega Korupsi, Kapitalisme di Negara Oligarki

×

Skandal Mega Korupsi, Kapitalisme di Negara Oligarki

Sebarkan artikel ini

Oleh : Fathul Jannah SST
Pemerhati Ekonomi dan Sosial

Kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya dinilai merupakan skandal terbesar di Indonesia, setelah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI. Maka dari itu, seluruh pihak penegak hukum mulai dari Kejaksaan Agung, Polri hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai harus ‘keroyokan’ mengungkap kasus ini. Hal itu diungkapkan Wakil Sekjen Partai Demokrat, Didi Irawadi dalam diskusi di Jakarta, Minggu 29 Desember 2019. Bahkan menurutnya, juga butuh panitia khusus untuk menghindari adanya dugaan yang tidak baik, karena sikap saling menyalahkan. (vivanews.29/12/2019)

Baca Koran

Jutaan rakyat Indonesia mungkin belum menyadari bahwa premi yang sudah dibayarkan ke Jiwasraya akan gagal bayar. Pun demikian, jutaan rakyat Indonesia tak menyadari ternyata BUMN tak berdaya dan dijadikan skandal. Nestapa rakyat Indonesia yang seolah dijadikan sapi perah demi memenuhi hasrat serakah manusia cinta dunia. Akankah nasib itu akan terus menghantui kehidupan rakyat Indonesia? Tahun 2020 menjadi tahun dinamis dan muncul skandal-skandal baru yang sistemik.

PT Asuransi Jiwasraya mengalami tekanan likuiditas sehingga ekuitas perseroan tercatat negatif Rp23,92 triliun pada September 2019. Selain itu, Jiwasraya membutuhkan uang sebesar Rp32,89 triliun untuk kembali sehat. Kementerian BUMN menyebut masalah yang terjadi merupakan kejahatan kerah putih (white collar crime), sebab kejahatan tersebut dilakukan dengan memanfaatkan ruang dari regulasi yang sudah ditetapkan oleh otoritas terkait. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya kerugian negara oleh Jiwasraya sebesar Rp10,4 triliun karena menggoreng saham investasi. Pihak yang terkait mulai tingkat direksi, general manager, dan pihak lain di luar Jiwasraya.

Pada Rabu (8/1/2019) BPK mengumumkan pernyataan resmi terkait skandal Jiwasraya. Salah satunya, laba perseroan sekal 2006 disebut semu karena melakukan rekayasa akuntansi publik (window dressing). Kejaksaan Agung (Kejagung) juga telah menerima laporan dari Kementrian BUMN terkait indikasi kecurangan di Jiwasraya. Selain Kejagung, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta juga menaikkan status pemeriksaan dari penyelidikan menjadi penyidikan pada kasus dugaan korupsi.

Baca Juga :  Akar Masalah Dunia Pendidikan

Skandal Jiwasraya ini membuktikan kesekian kalinya bahwa penguasa dan pejabat telah gagal mengurusi urusan rakyat. Pasalnya, rakyat selalu dipermainkan pemikiran, perasaan, dan jiwanya. Alhasil ada deprsesi sosial yang merusak tatanan kehidupan. Rakyat pun akan menunjukkan sikapnya yang ekstrem, terlebih mereka harus kehilangan uangnya. Ada hak-hak yang telah dikorbankan dengan tidak menunaikan kewajiban. Sungguh, kondisi ini juga mengonfirmasi tata kelola negara dan perangkat negara yang bobrok. Jauh dari ekspektasi yang diinginkan rakyat.

Menteri BUMN, Erick Tohir memang telah mengapresiasi BPK atas audit pada Jiwasraya. Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, dan OJK telah berupaya menyiapkan formula kesembuhan Jiwasraya. Pertama, membentuk anak usaha Jiwasraya Putra. Anak usaha tersebut tengah dijajakan kepada investor. Kedua, pembentukan holding asuransi yang kemudian akan menyuntikkan dana. Ketiga, kerja sama bisnis reasuransi melalui produk finansial reinsurance (Finre).

Ada keraguan solusi jitu dan mengentaskan Jiwasraya dari masalah. Persoalan Jiwasraya itu gigantik dan sistemik. Ibaratkan kanker stadium akhir. Cukup sulit menawarkan perusahaan bermasalah dan berskandal kepada investor. Apalagi di tengah ketidakpercayaan publik dan depresi sosial. Justru yang terjadi investor berpikir seribu kali.

Holding adalah perusahaan induk yang membawahi beberapa perusahaan lain yang berada dalam satu group perusahaan. Bagaimana bisa perusahaan sebelumnya bermasalah diperbaharui kembali? Sementara skandal dan persoalan mendasar belum diselesaikan. Holding bisa jadi upaya pengalihan tanggung jawab. Padahal publik butuh kepastian uangnya kembali. Belum lagi kerjasama reasuransi juga malah menambah masalah. Sebab, itu mengaburkan solusi sebenarnya. Alhasil tampaknya akan ada kebuntuan baru ditengah upaya menemukan tersangka utama.

Keserakahan Buah Negara Oligarki Sistem Demokrasi-Kapitalisme

Sebenarnya persoalan asset rakyat dan modal negara yang dikelola BUMN mengalami beragam persoalan tidak hanya terjadi pada Jiwasraya, karena daulat gurita kapitalisme sangat mencengkeram. Mulai dari skema pengelolaan BUMN model korporasi, keterlibatan lingkar kekuasaan untuk memanfaatkan BUMN bagi kepentingan kursi dan partai hingga cara-cara mencari untung yang sarat riba dan maisir/ atau gambling berujung krisis/kebangkrutan. Sebagai jalan keluarnya, negara memberi talangan. Ini adalah perampokan besar-besaran terhadap negara secara legal, yg menikmati hasilnya adalah segelintir kaum kapitalis, pemilik bank, elit BUMN dan kursi penguasa.

Baca Juga :  HARTA

Publik harus memahami jernih bahwa skandal perampokan uang negara, pencucian uang, korupsi, dan lainnya sering terjadi dalam sistem politik demokrasi. Begitupun ketika berpadu dengan ekonomi kapitalisme. Penguasa itu memang tak tahan godaan menumpuknya uang. Seolah ingin segera memanfaatkan untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.

Skandal Jiwasraya ini menjadi bukti, pertama, mengonfirmasi bahwa rakyat jadi korban abadi demi keserakahan sekelompok elit. Kedua, model asuransi dalam kapitalisme sesungguhnya bathil dalam pandangan Islam. Uang nasabah kerap diputar di pasar modal dan investasi abal-abal. Berkedok perusahaan tapi sesungguhnya mesin hisap uang rakyat. Ketiga, lembaga negara yang berwenang mengurusi rakyat tidak bekerja secara amanah. Di luar bicara sebagai sosok pelayan rakyat, faktanya rakyat dimanipulasi uang dan pendapatannya. Keempat, sikap destruktif demokrasi yang menyerang politisi dan pejabat negeri ini. Demokrasi yang bertumpu pada sekularisme dan liberalisme menghancurkan moral dan martabat pejabat. Kondisi perpolitikan pun penuh dengan ketidakpastian. Ujungnya rakyat dikorbankan. Demokrasi dikuasai oleh kaum oligarki sehingga makin jauh dari cita-cita untuk memakmurkan rakyat. Begitu pun kapitalisme menjadikan manusia serakah berorientasi kenikmatan dunia. Demi meraih tujuan menghalalkan segala cara. Biar kotor as
al nggak tekor jadi mottonya.

Alhasil, tanda kerusakan sistem demokrasi dan kapitalisme sudah di depan mata. Rakyat harus segera memutuskan kepercayaan lama itu untuk mengambil Islam sebagai solusi dalam kehidupan. Persoalan yang rumit, pelik, gigantik, dan sistemik ini diakibatkan karena pengabaian syariah Islam. Islam dibuang dari urusan kenegaraan dan mengurusi urusan rakyat. Saatnya mengambil sikap terbaik untuk meraih ridho-Nya. Wallahu’alam.

Iklan
Iklan