Iklan
Iklan
Iklan
OPINI

Lingkungan, Standar, dan Depresi

×

Lingkungan, Standar, dan Depresi

Sebarkan artikel ini

Oleh : Christian Uluan
Pemerhati Anak

Ketika ditanya tiga hal yang paling mempengaruhi hidupnya, kebanyakan anak dan remaja akan memilih keluarga, sekolah, dan teman. Mereka berada dalam lingkaran itu dari pagi sampai malam, dan berulang terus setiap hari. Kita semua mengalami hal itu. Tahun-tahun pertama kehidupan sampai masa peralihan menuju kedewasaan adalah masa ketika kita lebih banyak menerima informasi dari luar.

Android

Kita diajarkan tentang ini-itu, kemudian kita mengolahnya dalam sistem kognisi kita. Kita mengalami satu dan banyak peristiwa, kemudian kita merekamnya dalam ingatan kita. Kita melihat betapa kejam atau betapa indahnya lingkungan tempat kita tinggal, kemudian mengerti mana yang baik dan mana yang buruk. Kita mengalaminya.

Semua sepakat bahwa masa anak-anak dan remaja bagaikan harta berharga bagi setiap orang. Tentu saja tidak berlebihan. Sedikit-banyaknya kepribadian setiap orang ditentukan dari masa-masa ini. Namun, apa jadinya jika masa anak-anak dan remajamu dihabiskan dalam kurungan tembok rumah, dan tidak boleh bermain keluar? Atau, kebalikannya, masa anak-anak dan remaja dihabiskan di dunia luar, tidak mendapat perhatian dan tidak mendapat tempat dalam rumah? Tidak masalah!

Ya, seharusnya tidak masalah. Namun kenyataannya, anak yang tumbuh dalam kurungan tembok rumah, menjadi lebih pemalu dan pada satu titik merasa dirinya berbeda dari yang lainnya. Sedangkan, anak yang hidup di dunia luar dan tidak mendapat tempat dalam sebuah rumah (baca: keluarga), menjadi lebih trauma, dan pada satu titik juga, merasa dirinya berbeda.

Pertanyaannya, dari mana mereka tahu bahwa mereka “berbeda”? Bagaimana mereka bisa sampai pada kesimpulan bahwa seorang anak yang pemalu adalah pengecut, “nggak asik”, atau anak mami? Atau, bagaimana caranya seorang anak, yang tidak mendapat tempat dalam rumah, merasa dirinya berada satu level di bawah anak-anak lainnya, orang paling malang, atau orang yang ditakdirkan untuk dibenci?

Pertama, jawabannya tentu dari lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Tapi, yang paling memprihatinkan, kebanyakan dari mereka mulai mempersepsikan dirinya seperti itu ketika mereka mulai mengenal lingkungan sekolah. Entah siapa yang memulai, di sekolah kita terbiasa mendengar bahwa anak normal adalah anak yang punya kedua orangtua harmonis, hidup dengan bahagia di rumah, punya banyak teman di luar, dan menghabiskan waktu bermain yang cukup.

Memang begitulah idealnya masa anak-anak dan remaja. Dan, akan lebih sempurna lagi jika ditambah segudang prestasi di sekolah. Tapi berapa banyak dari anak yang pernah mengalami itu semua? Satu dari seribu, sepuluh ribu, sejuta? Tidakkah anak-anak yang tumbuh di dalam kurungan rumah atau yang tidak punya tempat di rumah adalah sama seperti anak-anak lainnya dan tidak berada bahkan satu jengkal pun di bawah anak-anak “normal” itu?

Harus diakui bahwa seorang anak dalam masa pertumbuhannya memang tidak seharusnya dibiarkan hidup dalam kurungan tembok rumah. Dia harus mengenal dunia luar. Juga, seorang anak tidak seharusnya dibiarkan keluyuran di luar rumah tanpa perhatian dan bimbingan dari rumah. Tapi, semua ini realitas yang terjadi di masyarakat Memaksakan hanya ada satu model “anak yang ideal dan normal” tidak masuk akal sama sekali, dan malah akan memperburuk mental anak-anak dan remaja yang lainnya.

Jauh lebih bijaksana jika menerima setiap anak dan remaja dengan segala latar belakangnya, dan membantu mereka melewati masa-masa emas ini tanpa perlu merasa “berbeda” dari anak-anak lainnya. Apa urgensinya memperbincangkan ini semua? Ini dia jawabannya.

Ada peningkatan tingkat depresi pada anak dan remaja hari-hari ini. Hal ini menjadikan anak dan remaja pada kelompok usia 15–19 tahun di Indonesia memiliki prevalensi depresi terbesar dibanding kelompok usia lainnya menurut penelitian yang dilakukan Karl Peltzer dan Supa Pengpid. Jika tidak mendapat perhatian serius akan berpotensi menjadi depresi berkepanjangan hingga usia dewasa.

Dan yang paling mengkhawatirkan, peningkatan tingkat depresi ini berbanding lurus dengan maraknya kasus upaya dan tindak bunuh diri belakangan ini. Menurut Ketua Dewan Pakar Badan Kesehatan Jiwa (Bakeswa) Indonesia dr. Nova Riyanti Yusuf, dari 30 persen dari 914 siswa di Jakarta yang terkena depresi, ada 16,6 persen di antaranya yang sempat berniat untuk bunuh diri.

Dari banyak kasus, bunuh diri karena depresilah yang paling rawan dialami seseorang yang punya masalah dengan masa anak-anak dan remajanya. Baik itu karena rasa trauma berkepanjangan yang dialaminya maupun krisis eksitensial yang membuatnya selalu bertanya-tanya, mengapa dia “terjebak” dalam dunia ini.

Ironisnya, dalam beberapa hal, kita memang menjebak mereka! Satu dan banyak standar yang kita ciptakan meletakkan mereka dalam barisan terbelakang masyarakat kita. Bahkan, sistem yang kita buat juga tidak banyak memberi ruang gerak untuk mereka, kecuali memperparah depresi yang mereka alami.

Pikirkan ini: seorang anak yang melewati hari-harinya di kurungan tembok rumah. Dia selalu punya kesempatan untuk tetap menikmati masa kanak-kanaknya. Namun, ketika berhadapan dengan satu dan banyak standar yang kita ciptakan, mereka merasa berbeda dengan anak-anak lainnya (alienated). Kita menuntut banyak hal, yang membuatnya berontak terhadap dirinya sendiri. Dia juga akan berontak kepada orangtuanya, berontak kepada lingkungan sekolah, dan orang-orang sekitar.

Bukannya membantunya, kita malah membuat standar baru, yang malah membuatnya mendapat stigma “anak nakal”, “pembangkang”, atau “durhaka”. Dia juga bahkan tidak bisa mengutarakan kegelisahan yang dialaminya, karena kita menciptakan standar bahwa “semua orang juga punya masalah, dan hanya orang lemah yang tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.”

Anak-anak itu, mereka seutuhnya adalah bagian dari kita. Kita tidak bisa menyuruh mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Ibarat kita memaksa orang yang terkena serangan jantung untuk menyetir sendiri ke rumah sakit. Tentu, kita tidak ingin mereka terjebak dalam depresi yang berkepanjangan sampai-sampai berniat menyakiti diri sendiri atau mengakhiri hidupnya sendiri. Karena nyatanya, bunuh diri tidak menyelesaikan masalah.

Dan lagi, mereka masih selalu dicintai. Jika tidak oleh orangtuanya, maka oleh satu dari antara temannya. Jika tidak oleh banyak orang di sekitarnya, maka oleh orang-orang yang pernah menikmati senyum bahagianya.

Mereka selalu punya kesempatan untuk bertumbuh. Tidak ada salahnya seorang anak yang dibesarkan oleh orangtua dalam kurungan tembok rumah. Jika kita tidak menghakimi latar belakang kehidupannya, dia selalu punya kesempatan untuk menjadi anak yang ceria, percaya diri, dan berbakat.

Tidak ada salahnya seorang anak yang dibesarkan tanpa kasih sayang kedua orangtua. Jika kita tidak menghinanya dan mengungkit-ungkit betapa “malang” masa lalunya, dia selalu punya kesempatan untuk menjadi anak yang tangguh, berani, dan menyenangkan terhadap semua orang yang ditemuinya. Siapa yang tahu, mereka akan menjadi apa esok?

Bahkan, ketika anak merasa dirinya berbeda, tidak ada salahnya memberi ruang untuk “memberontak”. Dia selalu punya kesempatan untuk mempertanyakan dirinya, tanpa perlu mendapat stigma bahwa dia “anak nakal”. Malahan seharusnya kita ikut membantunya melewati proses itu sampai dia paham bahwa tidak ada yang salah dengan dirinya.

Terakhir, ketika dia merasa putus asa dan punya niat mengakhiri hidupnya (suicidal), tidak ada salahnya ketika dia menceritakannya dengan terbuka. Kita hanya perlu mendengarkan, dan menunjukkan kalau kita hadir “seutuhnya”.

Dari 240 responden, seluruhnya terdiri dari orang-orang suicidal, yang diwawancarai Susan Stefan untuk bukunya Rational Suicide, Irrational Law, sebagian besar dari mereka membutuhkan orang lain untuk mendengarkan keluh kesah mereka, tentang apa yang membuat mereka depresi berkepanjangan sampai melakukan upaya bunuh diri. Agar kita melihat ada jurang antara apa yang mereka rasakan dan butuhkan dengan apa yang kita tuntut kepada mereka dengan satu dan banyak standar yang kita ciptakan. Agar kita menyadari bahwa stigma yang kita bentuk tidak membuat mereka merasa lebih baik dan malah memperburuk kondisinya.

Kalau kita bisa memberi perhatian sedikit saja lebih banyak untuk masalah ini, bukan tidak mungkin anak-anak dan remaja yang dahulu terjebak dalam depresi berkepanjangan, bahkan orang dewasa yang membawa trauma sejak anak -anak dan remaja, bisa kembali menemukan alasan untuk tetap hidup. Marsha Linehan, yang mengembangkan Dialectic Behavior Therapy untuk menangani suicidality, dulunya juga pernah mencoba bunuh diri.

Juga Kay Redfield Jamison, pakar bipolar disorder yang mendirikan banyak pusat krisis untuk orang-orang suicidal, pernah mencoba melakukan bunuh diri. Tapi, akhirnya, mereka berhasil bertahan. Karena, setiap orang selalu punya kesempatan yang sama.

Jika anak dan remaja mampu menerima dirinya dan tidak terbebani dengan satu dan banyak standar yang kita ciptakan, mereka akan menjadi orang-orang hebat yang bisa menaklukkan tantangan-tantangan yang lebih besar lagi menuju tahap kedewasaan.

Sebaliknya, jika kita tidak bisa menerima mereka, menuntut ini dan itu, memaksakan satu dan banyak standar untuk mereka, serta selalu memberi mereka stigma setiap kali mereka mengalami masalah yang justru merupakan reaksi dari standar yang kita ciptakan, mereka akan selalu memandang dunia ini dengan penuh keputusasaan dan tidak mampu bertahan menghadapi masalah-masalah yang lebih besar lagi di kemudian hari.

Iklan
Iklan