Oleh : Edi Subkhan
Pengajar Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang (UNNES)
Dalam setahun terakhir beberapa sarjana telah mengkritik kebijakan publikasi ilmiah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) yang menjadikan Scopus sebagai ukuran reputasi intelektual. Rizqy Amelia Zein (2018) misalnya menyatakan kebijakan tersebut justru mendorong banyak akademisi untuk melakukan kecurangan. Antara lain terlalu over mensitasi (mengutip, merujuk) karya sendiri dalam menulis karya-karya berikutnya yang belum tentu relevan, atau bahkan membentuk kartel sitasi (kutipan, rujukan) untuk saling mensitasi satu sama lain. Dikatakan curang karena kartel sitasi tersebut asal mensitasi walaupun topiknya tidak relevan antara karya yang disitasi dengan karya yang mensitasi.
Mensitasi sesungguhnya adalah upaya untuk membangun satu fondasi epistemologis yang kuat mengenai suatu argumen berdasarkan pada argumentasi ilmiah yang telah dikemukakan oleh para cendekiawan sebelumnya. Oleh karena itu, mensitasi karya terdahulu membutuhkan kejelian dan ketelatenan untuk menemukan karya yang topiknya berdekatan atau bahkan sama dengan karya yang sedang ditulis. Makin banyak sitasi relevan yang ditulis juga menunjukkan kepakaran sang penulis disebabkan oleh kekayaan dan penguasaan informasi mengenai tema tertentu yang ditulisnya. Kartel sitasi paradoks dengan hakikat dan nilai-nilai kecendekiawanan tersebut.
Cara berikutnya adalah langsung saja menulis manuskrip untuk dikirim dan terbitkan di prosiding (kumpulan paper akademis) konferensi internasional yang akan dipublikasikan dan diindeks oleh Scopus dan beberapa pengindeks internasional lain. Cara ini memang lebih praktis, tapi harus rela bayar lumayan. Praktis karena menulis di prosiding tidak ditelaah dan seleksi secara ketat, termasuk oleh Scopus (Surya Dalimunthe, 2018). Seleksi hanya dilakukan di level panitia penyelenggara konferensi dan penerbit internasional yang akan mempublikasikan prosiding. Sementara itu pihak Scopus tidak menyeleksi ketat substansi prosiding.
Ketika rata-rata institusi penyelenggara konferensi internasional butuh peserta banyak untuk menunjang operasional acara atau bahkan menangguk untung, tim penyeleksi (reviewers) tentu tidak akan mengetatkan proses seleksi manuskrip. Hal itu disebabkan oleh prinsip, makin banyak peserta konferensi yang ikut, makin banyak pula uang masuk ke panitia untuk membayar penyelenggaraan acara, honor tim penyeleksi, dan membayar ke penerbit internasional yang bersedia mempublikasikan prosiding hasil konferensi untuk diindeks oleh Scopus. Perlu diingat juga bahwa Scopus adalah bagian dari raksasa bisnis penerbit internasional, Elsevier. Artinya, ada perputaran uang di situ.
Sekarang bahkan muncul Event Organizer (EO) konferensi dan seminar. Mereka menawarkan pengelolaan acara konferensi kepada pihak perguruan tinggi sampai menjanjikan publikasi prosidingnya akan diindeks oleh Scopus. Apapun itu para dosen sekarang rata-rata kalau mendengar prosiding akan diindeks oleh Scopus akan tertarik ikut. Hal itu karena menerbitkan manuskrip di jurnal bereputasi internasional dan terindeks Scopus memang tidak mudah. Jurnal ilmiah yang sudah bereputasi memiliki kebijakan seleksi yang ketat. Soal kualitas substansi manuskrip pasti jadi perhatian utama, termasuk kebaruan, temuan, dan kontribusi keilmuannya.
Semua hal tersebut bermula dari kebijakan Kemenristek Dikti agar para dosen di lingkungan perguruan tinggi berpacu untuk berkontribusi meningkatkan jumlah publikasi ilmiah di kancah internasional. Motivasi untuk menyaingi Malaysia dan negara-negara tetangga terlihat betul. Sayang kemudian pemahaman jurnal bereputasi internasional tersebut disimplifikasi menjadi jurnal yang diindeks oleh Scopus. Bahkan karena sulit menembus jurnal yang diindeks Scopus, maka prosiding yang diindeks Scopus pun tidak apa-apa, yang penting Scopus. Hal inilah yang harus dikaji dan dipahami ulang.