Oleh: Mahrita Julia Hapsari
Pegiat Literasi
Sering speachles mendengar komentar ataupun usulan pejabat negeri ini. Terkadang sampai harus beristighfar dan menggelengkan kepala. Yang terbaru, ada usulan dari Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. Ia mengusulkan kepada Menteri Agama Fachrul Razi agar menerbitkan fatwa tentang pernikahan antartingkat ekonomi (tempo.co, 19/02/2020). Menurutnya, hal ini bisa mencegah meningkatnya angka kemiskinan.
“Di Indonesia ini kan ada ajaran agama yang kadang-kadang disalahtafsirkan, kalau mencari jodoh yang setara, apa yang terjadi? orang miskin cari juga sesama miskin, akibatnya ya jadilah rumah tangga miskin baru,” kata Muhadjir dalam sambutannya di acara Rapat Kerja Kesehatan Nasional di Jiexpo, Kemayoran, Jakarta, Rabu 19 Februari 2020.
Usulan ini tercetus oleh Muhadjir demi melihat data 5 juta kepala keluarga masuk kategori miskin. Dan jumlah tersebut berbanding lurus dengan meningkatnya penyakit seperti stunting.
Ide Pak Menteri memang khasnya sistem neoliberalisme. Negara berlepas tangan dari urusan rakyat, cukup membuat regulasi saja. Dan rakyat diminta menyelesaikan urusannya sendiri. Coba lihat bagaimana komentar para pejabat ketika rakyatnya dirundung kesusahan.
Ketika harga cabe naik, rakyat disuruh tanam sendiri. Ketika beras naik, rakyat disuruh diet. Listrik mahal, cabut meteran. Ketika rakyat curhat harga masker mahal, eh dijawab: siapa suruh beli? Sekarang dihadapkan dengan data kemiskinan, minta dikeluarkan fatwa agar orang kaya menikah dengan orang miskin. Katanya biar bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. Bisakah demikian?
Beberapa catatan saya untuk Pak Menteri demi melihat ide fatwa ini.
Pertama, Pak Menteri mesti belajar kembali tentang cinta, mungkin beliau sudah lupa. Pak, cinta itu tak bisa dipaksakan. Cinta itulah yang mendorong anak manusia saling mencari pasangan hidup dan akhirnya menikah.
Tentang mencari pasangan hidup, Rasul saw telah memberikan kriteria. Adapun hadits Rasul saw tentang kriteria pasangan, yaitu: “Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim).
Kedua, intervensi jodoh hanya akan membuat permasalahan baru. Rumah tangga akan berjalan penuh konflik dan bisa mengakibatkan perceraian. Konflik antara suami dan istri hanya akan melukai hati anak-anak. Apatah lagi jika sampai terjadi perceraian. Ketidakseimbangan jiwa pada anak-anak hanya akan menghasilkan generasi yang split kepribadian jika tak mau dikatakan rusak.
Ketiga, kemiskinan ini terjadi secara sistematis. Sistem neoliberalisme yang diterapkan di negeri ini, menyerahkan pengelolaan negeri kepada pihak swasta, termasuk pengelolaan SDA. Kekayaan SDA hanya dimiliki oleh segelintir individu. Kebermanfaatannya hanya berputar di sekitar kapital dan penguasa. Rakyat hanya dapat jalan yang berdebu, tanah longsor dan banjir.
Semestinya SDA dikelola oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sebagaimana amanah UUD 1945. Faktanya, SDA justru diserahkan kepada individu dan korporasi, dalam maupun luar negeri, atas nama investasi.
Salah satu ciri neoliberalisme yaitu mencabut subsidi pada setiap sektor kehidupan. Hal ini mempersempit nafas kehidupan rakyat. Satu diantaranya adalah sektor kesehatan. Tak ada jaminan kesehatan, karena telah diserahkan pengelolaannya pada pihak ketiga. Bukan gratis, tapi harus membayar iuran BPJS yang telah naik dua kali lipat awal tahun 2020 ini.
Melengkapi kemiskinan yang tersistem ini dengan sempitnya lapangan pekerjaan. Gempuran tenaga kerja asing sudah tak dapat dibendung lagi. Hal ini sebagai konsekuensi perjanjian dagang yang dibuat penguasa dengan negara lain. Akhirnya, bangsa kita menjadi budak di negeri sendiri. Ibarat ayam mati di lumbung padi. Ironis.
Jadi, intervensi jodoh tak bisa dan tak akan mampu menuntaskan kemiskinan. Akar masalah sistemik harus diselesaikan secara sistemik juga. Satu-satunya sistem yang bisa menyelesaikan masalah kemiskinan hanyalah sistem Islam.
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tak ditemukan orang miskin. Kesejahteraan merata di seluruh penjuru negeri. Penerapan syariat Islam secara kaffah telah melahirkan pemimpin yang bertakwa dan amanah. Pemimpin seperti ini akan menunaikan hak-hak rakyatnya dengan menjalankan kewajibannya untuk mengurusi urusan rakyatnya.
Benar-benar terealisasi janji Allah dalam surah Al-A’raf ayat 96: “jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”