Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Ketahanan Keluarga Perlu Syariat Islam

×

Ketahanan Keluarga Perlu Syariat Islam

Sebarkan artikel ini

Oleh : Maria Ulpah, S.Pd
Guru di Banjarmasin

Fakta kerapuhan keluarga memang sangat mudah ditemukan saat ini. Hajat hidup mendasarnya tidak terpenuhi. Ketika ada anggota keluarganya sakit, jangankan untuk mengobatinya, untuk merawatnya di rumah saja kekurangan karena tidak tersedianya pangan dengan gizi yang memadai. Kebersihan dan kesehatan rumah sulit didapat karena rumah yang tidak layak huni, sedikit akses terhadap air bersih dan sanitasi yang memadai. Mereka pun kesulitan saat hendak menyekolahkan anak, berat dalam membayar keperluan transportasi, listrik dan migas. Akibatnya keluarga menjadi rapuh, rentan diserang berbagai penyakit,disamping beban sosial, fisik, psikologis di luar batas kemanusiaan. Tak jarang berujung stres, kekerasan, perceraian dan berbagai kejadian buruk lainnya.

Baca Koran

Yang menjadi pertanyaan apakah Negara sudah optimal dalam perannya mengurusi urusan rakyatnya termasuk dalam menyejahterakan keluarga, ataukah hanya cukup perannya sebagai fasilitator antara keluarga dengan pengusaha saja? Adakah yang salah dari program yang diimplementasikannya? Ataukah ada yang salah pada cara pandang negara dalam mengurusi rakyatnya?

Mahalnya harga berbagai hajat pokok kehidupan, ketersediaan yang bermasalah serta rendahnya daya beli masyarakat adalah pil pahit yang harus ditelan jutaan keluarga. Tatkala negara mengukuhkan kehadirannya sebatas regulator, pemberi izin dan pembuat aturan sesuai kepentingan operator (korporasi). Hajat hidup keluargapun dibawah kendali korporasi, swasta murni maupun plat merah. Melalui sejumlah logika dan konsep batil yang menyertainya, seperti desentralisasi kekuasaan atau otonomi daerah, Public Private Partnership (kemitraan pemerintah dan swasta dalam melayani kebutuhan publik), anggaran berbasis kinerja dan lain sebagainya, Negara berperan sebagai fasilitator saja. Dan inilah sebenarnya sumber malapetaka yang dirasakan keluarga dan masyarakat.

Kesehatan. BPJS Kesehatan pelaksana program JKN yang diberikan hak oleh pemerintah menguasai hajat kesehatan publik Indonesiapun kian semena-mena. Rakyat dipaksa membayar premi dan tunduk pada ketentuan pelayanan kesehatan kapitalistik asuransi kesehatan massal. Berupa sistem rujukan, paket pembayaran case mix dan penggajian kapitasi. Disaat bersamaan pemerintah “memaksa” puskesmas dan rumah sakit pemerintah dikelola di atas konsep bisnis Badan Layanan Umum (BLU). Hasilnya, tidak saja membahayakan kesehatan dan jiwa masyarakat namun juga penistaan kemanusiaan yang luar biasa. Misal, tidak sekali dua kali diberitakan bayi disandera rumah sakit karena orang tuanya tidak mampu membayar. 

Pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah kembali gagal menjalankan tugas dan kewajibannya memenuhi hak pendidikan dasar dan menengah berupa pendidikan gratis berkualitas terbaik bagi semua anak bangsa. Program wajib belajar yang dari aspek peran pemerintah dipahami sebagai kewajiban negara dan pemerintah menjamin terselenggaranya pendidikan tanpa biaya, sungguh jauh panggang dari api. Jangankan wajib belajar 12 tahun, pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun saja masih jauh dari harapan. Terlihat antara lain dari hal-hal berikut : banyaknya siswa putus sekolah dan putus jenjang sekolah karena mahalnya biaya pendidikan, infrastruktur sekolah jauh dari memadai, diperkirakan ada 10.000 desa di Indonesia yang tidak memiliki sekolah. Dari sekitar 1,8 juta ruang kelas, hanya 466 ribu dalam kondisi baik. Dari 212 ribu sekolah, ada 100 ribu sekolah yang belum memiliki peralatan pendidikan. Buruknya kualitas infrastruktur sekolah, minimnya anggaran pendidikan di sejumlah daerah, kekurangan guru, distribusi guru tidak
merata, disamping persoalan kualitasnya.

Baca Juga :  Akar Masalah Dunia Pendidikan

Peran negara sebagai regulator dikukuhkan melalui formulasi kemitraan “Tri Pusat Pendidikan”, yaitu: satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat. Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh satuan pendidikan hanyalah penghubung antara masyarakat sebagai konsumen dan korporat sebagai penghasil jasa. Di antara turunan konsep “Tri Pusat Pendidikan” yang paling menonjol adalah konsep pengelolaan berbasis sekolah.

Adapun tentang konsep pengelolaan berbasis sekolah (Manajemen Berbasis Sekolah) yang merupakan wujud otonomi pada dasarnya merupakan komersialisasi pada pendidikan dasar menengah, meski telah nyata mudaratnya namun tetap diterapkan pemerintah. Melalui apa yang dinamakan “komite sekolah” (unsur dari sentra kemitraan dengan masyarakat), berdalih sumbangan dan peran serta masyarakat dan orang tua, satuan pendidikan dibenarkan memungut berbagai biaya yang tak jarang memberatkan orang tua.

Pangan. Pemerintah terus berlaku zalim, meneruskan berbagai program neoliberal pada bidang pangan khususnya. Pada aspek produksimisalnya, program food estate yaitu neoliberalisasi produksi pangan, dengan memasifkan investasi asing korporasi pangan. Disaat yang bersamaan pemerintah abai dalam men-support para petani kecil dan miskin dengan membiarkan terjadinya alih fungsi lahan dan kapitalisasi sarana produksi pertanian. Bahkan pemerintah semakin membebani petani dengan  program batil asuransi pertanian. Pada aspek distribusi kelalain negara terlihat antara lain dari keberadaan Badan Urusan Logistik (Bulog) yang semestinya berperan sebagai lembaga perpanjangan fungsi negara dikelola di atas paradigma untung rugi, bukan pelayanan.

Adapun rencana pemerintah memprivatisasi BUMN pangan dalam wujud holding company meniscayakan kian pupusnya aspek public service obligation dan fungsi pelayanannya. Semuanya ini meniscayakan pemenuhan hajat pangan publik dan keluarga berada dibawah kendali korporasi

Energi. Pemerintah kembali gagal menjamin akses masyarakat dan keluarga terhadap energi listrik dan migas gratis/murah dan berkualitas. Krisis listrik di banyak daerah masih saja terjadi yang ditandai dengan byarpet dan pemadaman bergilir yang tak  jarang tanpa kenal waktu. Akibatnya sangat fatal karena hampir semua teknologi yang diperlukan untuk kelancaran kehidupan sehari-hari keluarga dan masyarakat membutuhkan listrik. Mulai dari peralatan di dapur hingga di jalan raya, rumah sakit dan berbagai fasilitas umum lainnya. Kerugian materil dan immaterial sudah tidak terhitung. Tidak saja menyulitkan kehidupan namun juga mengancam keselamatan jiwa masyarakat. Ironinya ini terjadi ditengah-tengah maraknya pembangunan infrastruktur energi listrik dan potensi sumber daya energi listri yang berlimpah di negeri ini.

Baca Juga :  HARTA

Sementara harga listrik terus melangit, bahkan dilakukan pencabutan subsidi daya listrik yang lazim digunakan masyarakat dan keluarga miskin dan hampir miskin, di satu sisi, di sisi lain pemerintah terus memberikan kemudahan kepada para korporat untukmenguasai hajat listrik masyarakat, yang antara lain terlihat dari pembangunan mega proyek pembangunan listrik 35.000 Megawatt yang diperuntukan bagi kepentingan industri.

Logika neoliberal yang digunakan pemerintah dalam mengelola energi membuatnya begitu berani mengkhianati publik, disamping matinya rasa tanggungjawab. Pemerintah terus mengukuhkan diri sebagai regulator. Sehingga pengelolaan migas dari hulu sampi ke hilir berada dalam genggaman korporasi, baik milik swasta murni maupun pemerintah. Misal Blok Masela, yang terletak di Kabupaten Maluku Tenggara, perbincangan pengembangan blok ini masih dalam bingkai neoliberal. Blok East Natuna diserahkan pada Exon dan PTT. Blok East Natuna memiliki cadangan gas sebesar 46 triliun kaki kubik (TCF), lebih dari 4 kali lipat cadangan gas Blok Masela. Penetapkan formula harga gas baru yang dikaitkan dengan harga minyak dunia dan produk.

Ini semua menegaskan negara dan pemerintah yang menerapkan sistem politik demokrasi  tidak memiliki visi yang jelas dalam pengelolaan energi. Pengabaian hak-hak publik terhadap energi sudah harus diakhiri. Negara harus hadir sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung dan sepenuh dalam pengelolaan harta milik umum energi listrik maupun migas. Semua hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk sumber energi, dan layanan publik lainnya dalam bentuk gratis. Yaitu ketika negara hadir untuk menerapkan sistem kehidupan Islam berikut menerapkan konsep-konsep dan aturan yang benar dalam bingkai sistem Islam.

Yang dibutuhkan keluarga Indonesia adalah penerapan syariah Islam. Jelaslah yang dibutuhkan keluarga Indonesia hari ini bukanlah kehadiran negara dan rezim pemerintahan neoliberal yang menerapkan sistem kehidupan kufur dengan berbagai program batil dan agenda hegemoni, akan tetapi seorang pemimpin yang peduli terhadap rakyatnya.  Hanya Islam  yang akan melenyapkan kebatilan dan kezaliman. Karena syariat Islam hadir untuk menerapkan sistem kehidupan Islam beserta berbagai program sohih yang selaras dengannya. Memiliki visi yang jelas dalam melayani publik, perencanaan yang matang dan cermat. Yang semua ini menjadi kunci bagi terpenuhinya hajat hidup tiap individu di tengah masyarakat dan keluarga secara benar dan ma’ruf. Wallahu’alam

Iklan
Iklan