Oleh : Anggi Afriansyah
Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
Anak kami berusia empat tahun dan saat ini sedang bersekolah di TK kecil. Suatu hari sepulang sekolah ia bercerita kepada ibunya tentang pengalamannya di kelas. Ia bercerita dengan bersemangat bahwa beberapa hari di minggu tersebut beberapa orangtua siswa datang ke kelas. Ada tiga orangtua yang datang dan bercerita tentang hari besar yang masing-masing mereka rayakan. Tiga orangtua tersebut bercerita tentang Idul Fitri, Natal, dan Galungan.
Anak kami memungkas ceritanya dengan kesimpulan yang disampaikan oleh guru kelasnya, “Kata Miss, kita itu beda-beda, Bun.”
Sekolah tempat anak kami belajar terdiri dari beragam latar belakang. Di sekolah mereka saling bergaul. Sekolah memiliki beragam program untuk membuat anak-anak saling mengenal. Program bercerita tentang hari raya masing-masing agama adalah salah satu bentuk upaya untuk saling mengenalkan perbedaan yang ada. Setelah sesi tersebut, anak-anak diminta gurunya bercerita tentang hari besar yang mereka rayakan di rumah.
Pada momen lain, guru meminta anak-anak untuk bercerita ibadah apa yang dilakukan oleh tiap anak di rumah. Anak kami bercerita bahwa ia melakukan ibadah salat bersama ayah dan bunda juga pergi ke masjid. Ia mengatakan kepada kami bahwa beberapa temannya pergi ke gereja.
Apa yang diupayakan guru di ruang kelas tersebut sangatlah sederhana, namun berefek pada memori jangka Panjang anak-anak tentang perbedaan yang ada di sekitar mereka. Tak masalah kita berbeda, toh kita masih berteman. Perbedaan tidak menghalangi kita untuk saling bersaudara dan bantu membantu. Tidak ada alasan untuk membenci karena perbedaan.
Sejak Dini
Di media sosial menyebar beberapa gambar yang menurut saya dapat menjadi contoh sangat baik tentang membangun persahabatan lintas kultur. Children will play with everyone, until a parent tells them not to, demikian caption dari foto-foto indah tersebut. Membangun jarak terhadap kelompok yang berbeda merupakan konstruksi sosial sebab secara alamiah anak-anak tidak pernah membuat batas terhadap pertemanan yang mereka bangun dengan kawan sebayanya.
Peranan krusial dari lembaga pendidikan adalah mengokohkan perjumpaan di antara beragam anak yang ada di sekolah. Sekolah negeri punya peranan dominan karena input-nya sudah beragam. Dan, sekolah swasta yang relatif homogen perlu membangun upaya untuk membangun perjumpaan-perjumpaan substantif tempat anak-anak dapat mengenal secara lebih dekat teman-teman yang berbeda agama, suku, ataupun kelas sosial dari diri mereka.
Sejak dini “otot” pemahaman maupun praktik mengenai penghormatan terhadap keberagaman harus dikokohkan. Pada konteks ini pendidikan multikultural menjadi sangat penting. Pendidikan multikultural dalam pandangan Bhikhu Parekh (2008) dalam bukunya Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory merupakan lawan dari pendidikan monokultur yang membuat siswa cenderung menilai budaya dan masyarakat yang berbeda dengan dirinya menurut norma dan tolok ukur pribadi. Sehingga kelompok yang berbeda akan dianggap aneh bahkan tidak berharga. Pada akhirnya, pola pendidikan monokultur cenderung mengembangkan arogansi, ketidakpekaan, dan rasisme.
Sementara sistem pendidikan, dalam pandangan Parekh, perlu memberi ruang untuk menyadarkan posisi siswa sebagai bagian dari anggota komunitas etnis dan kultural, komunitas etnis, dan sebagai manusia. Pendidikan merupakan bagian dari humanisasi, bukan semata sosialisasi, yang dapat membantu siswa untuk menjadi manusia yang memiliki kapabilitas dan sensibilitas intelektual dan moral. Dengan demikian mereka akan betah dalam dunia manusia yang beranekaragam.
Pada titik ini pendidikan multikultural dibutuhkan. Pendidikan multikultural mendorong adanya dialog antar budaya. Pendidikan yang bebas dari prasangka dan bias etnosentrisme. Melalui pendidikan multikultural anak-anak bebas untuk mengeksplorasi dan belajar dari beragam kebudayaan dan perspektif yang berbeda.
Hambatan
Sayangnya, membangun pendidikan yang mampu membangun “otot” multikultural anak-anak tidaklah mudah. Meskipun dalam praktiknya banyak hal sederhana yang dapat diupayakan namun tidak mudah untuk mengimplementasikannya di sekolah.
Pengalaman saya mengunjungi beberapa sekolah negeri misalnya menunjukkan betapa sekolah belum memiliki program-program yang dikonstruksi untuk mempertemukan anak-anak dalam momen ketika mereka bisa saling belajar dengan pihak yang berbeda. Sekolah-sekolah negeri misalnya cenderung asyik dengan beragam program akademik yang harus dituntaskan. Itu tidak salah, karena pendidikan di Indonesia beberapa tahun belakangan memang cenderung membebankan diri pada konteks akademik.
Di sekolah-sekolah berbasis agama pun, tidak semua sekolah yang memiliki program khusus untuk membangun pola pikir anak-anak dalam menghadapi ragam perbedaan di Indonesia. Minim sekali sekolah berbasis agama yang memiliki visi dan misi untuk membangun cara pandang keberagaman bagi anak-anaknya. Sebab fokus sekolah adalah membangun keberagamaan yang kuat bukan keberagamaan. Bisa dipastikan, anak-anak tersebut akan gagap ketika menghadapi dunia yang begitu ragam. Sementara sekolah memproteksi mereka dari pemikiran yang begitu beragam.
Policy Brief MAARIF Institute for Culture and Humanity Vol. 1 tahun 2018 merekomendasikan dua poin penting agar sekolah tidak terjebak pada eksklusivitas. Pertama, perlu dilakukan kerja sama antara sekolah, orangtua, dan siswa untuk melakukan agar sekolah membuat beragam perjumpaan dan pergaulan lintas suku, agama, ras, dan budaya dalam bentuk kegiatan OSIS seperti dialog antarsekolah yang beragam dari sisi agama, suku, dan budaya.
Kedua, sekolah diharapkan dapat memperkuat kebinekaan dan ideologi kebangsaan melalui model ketahanan sekolah seperti anjangsana ke kelompok agama, suku maupun etnis yang berbeda.
Jika pemerintah serius dengan konsep merdeka belajar yang beberapa waktu lalu disampaikan oleh Mendikbud, maka program-program yang memungkinkan anak-anak untuk saling mengenal dengan beragam kelompok menjadi penting digiatkan. Peran pemerintah sangat krusial dalam membangun anak-anak yang memiliki cara pandang inklusif. Dengan demikian, anak-anak merdeka untuk berpikir dan belajar dengan ragam cara pandang serta tidak terkungkung dengan satu paradigma pemikiran.
Kita perlu mengikhtiarkan sejak dini pendidikan yang mampu membangun anak-anak yang memiliki cara pandang dan wawasan yang luas, sikap yang inklusif, egaliter, dan humanis. Jika tidak, kasus-kasus intoleransi, seperti terakhir terjadi di Tanjung Balai Karimun dan Minahasa, akan terus terjadi.