Oleh : Anton Kuswoyo, S.Si, MT
Akademisi Politeknik Negeri Tanah Laut
Ketua DPD Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Tanah Laut
Kini hampir seluruh Kabupaten/Kota di Kalimantan Selatan masuk kategori zona merah penyebaran Corona (Covid-19). Dari 13 kabupaten/kota, hanya Hulu Sungai Utara yang tidak termasuk zona merah. Pemerintah pun mengeluarkan imbauan, kebijakan, maupun surat edaran tentang social distancing, phycical distancing, dan stay at home (berdiam diri di rumah).
Berbagai instansi, kantor, bahkan sekolah dan kampus pun mengeluarkan kebijakan work from home dan learning from home (kerja dari rumah, dan belajar dari rumah). Mendadak kantor-kantor sepi, demikian pula sekolah dan kampus.
Memang penyebaran Corona ini sangat mengerikan. Bila ada satu orang positif Corona (istilah untuk orang yang sudah terkena Virus Corona), kemudian ia tetap beraktivitas seperti biasa, maka setiap yang berinteraksi dengannya akan terinfeksi juga. Satu orang menginfeksi 10 orang, 10 orang menginfeksi 100 orang dan seterusnya. Makin lama makin tak terkendali.
Virus Corona juga bisa dibawa oleh siapa saja, mulai penjual sayur sampai direktur, kuli bangunan sampai pegawai kantoran, tukang patri sampai perdana menteri, tukang tambal ban sampai pengusaha mapan, buruh kebun sawit sampai orang berduit. Intinya siapa saja bisa terinfeksi Corona.
Maka tidak ada cara lain, selain tetap stay at home, di rumah saja, sampai keadaan dapat dikendalikan. Sampai vaksin Corona dapat ditemukan. Meskipun kita semua tidak tahu sampai kapan? Sebulan, dua bulan, atau setahun, dua tahun? Semoga dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Kini Kota Banjarmasin sudah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSSB), menyusul Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Segala jenis perkumpulan/pertemuan baik kegiatan agama, akademik, politik, olahraga, hiburan, budaya dan lainnya, semuanya dilarang. Semua moda transportasi dibatasi jarak dan jumlah penumpangnya. Sekolah, kampus, dan tempat kerja diliburkan. Semua tempat ibadah ditutup. Ramadhan tahun ini pun tanpa sholat tarawih di masjid, termasuk tanpa acara buka puasa bersama yang selama ini selalu dirindukan. Tadarus Alqur’an juga di rumah masing-masing.
Tidak sedikit orang yang kehilangan pekerjaan bahkan penghasilan. Buruh bangunan, pedagang asongan, warung makan, mengalami penurunan penghasilan. Bahkan para buruh dan karyawan juga tidak sedikit yang dirumahkan. Penghasilan pas-pasan bahkan cenderung kekurangan, sementara setiap hari perlu makan. Kebutuhan anak sekolah juga harus ditunaikan.
Bagi orang-orang kaya, stay at home mungkin bukan masalah besar. Makanan tinggal beli. Uang tinggal transfer. Hampir tidak ada masalah berarti. Namun bagi kalangan menengah ke bawah, terutama yang penghasilannya berkurang, apalagi yang kehilangan pekerjaan. Stay at home merupakan masalah mengerikan.
Beras habis, uang menipis, sementara penghasilan kembang kempis. Ini tentu masalah besar bagi setiap keluarga agar mampu bertahan. Perlu kerjasama terutama suami istri dalam mengelola keuangan. Saling memahami di dalam mengisi kekurangan.
Maka stay at home pun tidak bisa dilakukan oleh seluruh warga. Tetap saja masih ada yang harus bekerja di luar, apapun risikonya. Demi memenuhi kebutuhan perut yang tidak bisa ditunda-tunda.
Bisa jadi dalam kondisi seperti ini, suami sebagai tulang punggung keluarga justru tidak punya penghasilan yang mencukupi kebutuhan keluarga. Oleh sebab itu perlu sikap saling pengertian oleh semua anggota keluarga. Baik istri maupun anak-anak harus turut serta.
Mau tidak mau pengeluaran harus dipangkas sebisa mungkin. Yang terbiasa makan lauk daging sapi atau ayam harus mau ganti tahu tempe atau ikan asin. Yang selama ini sering makan di restoran, mulai saat ini harus masak sendiri di rumah. Bersyukur bagi yang mendapat bantuan sembako dari pemerintah. Bagi yang belum dapat, harus tetap tegar dan tabah.
Stay at home harus disikapi dengan bijak, agar tidak menambah tekanan jiwa. Mungkin selama ini kita sangat jarang bisa berkumpul lengkap bersama. Maka pada moment ini bisa dimanfaatkan untuk membangun kedekatan lebih intens dengan seluruh anggota keluarga.
Banyak kegiatan bisa dilakukan di rumah. Bagi yang punya lahan kosong di sekitar rumah, kini saat yang tepat untuk memanfaatkannya. Berkebun atau beternak. Berbagai sayur bisa ditanam sendiri. Lumayan untuk mengurangi belanja sayur dan lauk.
Saling mahami, banyak bersyukur, berpikir positif, dan mengisi dengan kegiatan yang bermanfaat adalah pilihan bijak selama menjalani masa-masa stay at home. Sehingga keharmonisan keluarga akan tetap terjaga.
Sebaliknya jika di masa sulit seperti ini gaya hidup tinggi masih dipertahankan, tidak mau beradaptasi dengan keadaan, saling menuntut dengan pasangan, akibatnya justru keretakan dalam hubungan pernikahan. Memang, dalam kehidupan rumah tangga kesetiaan istri diuji saat suami tidak punya apa-apa. Pun demikian sebaliknya, kesetiaan suami diuji saat suami memiliki segalanya. Maka jadilah pasangan yang setia, apapun kondisinya diatasi bersama-sama.
Sebenarnya di masa sulit ini juga sangat baik bagi kita untuk instropeksi diri. Kita perlu mengoreksi, sebenarnya penghasilan kita selama ini habis untuk apa saja? Yang pasti untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Tapi jika habis hanya untuk itu saja maka selama hidup, kita sulit untuk meningkatkan kesejahteraan. Kalau di masa sulit ini kita tidak punya tabungan, sudah cukup menjadi bukti bahwa selama ini penghasilan selalu habis tiap bulan.
Penghasilan kita selama satu bulan, sebaiknya harus ada yang disisihkan meskipun sedikit. Langkah paling aman ialah disisihkan untuk ditabung. Setelah sekian tahun, tabungan tadi bisa dibelikan tanah, kebun, atau untuk membangun ruko kemudian disewakan. Bisa juga untuk membangun kos-kosan atau kontrakan.
Tanah, kebun, ruko, kos-kosan, kontrakan inilah yang dalam ilmu ekonomi disebut aset. Aset nilainya makin tahun makin tinggi. Bahkan aset juga akan mendatangkan penghasilan rutin meskipun kita tidak bekerja. Penghasilan jenis ini disebut passive income.
Akan berbeda hasilnya jika uang tabungan tadi dibelikan mobil baru yang hanya sekedar untuk memenuhi gaya, bukan untuk kebutuhan utama. Maka mobil tadi nilainya makin tahun makin menyusut. Bahkan tiap hari, minggu, bulan, dan tahun, kita rutin merogoh kocek untuk mobil tadi. Beli bensin, biaya servis, dan bayar pajak. Mobil tadi, termasuk liabilitas, yaitu kekayaan/barang yang justru memerlukan biaya rutin. Berbeda jika beli mobil sesuai kebutuhan, disesuaikan kemampuan dan pekerjaan, bahkan malah bisa mendatangkan penghasilan. Maka mobil dikategorikan aset. Aset yang bisa mendatangkan penghasilan, liabilitas justru mengurangi penghasilan.
Wabah Corona ini bisa jadi menjadi titik balik bagi kita semua untuk lebih baik lagi kedepannya. Baik pola hidupnya, baik ekonominya, baik pendidikannya, baik hubungan dengan keluarga dan sesama, serta baik hubungan dengan Sang Pencipta.
Semoga wabah Corona segera berlalu, agar kita bisa memulai hidup baru yang lebih terencana dan lebih harmonis.