Oleh : Gumaisha Syaukia Azzalfa
Angka pernikahan usia dini di Kalimantan Selatan masih sangat tinggi, untuk menurunkannya dalam rangka menciptakan generasi yang berkualitas, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menggelar kuliah umum di Universitas Lambung Mangkurat (ULM), yang tidak hanya diikuti mahasiswa setempat tetapi lintas kampus seperti UIN Antasari serta beberapa PTS di Banjarmasin. Kuliah umum yang disampaikan Inspektur Utama BKKBN, Agus Sukiswo, menyasar mahasiswa sebagai remaja yang akan memasuki usia produktif untuk menikah, diantaranya dengan promosi GenRe (Generasi Berencana), Senin (16/3/20).
“Kita menyasar generasi milenial. Kita berikan pemahaman terkait kesehatan reproduksi termasuk penikahan dini agar tidak terjadi lagi,’’ ucap Inspektur Utama BKKBN, Agus Sukiswo. Melalui rebranding logo BKKBN yang telah diluncurkan awal tahun lalu, kaum milenilal akan dilibatkan dalam hal memberikan masukan terkait target yang ingin dicapai. “Saya kira ini bisa mendongkrak target-target BKKBN seperti TFR (total fertility rate) dan CPR,” sebut dia. (Banjarmasin, KP)
Tingginya angka perkawinan anak di Indonesia mendapat atensi tersendiri dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Guna menekan angka perkawinan usia dini dan mencegah dampak luasnya, termasuk stunting, Kemenkominfo mulai terjun ke daerah untuk menggencarkan sosialisasi. Salah satunya di Kabupaten Boyolali.
Kabupaten berjuluk Kota Susu ini selama ini juga identik dengan tingginya kasus perkawinan anak usia dini atau di bawah 18 tahun. Terkait fenomena itu, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) RI menggelar sosialisasi melalui media tradisional wayang kulit, Jumat (14/2/2020) malam. Sosialisasi digelar dengan tema Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak dalam Rangka Percepatan Penurunan Stunting. (BOYOLALI, JOGLOSEMARNEWS.COM)
Salah satu masalah serius dalam perkembangan yang masih banyak dialami anak di Indonesia adalah stunting. Menurut situs resmi WHO, stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Menurut UNICEF (The United Nations Children’s Fund), stunting menandakan gizi buruk kronis selama periode emas tumbuh kembang anak di usia dini. Untuk mengatasi masalah ini, Kementerian Kesehatan melakukan sederet program demi menekan kasus stunting di berbagai daerah.
Penyebab masalah yang rawan terjadi di Indonesia adalah karena pernikahan usia dini yang masih marak. Usia ayah dan ibu yang masih terlampau muda membuat risiko stunting menjadi meningkat. Stunting sendiri merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama. (GridHEALTH.id)
Pada faktanya kekerasan perempuan dan anak perempuan juga bukan hanya terjadi pada kalangan pernikahan dini, melainkan juga terjadi pada pernikahan dewasa. Hal ini juga dipicu oleh pemahaman kedua belah pihak antara laki-laki dan perempuan. Yang mana diantara keduanya kurang memahami hak dan tangungjawab menjadi seorang istri dan suami. Tak ubah banyak seorang istri yang membangkang kepada suami, pun juga banyak suami semena-mena terhadap istrinya. Sehingga jelaslah yang menjadi perkara bukan permasalahan usia pernikahan melainkan hal tersebut diatas.
Usulan perubahan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun menjadi kabar gembira bagi para kaum feminisme. Ya, karena mereka mengangap bahwa pernikahan dini merupakan bahaya nyata bagi kaum perempuan. Dimana hak perempuan menuntut ilmu, bekerja diranah publik harus terenggut dan digantikan menjadi tugas seorang istri.
Kaum feminisme beranggapan bahwa seorang perempuan yang hanya menjadi istri, dan berada di rumah guna mendidik anak dan pengatur rumah tangganya merupakan seseorang yang terkungkung haknya oleh kaum lelaki, sehingga tak heran jika mereka terus mengaungkan agar perempuan harus setara dengan kaum laki-laki yang bisa bekerja di ranah publik dengan berbagai dalih, salah satunya bahaya pernikahan dini.
Mereka juga berpendapat bahwa perempuan adalah sosok yang berdiri sendiri dan terpisah dari laki-laki. Ketika suatu permasalahan menimpa perempuan, dianggap sebagai permasalahan perempuan dan bukan permasalahan laki-laki.
Oleh karena itu, perempuan sendiri lah yang harus memperjuangkan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, tidak boleh campur tangan laki-laki. Mereka berusaha keras untuk mengangkat perempuan dari lubang lumpur ke permukaan sesuai dengan perspektif yang ada di benak mereka.
Dengan begitu, menurut mereka perempuan akan mampu eksis sebagaimana laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat. Akhirnya mereka terkungkung dalam pembahasan kebebasan dan kemandirian menurut perspektif kapitalis.
Inilah propaganda kaum feminisme yang terus menggikis identitas perempuan yang sesunguhnya, yaitu sebagai ummu wa robatul bait. Peran media Barat pun berhasil menciptakan profil muslimah yang tertindas, sehingga di zaman modern ini pemahaman tentang Islam sudah kuno dan kaku terbius oleh godaan feminisme yang menjanjikan kesetaraan gender dan kebebasan hak perempuan tak terbatas. Sehingga banyak perempuan-perempuan muslimah saat ini yang terjebak didalamnya.
Namun, pada kenyataannya perempuan tidak akan pernah merasakan kebahagian, ketenangan, dan terpenuhi hak-haknya dalam sistem kapitalisme ini, yang ada hanyalah mereka akan terus terekploitasi dari berbagai segi.
Islam sebagai agama dan peraturan hidup manusia. Dia memandang perempuan sebagai mahkota yang harus dilindungi dan dihormati. Karena dari tangannyalah tercipta para generasi-generasi penerus masa depan yang gemilang dan cerdas.
Di dalam Islam tidak pernah disebutkan secara pasti batas minimum usia pernikahan, yang disebutkan hanyalah ukuran kemampuan menikah. Hal ini didasarkan hadist riwayat Imam Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud. Rasulullah bersabda, “Hai pemuda, siapa diantara kalian yang telah mampu maka menikahlah. Menikah itu menundukkan pandangan dan lebih baik untuk kemaluan. Namun siapa yang belum mampu maka hendaknya ia puasa, karena itu lebih baik baginya”.
Sehingga jelaslah bahwa tidak ada batasan usia dalam pernikahan yang ada hanyalah syarat pernikahan, dimana antara laki-laki dan perempuan harus sudah mampu secara finansial. Mereka pun telah mengetahui hak dan kewajiban mereka sebagai seorang suami dan istri.
Pun juga penyelesaian masalah perempuan. Islam mengizinkan perempuan bekerja di ranah publik sebagai pendamping para suami sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Namun, disaat dia terjun ke ranah publik, negara tidak membiarkan mereka begitu saja seperti dalam sistem kapitalis saat ini. Ada batasan-batasan dan aturan interaksi antara perempuan dan laki-laki sesuai syariat Islam. Pun juga tidak menghilangkan peran hakiki mereka yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangganya.
Negara juga memenuhi kebutuhan hidup mereka. Nafkah mereka ditangung oleh para suami, sehingga mereka tidak perlu bekerja di luar rumah guna membantu kehidupan keluarga mereka. Sehingga mereka bisa fokus mendidik anak menjadi generasi-generasi pemimpin masa depan.
Tak hanya itu negara pun berperan aktif membendung situs-situs perusak moral generasi, seperti situs porno, LGBT, sek bebas, dan lain sebagainya. Serta pemberian sanksi tegas terhadap pelaku pelecehan seksual.
Sehingga jelaslah hanya dengan Islam kekerasan terhadap perempuan tidaklah terjadi dan perempuan akan senantiasa terjaga kehormatannya. Dia akan mendapatkan kebahagian, kedamaianya dan ketenangan. Wallahu A’lam Bisshawab.