Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Penentuan Awal Ramadhan, Hisab Atau Rukyah

×

Penentuan Awal Ramadhan, Hisab Atau Rukyah

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ismail Wahid
Mantan Tim Hisab Rukyah Pengadilan Agama

Bulan Sya’ban akan segera berlalu dan kita akan memasuki awal bulan Ramadhan 1441 H. Dalam menentukan permulaan awal dan akhir Ramadhan, umat Islam dari berbagai pelosok tanah air, sering kali terjadi perbedaan bahkan sering menjadi masalah yang sensetif dan sangat dikhawatirkan Pemerintah. Kenapa tidak, karena mereka saling mengklaim merekalah yang paling benar dalam memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan.

Baca Koran

Di lndosesia, sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintah dalam penentuan

permulaan dan akhir Ramadhan mengungunakan rukyah (melihat bulan), tetapi bukan berarti meninggalkan hisab. Melainkan hisab dipersiapkan sebagai sarana untuk kesuksesan melihat bulan, karena hisab adalah sebagai alat pembantu guna suksesnya rukyatul hilal. Pemerintah menganut aliran rukyah, sehingga melihat bulan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi, jika hisab (perhitungan) menunjukan bahwa hilal telah wujud dan

mungkin dapat dilihat, maka Pemerintah tidak akan mengamalkan hisab tersebut. Disamping itu orang-orang yang menggunakan rukyatul hilal (melihat bulan) seperti yang diumumkan Pemerintah adalah benar-benar ahli dan memenuhi persyaratan-persyaratan serta disumpah atas kesaksiannya dan yang melihat bulan tersebut sekurang kurangnya 2 orang laki-laki yang adil. Sikap pemerintah seperti ini sejalan dengan hadits Rasulullah SAW.

yang berbunyi, ” Berpuasalah kamu karena nelihat bulan, dan berbukalah kamu karena melihat bulan, bila bulan tertutup awan, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban 30 hari”.

Untuk mengetahui secara pasti seberapa besar hilal di atas ufuk dapat dilihat, ulama berbeda pendapat. Menurut Syekh Muhammad Dumairi Al Batawi dalam Kitab Sullamun Nayyiraini, hilal baru dapat dilihat apabila tingginya minimal 5’0 atau lebih. Sementara ulama lain berpendapat 8’0, 7’0, 6’0, 5’0, atau 4’0, pada saat matahari terbenam.

Baca Juga :  AL-BANJARI

Kemudian menurut hasil yang diterima Badan Hisab dan Rukyah Kemanterian Agama, bulan setinggi 2’015′ sudah dapat dilihat di Pelabuhan Ratu, Sukabumi.

Apabila ketentuan Hisab ini menunjukan secara pasti bahkan hilal tidak mungkin dilihat, karena wujudnya di atas ufuk sangat kecil atau masih berada di bawah ufuk, kemudian ternyata ada orang yang mengaku telah melihat hilal, maka pengakuannya itu tidak dapat diterima dan ditolak pula kesaksiannya, karena hisab itu qath’i dan kesaksian adalah bersipat zhanni. Hal ini diterangkan dalam Kitab Khulasatul Wafiah fi Falaki Bijadawil Al Lugharitiniyah, yang berbunyi, “Telah berkata Al ’Alamah Al ’Ubadil, Jika hisab qath’i menunjukan secara pasti bahwa hilal itu tidak mungkin dapat dilihat, maka tidak diterima perkataan orang yang mengaku melihatnya, walaupun orang tersebut adil dan dan tidak pula diterima kesaksiannya”.

Selain aliran rukyah, umat Islam Indonesia ada juga yang menetapkan permulaan dan akhir Ramadhan dengan menggunakan hisab semata, tanpa harus melakukan rukyatul hilal. Jika hisab menunjukan hilal telah wujud di atas ufuk tanggal 29 Sya’ban, maka keesokan harinya mereka berpuasa Ramadhan. Hal ini didasarkan pada Kitab Syarkawi at Thahrir juz 1 halaman 419 yang berbunyi, “AhIi hisab boleh mengamalkan hisabnya dengar wujudnya hilal dan rukyahnya atau dengan wujudnya hilal tetapi terhalang rukyahnya ”.

Sementara itu dalam Kitab Kasyifatus Saja, halaman 109, menyebutkan, “Tetapi wajib ahli hisab mengamalkan hisabnya, demikian pula orang-orang yang membenarkannya”.

Selain perbedaan metode penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal, umat lsIam Indonesia. Juga dijumpai perbedaan jumlah hari berpuasa Ramadhan. Berdasarkan hisab hakiki, jumlah hari puasa Ramadhan tidak tentu, kadang-kadang 29 hari dan terkadang 30 hari. Namun ditemukan pula ada yang berpuasa tidak pernah kurang dari 30 hari, hal ini karena mereka mendasarkan pada hisab ‘urfi dengan landasan Tajul MuIuk. Karena

Baca Juga :  Surga Dunia

menurut mereka, bulan Sya’ban itu 29 hari, Ramadhan 30 hari dan bulan Syawal 29 hari dan begitu seterusnya secara bergantian. Padahal Rasululah SAW. semasa hidupnya telah mengerjakan puasa 9 kali Ramadhan, delapan kali 29 hari dan hanya satu kali beliau berpuasa genap 30 hari dan beliau bersabda, bahwa bulan itu kadang-kadang 30 hari dan terkadang 29 hari.

Sebagai orang awam, tidak punya kemampuan menguasai ilmu falak dan tidak

sanggup melakukan perhitungan hilal dan demi persatuan serta menghindari perpecahan dikalangan umat Islam, maka sudah seharusnya kita mengikuti pengumuman Pemerintah dalam hal inl Menteri dari Kementerian Agama yang menetapkan 1 Ramadhan dan 1 Syawal nanti. Karena hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 59 yang berbunyi, “Wahai orang-orung yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan di antara kamu)”.

Begitu juga kemudian dalam Kitab Al Iqna juz 1 halaman 20 menyebutkan, “Semua orang wajib berpuasa, apa bila Pemerintah telah mengumumkan tentang awal Ramadhan dengan disaksikan oleh orang yang adil”.

Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka sebagai kaum Muslimin wajib mengikuti keputusan Pemerintah tentang penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal nanti. Bagi kita dilarang mendahului puasa Ramadhan, atau berhari raya Idul Fitri, sebeIum ada keputusan dari Pemerintah. Semoga bulan Ramadhan yang kita jalani akan menjadikan kita kaum Muslimin meraih kemenangan dan ketaqwaan yang sempurna.

Iklan
Iklan