Iklan
Iklan
Iklan
OPINI

Oligarki di Balik Penanganan Covid-19

×

Oligarki di Balik Penanganan Covid-19

Sebarkan artikel ini

Oleh : Siti Rahmah, S.Pd.

Abdul Fikri Faqih Wakil Ketua Komisi X DPR RI memprotes langkah pemerintah yang memotong tunjangan guru hingga Rp3,3 triliun lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Namun di sisi lain, Sri Mulyani berencana menggunakan semua dana abdi Negara untuk menanggulangi dampak Covid 19, termasuk dana abdi pendidikan. Hal demikian untuk membiayai defisit anggaran yang diperkirakan mencapai 5,07 persen PDB atau sekitar Rp853 triliun.

Android

Bukan hanya sektor pendidikan, dana haji pun turut di bidik dalam pemangkasan. Anggota komisi VIII DPR RI dari Fraksi Demokrat Nanang Samodra mengusulkan penggunaan dana haji karena hingga saat ini belum ada tanda-tanda Arab Saudi membuka penyelenggaraan haji. (cnnindonesia.com 13 /04)

Sementara itu Ruangguru dapat proyek Kartu Prakerja Rp5,6 triliun. Ruangguru ditunjuk menjadi aplikator Kartu Prakerja. Dana tersebut untuk pelatihan online bagi peserta kartu Prakerja. Ini bukan kali pertama stafsus milenial di lingkaran Jokowi. Penggelontoran dana pada proyek kartu Prakerja sebesar Rp5,6 triliun dinilai tidak tepat sasaran dan minus rasa empati pada kondisi saat ini.

Gelombang PHK yang besar-besaran karena lesunya perekonomian dunia. Banyak industri yang berhenti produksi lantaran permintaan yang menurun tajam, sehingga menjadi pertanyaan perusahaan mana yang akan merekrut karyawan baru.

Sedangkan pemindahan ibu kota baru yang aroma bisnisnya lebih kental daripada kebermanfaatan pada umat, sebesar Rp2 triliun tak disentuh. Begitu pun anggaran infrastuktur sebesar Rp419,2 triliun hanya sedikit saja yang dialokasikan untuk menanggulangi wabah. Proyek pindah ibu kota yang belum jelas urgensitasnya dan menyerap dana sangat besar, masih saja berlanjut. Tudingan pun mengarah pada keberadaan oligarki yang tumbuh subur di alam demokrasi. Dimana proiritas kebijakan lebih memihak pada kaum oligarki yang begitu mengakar di Negara ini. Ternyata pepatah Salus Populi Suprema Lex Esto (keselamatan rakyat merupakan tertinggi) adalah omong kosong. Lagi-lagi rakyat harus mengalah dengan kerakusan segelintir elit penguasa.

Rakyat dibiarkan berjuang sendiri ditengah wabah yang entah sampai kapan akan berakhir. Pemerintah lebih memperhatikan keselamatan ekonomi daripada keselatan nyawa rakyatnya. Permasalahan utamanya adalah wabah covid 19. Adapun carut marut adalah dampaknya. Harusnya pemerintah menyelesaikan permasalahan utamanya yaitu mengatasi penyebaran wabah covid 19. Setelah wabah berakhir, maka perekonomian punakan kembali normal.

Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang kebijakan keuangan Negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan PandemiCovid 19 telah dikeluarkan pemerintah per 31 maret 2020. Kehadirannya membawa polemic di masyarakat terutama adanya dugaan kekebalan hukum dari penyelenggara Negara tertuang pada pasal 27.

Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa biaya yang dikelurkan pemerintah untuk menyelematkan perekonomian dari krisis bukan kerugian Negara, pejabat pemerintah terkait pelaksanaan perppu tidak dapat dituntut perdata ataupun pidanajika melaksanakan tugas berdasarkan itikad baik, dan segala keputusan berdasarkan Perppu bukan objek gugatan ke peradilan tata usaha Negara. (kompas.com 13/04)

Semakin terasa kentalnya kepentingan oligarki saat kita melihat bahwa sebenarnya instrument dalam penanggulangan bencana sudah ada, yaitu UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU Nomor 4 Tahun1988 tentang Wabah dan penyakit menular dan UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina.

Tidak peduli korban Covid-19 terus berjatuhan, bahkan kelaparan mulai berdatangan, penguasa malah menutup mata dan hatinya. Oligarki kekuasaan begitu kental terendus pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Begitu pun pada masa pandemi. Yang ada mereka memanfaatkan pandemi ini untuk kepentingan mereka.

Sudah saatnya pemerintah menghilangkan aroma oligarki di negeri ini dengan mencari sistem alternatif lain yang berpihak pada rakyat. Namun jika pemerintah bersikukuh untuk tetap berada di jalur kapitalistik,maka selalu akan rentan dan riska dengan keberadaan kelompok oligarki.

Sistem alternatif yang dimaksud adalah sistem Islam, yang telah sejak lama memiliki konsep dan gagasan tentang bagaimana memilih sosok penyelenggara pemerintah dan bagaimana seharusnya anggaran Negara diperuntukkan.

Berbeda halnya dengan Islam, yang seluruh kebijakannya berfokus pada kemaslahatan umat. Keberadan penguasa semata untuk mengurusi kebutuhan umat, karena setiap individu telah dijamin keberlangsungan jiwanya.

Anggaran pun akan diprioritaskan keselamatan jiwa dan sesuai dengan syariat. Bukan dari utang yang mengandung riba atau memangkas dana kemaslahatan umat, seperti gaji guru, dana haji dan lainnya.

Dalam syariat Islam, sudah di atur bagaimana Negara mendapat sumber pemasukan untuk penanganan bencana, salah satunya adalah pos kepemilikan umum. Barang tambang migas, mineral, batubara akan dikelola Negara dan hasilnya menjadi milik umum. Keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan ini sebagian akan dialokasikan untuk menangani bencana.

Dalam sistem Islam ada namnya Dharibah. Dharibah berbeda dengan pajak dalam system kapitalisme. Dharibah hanya diambil dari warga yang kaya saja. Berbeda dengan pajak yang dijadikan urat nadi perekonomian bangsa. Bahkan non muslim tidak dipungut dharibah.

Melihat realitas Indonesia yang melimpah ruah kekayaannya, kepemilikan umum seperti barang migas, barang tambang, mineral, maka sumber pendanaan untuk menanggulangi wabah sudah cukup dari pos kepemilikan umum ini, tanpa harus ada pungutan pada warga Negara yang kaya.

Kondisi ini hanya bisa direalisasikan jika tata kelola Negara secara keseluruhan sesuai dengan syariat islam secara menyeluruh. Dalam segala aspek menggunakan syariat islam. sesuai dengan metode kenabian.

Iklan
Iklan