Iklan
Iklan
Iklan
OPINI

Dilema Tahun Ajaran Baru di Era New Normal

×

Dilema Tahun Ajaran Baru di Era New Normal

Sebarkan artikel ini

Oleh : Umi Diwanti
Revowriter dan Aktivis Muslimah Kalsel

Sejak kebijakan “New Normal Life” digelontorkan dan secara bertahap mulai dilakukan, lonjakan sebaran Covid-19 semakin membludak. Kompas.com (21/6) mewartakan terjadi penambahan 862 kasus hanya dalam waktu 24 jam. Penambahan terbanyak tercatat di DKI Jakarta sebanyak 142 kasus, lalu Sulawesi Selatan 112 kasus, Jawa Tengah 99 kasus, dan Kalimantan Selatan 94 kasus. Total kasus nasional pun mencapai 45.891, total meninggal menjadi 2.465 kasus. (nasional.kompas.com/21-06-2020)

Android

Meski demikian, kebijakan ini nampaknya tetap dijalankan. Tak terkecuali di dunia pendidikan, yakni dengan adanya kebijakan tahun ajaran baru yang tetap akan dilaksanakan bulan Juli. Pembelajaran di 94 persen daerah berzona kuning, orange dan merah tetap secara daring. Sedangkan di 6 persen daerah berzona hijau akan dicoba belajar secara luring mulai dari sekolah tingkat atas. (radalampung.co.id, 16/6/2020)

Penetapan tahun ajaran baru yang dipaksakan berjalan normal di bulan Juli, jelas akan menimbulkan dilema di kalangan orangtua. Pastinya mereka khawatir anaknya tertinggal pelajaran kalau secara pribadi menahan anaknya untuk sekolah.

Di sisi lain, jika pembelajaran tetap melalui daring dengan didampingi orangtua, tak sedikit yang akan terkendala waktu dan kemampuan. Ditambah banyaknya persoalan yang harus ditanggung orangtua paska pandemi, tidak menutup kemungkinan pembelajaran di rumah berhiaskan amarah orangtua.

Para guru pun tak kalah dilematis. Sebagai guru, mereka mau tak mau harus mengikuti kebijakan sekolah. Sementara tidak semua pelajaran bisa dengan mudah diajarkan lewat daring, apalagi pada siswa baru tingkat SD.

Jika pada anak-anak yang sebelumnya sudah terkendali saja, saat berubah melalui daring sebagiannya menjadi sulit dikendalikan. Apalagi siswa baru, yang saat pembelajaran luring saja perlu waktu berbulan-bulan bagi guru untuk bisa ‘mengendalikan’ suasana belajar.

Belum lagi kendala tehnis. Tak semua daerah bisa mengakses internet. Ada pula orangtua yang hanya punya HP jadul (jaman dulu), tidak memungkinkan untuk pembelajaran melalui rekam suara atau video call. Belum lagi kendala kemampuan membeli kuota yang tak merata. Sudahkan hal-hal semacam ini diperhitungkan?

Di sisi lain, jika pun dipaksakan kembali tatap muka jelas ini lebih berbahaya. Meski hanya diperuntukan di zona hijau namun di sisi lain kebijakan “New Normal” meniscayakan peredaran manusia antar zona. Jelas ini akan menciptakan kluster baru.

Meski anak-anak yang hadir itu diasumsikan sesama dari zona hijau. Tentu saja tak bisa dianggap pasti aman. Sebab anak-anak itu punya orangtua yang bisa saja keluar masuk zona merah atau bahkan hitam di era “New Normal” ini. Lalu mereka berinteraksi dengan anaknya dan anaknya kembali ke sekolah yang bisa saja sebagai OTG.

Dengan demikian seisi sekolah pun berpeluang terpapar. Zona hijau bisa berubah menjadi kuning, merah bahkan hitam. Jika sudah begini, harapan berakhirnya kasus Corona menjadi Fatamorgana. Bukan hanya kualitas pendidikan yang terancam amburadul. Bisa saja kita pun akan kehilangan generasi penerus.

Harus kita sadari betul bahwa pendidikan adalah hal penting dalam sebuah negara. Tidak boleh coba-coba di dalamnya. Seharusnya saat ini pemerintah fokus pada penanganan Covid-19 dengan memberlakukan isolasi total (lockdown) di zona wabah. Hentikan semua aktivitas masayarakat di dalamnya termasuk menunda tahun ajaran baru.

Tentu saja itu dilakukan dengan disertai negara menjamin seluruh kebutuhan masyarakat termasuk para guru yang harus libur mengajar sementara. Disertai edukasi dan pemberian sanksi yang tegas pasti akan efektif mencegah peredaran manusia yang menjadi sarana penyebaran Covid-19. Niscaya laju penyebaran wabah dapat dikendalikan bahkan dihentikan.

Hanya saja, hal ini memerlukan komitmen kuat dari penguasa untuk berpaling dari pandangan hidup sekuler kapitalis yang selalu saja memandang semua perkara dari sudut pandang ekonomi dan untung rugi. Lalu kembali memosisikan diri sebagai pelayan dan pelindung masyarakat sebagaimana ketentuan syariat. Niscaya kasus pandemi yang makin meninggi hari ini akan mampu diatasi.

Setelah pandemi selesai dan semua kebijakan berpijak pada aturan Islam, maka kehidupan ini akan kembali normal dengan sebenar-benar normal. Saat itulah dunia pendidikan akan kembali berfungsi sebagaimana mestinya. Dijamin tidak sulit mengejar ketertinggalan jika semua komponen pendidikan dalam keadaan baik.

Lebih dari itu, dengan dukungan sistem Islam dunia pendidikan kita akan mampu kembali menjadi pemimpin peradaban dunia. Seperti yang sudah pernah terjadi di era kejayaan Islam di masa lalu sebagaimana yang diungkapkan Jonathan Bloom & Sheila Blair dalam bukunya “Islam – A Thousand Years of Faith and Power”, Yale University Press, London, 2002, p-105.

“Rata-rata tingkat kemampuan literasi Dunia Islam di abad pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa. Karya tulis ditemukan di setiap tempat dalam peradaban ini”. Allahu a’lam bishshawab.

Iklan
Iklan