Oleh : Faiza Kinan
Mahasiswa Banjarmasin
Jelang berakhirnya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Kota Banjarmasin yang telah dijalankan sejak tanggal 24 April yang lalu atau bertepatan dengan tanggal 1 Ramadan 1441 H. Sejak aturan ini diberlakukan, apa yang terjadi di lapangan nampaknya tidak seperti “ekspektasi” masyarakat tentang kebijakan ini. Faktanya, pintu masuk antar wilayah yang berbatasan dengan Kota Banjarmasin tidak “seseram” yang dibayangkan. Akses keluar masuk Kota Banjarmasin nyatanya tetap mudah. Tak pelak hal ini menuai beragam komentar dari warga Banjarmasin, mulai dari nyinyiran sumbang “ala-ala tetangga” di gang-gang dan komplek perumahan, hingga pembahasan yang lebih serius dalam forum diskusi daring yang diselenggarakan oleh aktivis pemuda dan intelektual kampus.
Hampir semua orang melihat realita dan menyangsikan hasil PSBB akan menyenangkan. Banyak yang menilai kebijakan ini terkesan terburu-buru. Kurangnya komunikasi dan kordinasi antar pihak terkait seolah terlihat dalam pelaksanaan PSBB ini. Seperti yang diberitakan, pada Senin malam (27/4) terjadi “cekcok” antar petugas jaga dari pihak Dishub, Satpol PP dan Polantas akibat penumpukan kendaraan di jalur keluar kota di Jalan Ahmad Yani Kilometer 6. Pemko bersikeras menutup akses keluar kota, sementara kepolisian tetap mengizinkan, akhirnya akses arah luar kota Banjarmasin terpaksa dibuka agar dapat mengurai kendaraan yang semakin menumpuk. Keesokan harinya satu persatu “merajuk” dan menarik diri dari posko PSBB. (Radar Banjarmasin, 29/4/20)
Selain itu ketidaksiapan dalam memenuhi kebutuhan rakyat selama masa PSBB diberlakukan juga turut menuai beragam komentar dan reaksi masyarakat. Sempat diberitakan Dinas Sosial Banjarmasin mengakui kalau memasuki hari kedua pelaksanaan PSBB belum ada bantuan sosial berupa sembako yang disalurkan kepada warga yang terdampak kebijakan ini, meskipun setelah itu perlahan-lahan bantuan mulai dibagikan kepada warga.
Niat awal pemberlakukan PSBB dalam rangka memutus penyebaran Covid-19 agaknya sulit tercapai. Warga tetap beraktivitas seperti biasa, bahkan jalanan Kota Banjarmasin semenjak diberlakukannya PSBB yang bertepatan dengan awal Ramadan ini justru semakin ramai saja. Awareness masyarakat yang sejak awal kurang terbentuk semakin nampak dari kegiatan “mencari ta’jil” sore hari jelang berbuka puasa yang tetap mereka lakukan, bahkan ada saja yang rela berjejal dengan pembeli lainnya tanpa batasan jarak. Alasan mengapa harus melakukan physical distancing seakan memudar dalam kegiatan ini. Tidak ada yang melakukan razia atau sekedar berkeliling pada sore hari jelang magrib untuk melakukan imbauan dan mengingatkan protokol kesehatan di masa wabah atas hal itu.
Tak salah jika kesadaran masyarakat Banjarmasin masih minim akan bahaya yang mengancam dari Covid-19 ini, salah satu penyebabnya adalah masih kurangnya sosialisasi dan minimnya edukasi kepada mereka sehingga masih terdapat kesalahan dalam menyikapi wabah pandemi ini. Selain itu sarana dan prasarana dalam mengakses informasi pun masih kurang. Serta tidak adanya jaminan yang pasti terpenuhinya kebutuhan asasi rakyat selama pemberlakuan PSBB hingga wabah ini berakhir nantinya juga turut memberi andil dalam rentetan alasan warga tetap beraktivitas keluar rumah.
Memang betul kebijakan ini baru, dan tentu saja akan banyak ditemukan kekurangan dalam penerapannya, namun hal ini tentu tidak akan terjadi andai sejak awal pemerintah pusat hingga daerah serius dalam menyikapi wabah yang sangat mudah menular ini. Cepat tanggap dalam menangai kasus pertama positif Covid-19 tentu tak akan menimbulkan jumlah korban baru. Keseriusan ini terhalang oleh pertimbangan untung rugi khas negara kapitalis.
Pada akhirnya terlihat memang, angka kasus terinfeksi Covid-19 kian bertambah saja setiap harinya. Gonta ganti konsep pencegahan penyebaran Covid 19 di pusat sungguh mencerminkan lambannya penanganan dan menunjukkan lepas tangannya pemerintah dalam mengurusi rakyatnya yang terancam wabah.
Islam yang dianggap sebagai agama ritual saja oleh sebagian orang justru sebenarnya mampu mengatasi problem ini. Sayangnya masih banyak yang skeptis dan meremehkan bahwa Islam memiliki solusi terhadap penanganan wabah. Dari sisi personal, Islam mengajarkan agar dalam menghadapi pandemi ini dengan ridha terhadap takdir (qadha), meningkatkan sabar dan tawakkal, memperbanyak istighfar, doa dan ibadah, menjaga kesehatan dan tetap peduli pada sesama.
Di sisi penguasa, Islam memandang mereka sebagai pihak yang bertanggung jawab atas berbagai urusan rakyatnya sudah barang tentu seharusnya melakukan aksi-aksi nyata yang lebih berdampak secara luas dan merata bagi orang-orang yang berlindung dibawahnya. Dengan cara serius bertindak, tidak abai apalagi meremehkan, menjadikan nyawa warganya sebagai prioritas dibanding urusan ekonomi, cepat tanggap dan memonitor dengan seksama serta memberikan kesadaran dengan cara mengedukasi dan memberikan informasi yang akurat kepada warga tentang bahayanya wabah ini, melakukan karantina wilayah berdasarkan hadis Nabi SAW : “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di tempat kamu, maka janganlah meninggalkan tempat itu”. (HR. Bukhari). Penguasa memenuhi dan menjamin kebutuhan rakyat selama masa karantina sehingga mereka tidak khawatir dan tidak terpaksa keluar rumahnya untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan utamanya sehingga efektivitas karantina wilayah nampak secara nyata.
Hal ini tentu hanya akan menjadi utopis belaka jika yang diterapkan dalam kehidupan hari ini masih sistem kapitalis nan sekuler. Penerapan ini hanya akan benar-benar terjadi dalam sistem yang menjadikan aturan Allah sebagai satu-satunya rujukan dalam kehidupan.