Oleh : Nurul Hasanah
Pemerhati Masalah Perempuan dan Anak
Akhir -akhir ini kabar pelarangan terhadap sunat anak perempuan mulai membuat masyarakat kebingungan antara melakukan tindakan sunat terhadap anak perempuan mereka atau menuruti aturan permerintah. Sikap kebingungan ini kadang menimbulkan polemik orangtua, pasalnya para tenaga medis saat ini menolak melakukan tindakan penyunatan anak perempuan yang akhirnya memilih tenaga medis tradisional (pembantu bersalin kampung), yang hanya menggunakan alat seadanya. Pelarangan ini mengikuti seruan pegiat gender yang merujuk hasil Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) yang diadakan di Kairo, Mesir pada 1994.
WHO telah melarang praktik sunat perempuan dan dianggap melanggar HAM dengan alasan merusak dan membahayakan organ reproduksi perempuan. WHO dengan tegas mengeluarkan pedoman baru yang mengatakan bahwa mutilasi alat kelamin perempuan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. (IDN Times, 2018)
Menurut WHO, terdapat beberapa metode yang digunakan dalam sunat perempuan : 1. Clitoridectomy, pemotongan sebagian atau seluruh klitoris, atau selaput di atasnya; 2. Excision, pemotongan sebagian atau seluruh klitoris dan/atau labia minora dengan atau tanpa memotong labia majora; dan 3. Infibulation, mempersempit lubang vagina dengan selaput penutup, dengan memotong atau mengubah bentuk labia majora dan labia minora. Sedangkan klitoris tidak disentuh sama sekali. Tindakan lain yang melukai vagina tanpa tujuan medis. (idntimes.com)
WHO, menyamakan khitan perempuan dengan FGC/FGM, Female Genital Cutting (FGC) atau Female Genital Mutilation (FGM), yaitu seluruh prosedur yang menghilangkan secara total atau sebagian dari organ genitalia eksterna atau melukai pada organ kelamin wanita karena alasan nonmedis.
Female Genital Mutilation/FGM yang merupakan tradisi penyunatan di Afrika ini sangat ekstrem dengan menggunakan silet, pecahan kaca, atau gunting. Penyunatan mencakup pemotongan alat kelamin perempuan. Organ klitoris dan alat kelamin luar dipotong, kemudian dijahit. Fakta yang mereka temukan bahwa banyaknya kejadian yang membuat komplikasi dalam proses bersalin, pendarahan, tidak merasakan apapun saat berhubungan, terguncangnya perasaan. Itulah menjadi dasar pelanggaran penyunatan terhadap anak perempuan.
Rabu 15 Juli 2020 telah dilakukan webinar “Pencegahan Pemotongan Pelukaan Genetelia Perempuan (P2GP) yang dihadiri tiga kementerian RI, diantaranya Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan yang dihadiri peserta seluruh provinsi Indonesia. Direktur Kesehatan Keluarga (Kesga) Kementrian Kesehatan dr Ema Mulati, menyebut praktik khitan pada bayi perempuan bukan merupakan tindakan kedokteran karena pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis. “Dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan si anak yang dikhitan,” ujar dr Ema Mulati di acara webinar Pencegahan Pemotongan dan Perlukaan Genetelia Perempuan (P2GP) di Indonesia.
Delapan pembicara termasuk KH Husein Muhammad dari unsur ulama. Direktur Kesga Kementrian Kesehatan itu mengemukakan data bahwa praktik khitan pada perempuan biasanya dilakukan ketika anak berusia mulai dari belum satu bulan hingga umur lima bahkan 11 tahun. “Tetapi yang terbanyak bayi yang dikhitan pada usia kisaran satu bulan, yaitu sebanyak 56 persen lebih dan yang paling sedikit di usia empat tahun kisaran 1,3 persen,” ujarnya. Sedangkan yang bertindak selaku juru khitan yang terbanyak ditangani oleh bidan yaitu lebih 50 persen lebih, lalu dukun bayi ada 40 persen sisanya oleh tenaga medis lainnya.
Polemik ini pun bertentangan dengan syariat Islam. Pertama, sebagian ulama mazhab Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. mewajibkan khitan baik bagi pria maupun wanita. Dalilnya, antara lain : “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif”. (QS. An Nahl : 123).
Rasulullah SAW bersabda : “Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi,”. (Hadis sahih diriwayatkan imam Ahmad dalam musnad hadis no. 24709; HR Muslim, Al Hadis 88/ 349; dalam kitab Al Muatha’, Imam Malik, hlm 38). Sabda Rasulullah : “Buanglah rambut kekafiranmu dan berkhitanlah”. (HR Ahmad dalam kitab Muhtashar Nailul Authar/I/98)
Kedua, berkhitan wajib bagi pria dan sunah bagi wanita. Ini pendapat sebagian penganut dan pendukung ulama mazhab Syafii. Mereka berargumentasi tidak ada dalil yang terdapat tuntutan yang tegas atau pasti. Dalil yang yang ada adalah tuntutan tidak pasti/tidak tegas. Dengan demikian, sunat perempuan hukumnya sunah, tidak wajib.
Ulama yang berpendapat khitan perempuan hukumnya sunah juga berargumentasi bahwa Ibnu Taimiyah RA menjelaskan tujuan khitan laki-laki adalah untuk menghilangkan najis yang terdapat dalam penutup kulit kepala penis, dan suci dari najis adalah syarat untuk melakukan ibadah shalat.
Sementara tujuan khitan perempuan adalah untuk menstabilkan syahwatnya, karena apabila wanita tidak dikhitan maka syahwatnya sangat besar. (Majmu’ Fatawa 21/114).
Dari dua pendapat di atas, pendapat lebih kuat pendapat yang mengatakan bahwa khitan bagi perempuan hukumnya sunah, karena beberapa hal : 1. Tidak ada dalil dengan tuntutan yang tegas atau pasti. Dalil yang yang ada adalah tuntutan tidak pasti/tidak tegas. Dengan demikian sunat perempuan hukumnya sunah, tidak wajib.
Hadis sahih : “Buanglah rambut kekafiranmu dan berkhitanlah”. Itu menunjukkan kata ganti laki-laki. Jadi yang diseru berkhitan dalam hadis ini adalah laki-laki.
Ibnu Taimiyah RA menjelaskan tujuan khitan laki-laki adalah untuk menghilangkan najis yang terdapat dalam penutup kulit kepala penis, dan suci dari najis itu syarat untuk melakukan ibadah salat.
Sementara tujuan khitan perempuan adalah untuk menstabilkan syahwatnya, bukan untuk melakukan ibadah wajib, yaitu shalat sebagaimana laki-laki. Terlepas dari perbedaan ulama tentang hukum khitan bagi perempuan, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa khitan perempuan itu ajaran Islam, ajaran Allah dan Rasul-Nya. Setiap ajaran Islam pasti membawa maslahat bagi umatnya.
Dengan demikian kesimpulannya bahwa praktik sunat perempuan yang salah, yaitu memotong sebagian besar atau bahkan sampai pada klitorisnya, membahayakan kesehatan perempuan dan menyebabkan kesulitan dalam menikmati berjimak, bahkan sampai membencinya. Praktik salah ini bukan berasal dari ajaran Islam, karena cara mengkhitan perempuan yang sesuai ajaran Islam hanya memotong sebagian kecil kulit yang menutupi klitoris. Sunat perempuan sesuai ajaran Islam ini tidak membahayakan kesehatan, bahkan untuk kemaslahatan perempuan.