Oleh : Ach. Fatori, S.Pd
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) pada rapat hari senin (5/10/2020) yang lalu. Pengesahan tersebut dilakukan dalam rapat paripurna ke-7 masa persidangan 2020-2021 yang dihadiri tidak kurang dari 318 anggota DPR baik secara luring maupun daring.
Proses pengesahan RUU Cipta Kerja atau yang lebih dikenal dengan Omnibus Law tersebut diwarnai dengan perdebatan yang sangat alot, sampai menimbulkan ketegangan hingga salah satu Fraksi menyatakan ‘walk out’ dari persidangan dan tidak bertanggung jawab terhadap keputusan sidang paripurna tersebut.
UU Cipta kerja sendiri terdiri dari 79 Undang-Undang yang mengatur berbagai macam aspek yang kemudian digabungkan menjadi satu kesatuan naskah perundang-undangan yang terperinci dalam 1.203 Pasal. Dalih pemerintah melalui Menko Bidang Perekomomian, Airlangga Hartarto mengatakan bahwa UU Cipta Kerja ini adalah bagian dari upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia agar dapat keluar dari status negara yang berpenghasilan menengah. UU Sebagai sebuah Instrumen yang dapat menyederhanakan peningkatan aktivitas birokrasi, maka iklim investasi didalam negeri dapat lebih menarik yang akan berimplikasi terhadap kesediaan lapangan kerja yang luas (Kompas,6/10/2020).
Meskipun Pemerintah mengklaim Omnibus Law ini adalah upaya dalam rangka mengatasi masalah ekonomi, terutama mengenai kesediaan lapangan kerja di Indonesia. Namun tidak sedikit pula yang kemudian mempertanyakan dan menolak atas ditetapkannya UU tersebut. Masyarakat menilai proses pengesahan RUU tersebut terkesan terburu-buru, tidak transparan, dan tidak aspiratif.
Penolakan yang paling masif terhadap UU ini adalah karena dinilai merugikan banyak pihak, terutama para tenaga kerja (buruh). Gelombang aksi dan demo dari kalangan buruh dan mahasiswa untuk menyuarakan penolakan atas UU Omnibus Law pun tak terhindarkan. Bukan hanya terjadi di ibukota dan kota-kota besar lainnya, namun gelombang aksi dan demo penolakan UU tersebut juga terjadi di daerah-daerah. Tidak sedikit aksi atau demo yang terjadi berakhir dengan ricuh.
Kluster Pendidikan Tak Disadari
Jika dilihat sekilas tentang UU Omnibus Law yang sedang ramai dijadikan bahan perbincangan ini, kita akan berpikir bahwa UU ini hanya akan merugikan kalangan tenaga kerja (buruh). Namun Ada poin yang tidak banyak disadari oleh masyarakat, yaitu masuknya kluster pendidikan dalam UU Omnibus Law ini, yakni menjadikan entitas pendidikan sebagai kegiatan usaha. Artinya UU ini berpotensi memasukkan Pendidikan kedalam jurang praktik jual beli (komersialisasi) pendidikan.
Pasal terkait pendidikan yang mengatur mengenai perizinan pada sektor pendidikan yang dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha, disebutkan pada Paragraf 12 Pasal 65 ayat (1) yang berbunyi “Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Pelaksanaan perizinan disebutkan pada ayat (2) yakni “Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Jika melihat pasal 1 UU Cipta Kerja ini, dijelaskan bahwa Perizinan Berusaha yang dimaksud adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Tentu hal tersebut tidak sejalan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), dimana Lembaga pendidikan tidak perlu mengajukan Izin Berusaha, karena bukan badan usaha yang mengejar keuntungan (lembaga nirlaba).
Syarat yang dibutuhkan untuk mendirikan lembaga pendidikan formal dan non formal hanyalah izin dari pemerintah pusat atau daerah. Sebagaimana pada UU Sisdiknas pasal 62 yaitu “Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidikan dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan,”
Bertentangan Dengan Semangat Konstitusi Indonesia
Menyamakan izin pendidikan dengan izin berusaha, dapat menyuburkan bisnis dalam bidang pendidikan di Indonesia. Artinya akan memunculkan peluang pendidikan yang berorientasi pada keuntungan atau laba, serta berpotensi menjadikan pendidikan sebagai aktivitas industri ekonomi yang dapat dikuasai oleh para pemilik modal (Sahal & Ahmad). Tentu hal ini bertentangan dengan prinsip dasar institusi pendidikan sebagai lembaga non profit oriented.
Dengan demikian, semakin memperjelas bahwa UU ini bertentangan dengan semangat Konstitusi Indonesia tentang Hakikat Pendidikan yang diperuntukan bagi rakyat Indonesia. Yaitu bahwasahnya pendidikan harus dapat “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” yang dalam prosesnya harus sesuai dengan Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 bahwa “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan” dan Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 bahwa “….Negara wajib membiayainya”.
Selain itu, poin-poin yang diamanatkan dalam Konstitusi tersebut juga dituangkan dalam Undang-undang Sisdiknas Pasal 5 Ayat (1), “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Selanjutnya Pasal 11 Ayat (1) menegaskan pula bahwa “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.
Sangat jelas bahwa mendapatkan pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara. Mengkapitalsasi pendidikan berdasarkan orientasi mencari keuntungan finansial, akan menjadi penghalang bagi anak bangsa yang berasal dari keluarga kurang mampu untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak, berkualitas dan setara. Sehingga prinsip dasar pendidikan yang humanis sebagai aktivitas peradaban akan terabaikan. Begitu juga prinsip keadilan dalam pendidikan hanya menjadi utopia semata.
Dampak Kapitalisasi Pendidikan
Kapitalisasi pendidikan bukan masalah baru di Indonesia, akan tetapi dengan adanya UU Ombibus Law ini menjadi angin segar bagi kapitalis untuk semakin menjadikan pendidikan sebagai ruang untuk mencari keuntungan finansial sebanyak-banyaknya dengan menghiraukan dampaknya. Menurut Agus Nuryanto (2011:57), terdapat tiga dampak kapitalisme terhadap pendidikan. Pertama, hubungan kapitalsme dan pendidikan akan menyebabkan praktik-praktik pendidikan lebih mendukung kontrol ekonomi oleh sekelompok elit. Kedua, Hubungan antara kapitalisme dan ilmu pengetahuan cenderung mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan berorientasi kepada profit material dengan mengenyampingkan terciptanya kehidupan global yang lebih baik. Dan Ketiga, perkawinan antara kapitalisme dan pendidikan dan kapitalisme dan ilmu pengetahuan akan menciptakan pondasi bagi ilmu pendidikan yang menekankan nilai-nilai korporasi dengan mengorbankan nilai-nilai keadilan sosial dan martabat kemanusiaan.
Selain atas dasar ideologis tersebut, dari sudut pandang sosiologis, kapitalisasi pendidikan ini akan memunculkan perbedaan kualitas dan peforma lembaga pendidikan yang mahal dan murah. Tentu akan semakin menjauhkan dari tujuan pemertaan pendidikan di Indonesia, serta memperlebar kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat. Negara wajib hadir untuk memberikan akses untuk memenuhi hak warga negaranya mendapatkan pendidikan yang berkualitas, bukan pendidikan yang hanya menguntungkan segelintir kapitalis dari kalangan pemilik modal.
Hakikat Pendidikan
Secara sederhana, Hakikat Pendidikan dapat dipahami sebagai sebuah modal sosial yang dapat digunakan untuk melakukan transformasi sosial serta memerdekakan kehidupan manusia. Tetapi ketika di dalam suatu sistem pendidikan telah disusupi berbagai kepentingan terutama kepentingan ekonomi dan politik, maka pemburaman hakikat pendidikan itulah yang akan terjadi serta terciptanya Diskriminasi terhadap hak-hak memperoleh akses pendidikan bagi setiap warga negara. dengan begitu, fungsi utama dalam pendidikan akan hilang dan menikis aspek-aspek lainnya yang ada dalam pendidikan.
Pendidikan di Indonesia yang sudah tercerengkam oleh logika Kapitalisme dan akan dimulai kembali cengkraman yang lebih dahsyat melalui UU Omnibus Law ini, telah membuatnya melenceng dari hakikat pendidikan yang tercantum didalam Konstitusi Indonesia, yaitu bahwa pendidikan adalah bagian untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.