Oleh : Muhandisa Al-Mustanir
Pemerhati Politik
Pilkada Serentak yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 kembali membawa nuansa politik yang kental di tengah-tengah masyarakat, meskipun masih diselimuti lonjakan kasus pandemi Covid-19, nyatanya Pilkada serentak ini tetap harus berjalan. Menyoroti nuansa politik yang ada hari ini, tentu isu politisasi agama juga kembali merebak, pasalnya sebagai kaum mayoritas, suara umat muslim di Indonesia dianggap sangat menentukan arah perpolitikan Indonesia ke depan.
Seperti yang dilansir pada CNN Indonesia, Jakarta (Selasa, 17/11/2020) – Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Jakarta menyatakan semua partai politik menggunakan narasi agama dalam menggaet suara pemilih di media sosial.
Riset ini mengambil data dari dua platform media sosial yaitu Twitter dan YouTube dalam rentang waktu 2009-2019. Data yang ada dianalisis melihat tren dan pola persebaran yang terjadi di media sosial secara kuantitatif maupun kualitatif melalui wawancara mendalam terhadap beberapa tokoh. Dalam paparan data tersebut, narasi keagamaan di platform media sosial Twitter cenderung didominasi oleh paham keagamaan konservatif sebesar 67,2 persen, lalu disusul paham moderat sebesar 22,2 persen, liberal (6,1 persen) dan Islamis (4,5 persen). Paham konservatif yang dimaksud disini adalah aliran keagamaan yang menjadikan hadist, doktrin, tatanan sosial yang telah diwariskan nabi sebagai acuan utama tanpa perlu adanya kontekstualisasi.
Adanya isu politisasi agama ini tentu menuai pro dan kontra dari berbagai pihak dan tokoh. Salah satunya datang dari Ketua Umum Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Cabang Indonesia, TGB Muhammad Zainul Majdi, yang mengingatkan bahwa politisasi agama semata untuk mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi politik akan berdampak buruk dan berbahaya.
Dilansir dari REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA (19/11/2020)–Menurut TGB, politisasi agama adalah bentuk paling buruk dalam hubungan agama dan politik. Sekelompok kekuatan politik menggunakan sentimen keagamaan untuk menarik simpati kemudian memenangkan kelompoknya. Menggunakan sentimen agama dengan membuat ketakutan pada khalayak ramai. Menggunakan simbol agama untuk mendapatkan simpati.
Disisi lain, juga ada yang berpendapat bahwa politisasi agamanya juga bisa dimaknai positif dan diambil sisi-sisi baiknya, seperti yang disampaikan oleh Ketua Umum Dewan Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (PBNW) itu, politisasi agamajuga bisa baik kalau nilai-nilai mulia agama menjadi prinsip dalam berpolitik, sebagaimana yang dilakukan para pendiri bangsa Indonesia dahulu.
Isu politisasi agama memang bukan perkara remeh yang bisa dinafikkan begitu saja, contoh kasusnya seperti yang terjadi pada pemilihan calon Gubernur Jakarta 2017 lalu yang melibatkan persaingan antara Ahok dan Anies. Meski mendapat sokongan yang luar biasa dari pemerintah pusat, nyatanya Ahok tidak berhasil mendapatkan kursi jabatan diakibatkan kasus penistaan agama yang menimpanya. Hal ini menunjukkan bahwa loyalitas kaum muslim pada agamanya akan sangat berpengaruh pada ranah politik dan kian tahun semakin menguat. Namun disisi lain, hal ini juga membuka peluang untuk masuknya pihak-pihak yang haus akan pemuasan kepentingannya.
Hal ini pada akhirnya membawa dilema bagi masyarakat terutama kaum muslim di Indonesia, yang sejak beberapa tahun terakhir sampai pada hari ini mulai menunjukkan keinginan dan kecondongan untuk bisa diatur dan dipimpin oleh orang-orang yang amanah serta menjalankan nilai-nilai islam. Tentu kita masih bisa merasakan semangat 212 yang sampai di tahun ini masih bergelora, ditambah dengan euforia penyambutan Habib Rizieq Shihab awal November lalu. Dari beberapa peristiwa tadi, tentu kita bisa menilai betapa besar dan berpengaruhnya keinginan kaum muslim di Indonesia untuk adanya perubahan kepemimpinan ke arah Islam.
Politisasi agama di dalam sistem politik demokrasi sebenarnya bukan barang baru, melainkan kelumrahan yang akan senantiasa ditemui. Hal ini bisa terjadi karena Ideologi yang menyokong dan menjadi dasar bagi sistem politik Demokrasi adalah Kapitalisme Sekuler, yang mana asas tertingginya adalah tercapainya kepentingan dan maslahat bagi para pengembannya, meski harus dengan cara kotor dan licik seperti halnya Politisasi Agama. Walaupun Kapitalisme juga menganut asas Sekulerisme (Pemisahan Agama dari Kehidupan), membawa isu agama pada ranah politik seperti kasus politisasi agama ini bukanlah hal yang menyalahi asas tersebut, asalkan Agama hanya dijadikan sebagai alat untuk menggait simpati dan perhatian semasa pra kekuasaan, dan setelah kekuasaan didapatkan, nilai-nilai atau syariat dalam Agama tersebut tentu tetap tidak boleh mengambil posisi dalam jalannya roda kekuasaan.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya partai politik di Indonesia hari ini yang berhaluan Nasionalis dan Sekuler, namun membawa isu agama untuk memobilisasi massa agar bisa mendapatkan lebih banyak suara di masyarakat.
Oleh sebab ideologi kapitalisme dan sistem Demokrasi tadilah, peluang Politisasi Agama akan senantiasa terbuka dan tidak akan mungkin bisa dihilangkan. Karena sejak awal, tujuannya hanya untuk mendapatkan suara mayoritas, maka segala cara bisa dihalalkan dalam demokrasi selama tidak keluar dari asas-asasnya. Sehingga, aneh rasanya jika berharap politisasi agama akan hilang di perpolitikan hari ini, mengingat bibitnya masih dirawat dan disiram hingga tumbuh subur. Tetapi membungkam kecondongan umat muslim akan kepemimpinan islam juga mustahil adanya, sebab kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh terterapkannya sistem hidup yang salah dan kedzoliman-kedzoliman yang merebak tadi akan membuat siapapun merasakan kegelisahannya dan tergerak untuk bisa bangkit.
Oleh karena itu, harus ada solusi yang haqiqi agar permasalahan tadi bisa terselesaikan secara tuntas tanpa melahirkan masalah yang lainnya lagi. Islam sebagai Way of Life yang benar, sudah memberikan solusi yang haqiqi atas permasalahan ini. Karena inti bahasan dalam masalah politisasi Agama ini melibatkan partai politik dan juga agama, maka umat haruslah bisa membedakan, yang mana partai dan orang-orang yang benar-benar mengajak kepada jalan islam yang lurus dan mana yang hanya sekedar mambawa simbol agama demi kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Syekh Taqiyyudin An-Nabhani dalam kitabnya Takkatul Hizbi menjelaskan dengan sangat rinci bagaimana sebuah partai politik islam yang shahih itu terbentuk, yang mana nantinya parpol islam yang shahih ini akan bisa membawa umat pada kebangkitan dan perubahan kepada Islam secara sempurna. Beliau merumuskan, pada dasarnya sebuah organisasi (gerakan/partai) manapun tersusun atas empat asas sebagai berikut : 1. Harus memiliki pemikiran (Fikrah) yang menentukan tujuan serta asas untuk menyatukan masyakarat dengan partai; 2. Harus memiliki metode (Thariqah) yang ditempuh oleh partai untuk meraih tujuannya; 3. Anggota-anggota partai yang memiliki keyakinan kuat terhadap pemikiran (Fikrah) dan Metode (Thariqah) yang diemban partainya; 4. Memiliki cara (Kayfiyah) untuk menyatukan masyarakat dengan partai tersebut.
Sebagai seorang muslim yang beriman, maka satu hal yang harus kita yakini adalah bahwasanya islam ada ditengah-tengah umat manusia hari ini ialah sebagai Ideologi (Mabda) yang akan memecahkan segala permasalahan manusia. Oleh sebab itulah, Parpol Islam yang shahih, haruslah menjadikan islam dan syariatnya sebagai fikrah partai, berlandaskan aqidah dan keyakinan yang benar terhadap islam.
Kemudian, untuk metodenya, maka partai haruslah berada di jalan yang suci dan bersih dari falsafah-falsafah diluar dari pada fikrah Islam tadi, dan hanya menjalankan metode sesuai dengan yang ada di dalam Islam dan di contohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Ketiga, anggota-anggota parpol Islam haruslah orang-orang yang diikat oleh fikrah dan thariqah islam tadi, sehingga tidak ada kepentingan dan tujuan lainnya yang mengikat anggota dengan partainya, ini penting untuk menjadikan partai bisa tetap fokus berjalan sesuai dengan arah tujuannya. Keempat, Maka parpol islam haruslah melakukan interaksi dengan masyarakat yang ingin dirubahnya, dengan memahami problem di masyarakat dan memberikan solusi haqiqi atas permasalahan masyarakat tadi, serta membersamai masyarakat untuk mau bergerak menuju kebangkitan islam.
Pemahaman tersebut haruslah bisa sampai kepada umat islam hari ini, agar tidak mudah terlena pada bungkus yang ada pada partai politik ataupun individu yang mengatasnamakan Islam namun pada hakikatnya tidak memahami sama sekali tujuan dan juga metode yang ada di dalam Islam, sehingga akhirnya Fikrah dan Thariqahnya tadi tercampur dengan berbagai pemahaman diluar dari Islam.
Selain itu, peran partai politik islam yang shahih tadi haruslah benar-benar bisa hadir ditengah-tengah umat hari ini, sebagai pemimpin yang akan mengarahkan umat pada penerapan islam secara menyeluruh (kaffah) dengan dakwah menyeru pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.
Adanya interaksi Partai Politik Islam yang shahih ini dengan masyarakat adalah salah satu tahap demi terwujudnya kebangkitan islam. Ketika kelak kepemimpinan islam dalam bingkai khilafah bisa kembali ke pangkuan umat, segala probematika umat hari ini akan bisa tersolusikan dengan islam. Karna pada hakikatnya Islam dan juga kekuasaan ada satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Berangkat dari penjelasan diatas, maka ketika islam yang menjadi falsafah kehidupan yang akan membimbing manusia, tidak akan membuka peluang adanya politisasi agama atau menjadikan agama sebagai alat untuk meraih kekuasaan sebagaimana yang ada pada sistem Kapitalis hari ini, karena di dalam islam, tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai Ridho Allah semata sehingga harus senantiasa terikat dengan perintah dan larangan-Nya. Maka, Islam ditempatkan di posisi yang paling mulia dan paling tinggi agar umat manusia bisa berjalan sesuai dengan arahan dari sang pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan, yaitu Allah SWT.