Oleh : Nor Hasanah, S.Ag, M.I.Kom
Pustakawan UIN Antasari Banjarmasin
Saat ini kita telah memasuki bulan Rajab sebagai salah satu bulan yang sangat istimewa dalam Islam karena di bulan Rajab inilah terjadinya peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Di tengah pandemi covid-19 saat ini yang masih melanda di negeri kita dan dunia, tentunya menjadi moment penting bagi kita semua untuk terus berikhtiar mencari solusi atas musibah global ini adalah dengan mengambil iktibar atau pelajaran dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj tersebut.
Semua peristiwa dalam sejarah Islam tidaklah beku tanpa melahirkan berbagai nilai dan makna bagi manusia, termasuk bagi para pustakawan yang sehari-hari bekerja di perpustakaan memiliki makna yang sangat luar biasa. Sebagaimana peristiwa Isra Mi’raj Rasulullah yang berlangsung pada tahun 621 M di saat beliau berusia 50 tahun atau tahun kesepuluh kenabian tentunya mengandung pesan sekaligus makna yang begitu luar biasa.
Rekreasi Bangkit dari Kesedihan
Di tengah kabut kepedihan dan kesedihan yang melanda Rasulullah, Allah mengajak Nabi yang pada saat itu berusia 50 tahun untuk ‘refreshing’ sejenak lewat cara ‘merekreasikan’ Nabi Muhammad dari Masjid al-Haram Makkah menuju Masjid al-Aqsha Palestina, dengan menaiki ‘transportasi super express’ yang bernama “Buraq”.
Bagi kita sebagai manusia, pastilah pernah mengalami kondisi antara suka dan duka. Apalagi tangis, tawa, sedih, bahagia tak pernah lepas dari kehidupan manusia. Beban hidup, gejolak, konflik, tragedi bisa jadi merupakan makanan sehari-hari. Kehilangan jamaah, kerabat, keluarga, bahkan pasangan hidup menjadi sebuah keniscayaan di dunia. Yang abadi hanyalah “Dia” yang berhak untuk abadi.
Yang jelas, menemukan “momentum” sangat penting. Dalam setiap kepedihan dan kesedihan yang kita alami, haruslah siap menata diri, menyusun strategi menatap dan menjalankan masa depan. Sebagaimana Rasulullah membawa perubahan diri serta para pengikutnya di Makkah supaya bangkit dari ketertindasan dan menjalani fase baru yang lebih baik tatkala hijrah ke Madinah.
Hati Nabi Dibersihkan
Dalam perjalanan ‘rekreasi’ di malam hari itu, dada Rasulullah dibelah lalu hatinya dibersihkan oleh Malaikat Jibril yang berperan menjadi ‘biro perjalanan’. Hati Rasulullah dibersihkan bukan berarti hati Rasul itu kotor karena adanya penyakit hati, tetapi Allah hendak menghilangkan rasa pedih dan sedih yang dialami Rasulullah pada kejadian-kejadian sebelumnya.
Rasa pedih dan sedih yang melanda kita tentu tidaklah melekat secara permanen dan abadi. Terutama bagian hati yang paling merasakan gejolak ini. Lantas siapa yang bisa “membersihkan hati” kita yang terselimuti oleh rasa pedih dan sedih tersebut? Apakah perlu memanggil Malaikat Jibril juga? Kita sendiri pun bisa. Tentu kita tidak lepas dari ‘koneksi’ jaringan kuat agar mampu terhubung kepada Allah.
Di samping itu, pengendalian serta pengolahan hati atas suatu kejadian memunculkan kepedihan dan kesedihan haruslah dikelola dengan kesadaran diri. Ada setetes madu di setiap racun, ada setitik cahaya di setiap kegelapan dan ada secercah harapan di setiap kegagalan. Hati tetaplah hati yang murni, sedangkan pedih dan sedih hanyalah debu yang mengotori lapisan hati. Selayaknya Rasulullah memiliki hati yang suci berbalut kesabaran menghadapi kafir Makkah.
Bertemu Para Nabi ‘Senior’ di Langit
Rasulullah selama perjalanan di langit, dia bertemu dengan para nabi yang terdahulu. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad di langit pertama bertemu Nabi Adam, kedua bertemu Nabi Yahya dan Nabi Zakariya, ketiga bertemu Nabi Yusuf, keempat bertemu Nabi Idris, kelima bertemu Nabi Harun, keenam bertemu Nabi Musa, dan ketujuh bertemu Nabi Ibrahim. Para nabi yang ditemui oleh Nabi Muhammad, semuanya mengucapkan salam kepadanya.
Para ‘nabi senior’ sangat berbangga dan senang bisa bertemu dengan Nabi penutup para nabi yang merupakan gelar yang hanya Allah yang memiliki otoritas untuk memberikan gelar tersebut.
Nabi sebagi Guru Privat
Ini penting untuk dicatat, bahwa dalam menuju ‘langit sejati’ tadi, kita sebaiknya berani membuka diri untuk menerima kritik dan saran dari orang lain, terutama dalam hal ini adalah pentingnya “guru” yang membimbing dan menuntun diri kita supaya sampai pada perjalanan dengan lancar dan selamat.
Tanpa guru, tindakan spekulatif belum tentu mampu mengantarkan kita sampai pada tujuan yang sejati. Guru ini bisa berupa ilmu, sosok ataupun teladan yang bisa dijadikan pedoman yang baik dan benar.
Berjumpa Allah
Puncak ‘rekreasi’ Rasulullah adalah berjumpa (melihat langsung) dengan Dzat Allah secara langsung. Demikian riwayat kuat yang sering dijelaskan diberbagai kitab hadis. Akal kita pasti tidak sampai untuk membayangkan apa yang dialami oleh Rasulullah. Namun yang jelas, ini berkaitan dengan masalah keimanan yang tidak harus untuk dirasionalisasikan oleh akal kita.
Semakin dalam, cermat dan jernih kita melihat, menyaksikan dan merasakan setiap wujud yang ada di dunia ini, semakin besar potensi kita merasakan kehadiran dan ‘keintiman’ bersama Allah. Bahkan bagi sufi sampai pada maqom spiritual ‘menyatu’ dengan Allah. Ini sering dialami oleh para sufi, kalangan muslim yang mempunyai ketajaman hati dan kesadaran diri yang sangat tinggi, sehingga berbuah pengalaman spritual yang jarang dirasakan orang beragama pada umumnya.
Diskon Rakaat Demi Umat
Pada perjumpaan awal dengan Allah, Rasulullah diberikan 50 rakaat (ada riwayat yang mengatakan 50 waktu) dalam sehari untuk dijalankan umatnya. Lantas ketika dari Baitul Makmur dan Sidratul Muntaha kembali turun ke langit ketujuh berjumpa kembali dengan Nabi Ibrahim.
Saat itu Nabi Ibrahim ‘merekomendasikan’ supaya Nabi Muhammad kembali menemui Allah untuk meminta perihal 50 rakaat ‘didiskon’ lantaran dalam perspektif Nabi Ibrahim, umat Nabi Muhammad tidak akan mampu melaksanakan ajaran itu. Singkatnya, Allah memberi diskon kepada umat Nabi Muhammad sampai 5 waktu shalat.
Di atas hanya secuil makna yang bisa diambil pelajaran yang bisa jadi benar, dan bisa jadi salah. Tiap orang pasti berbeda-beda dalam merefleksikan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad. Yang pasti, peristiwa tidaklah berhenti pada peristiwa. Isra’ Mi’raj akan terus hidup tatkala kita aktif untuk menggali hikmah dan ‘ibrahnya.
Spritualitas kita berupa ketajaman hati dan kesadaran diri akan terus terasah selama kita tidak berhenti dengan apa yang dilihat oleh mata, disentuh oleh kulit, didengar oleh telinga, dikecam oleh lidah dan dicium oleh hidung. Wallahu a’lam.