Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Penerapan Islam Dinanti untuk Atasi Pandemi

×

Penerapan Islam Dinanti untuk Atasi Pandemi

Sebarkan artikel ini

Oleh : Mariana, S.Pd
Guru MI Al Mujahidin II Banjarmasin

Semakin hari korban virus covid-19 semakin banyak dan tidak terhitung lagi, meskipun anjuran dari pemerintah untuk melaksanakan protokol kesehatan untuk diterapkan akan tetapi masih ada yang tidak mematuhi.

Baca Koran

Menteri Dalam Negeri RI, Tito Karnavian menyatakan Negara otokrasi atau oligarki lebih efektif menangani pandemi Covid-19 dibanding Negara demokrasi seperti Indonesia, India atau Amerika Serikat.

Menurutnya pemerintahan oligarki seperti cina dan Vietnam menggunakan cara keras dan kedaulatan dipegang satu atau segelintir orang sehingga lebih mudah mengendalikan perilaku masyarakat dalam menghadapi pandemi.

Sementara dalam negara demokrasi banyaknya kalangan menengah kebawah semakin menambah kesulitan yang ada, kalangan tersebut sulit diminta untuk menerapkan protokol kesehatan alasan mereka adalah masker hoax, jangankan pakai masker, covid itu hoax dan konspirasi saja.

Apa yang dikatakan oleh Menteri Dalam Negeri oleh Tito Karnavian ini tak ubahnya seperti narasi keputus asaan rezim demokrasi, mereka mencari cari sebuah alasan agar publik memaklumi mereka mencari sebuah alasan ketidak mampuan penguasa menjalankan fungsinya dalam mengatasi pandemi.

Selain itu narasi sistem otokrasi dan oligarki lebih efektif dalam mengatasi pandemi karena menghasilkan kepatuhan masyarakat sebagai prasyarat penanganan krisis, adalah pernyataan yang menyesatkan, pasalnya tidak ada satu negarapun di dunia ini yang benar-benar lolos dari ancaman pandemi, sekalipun mereka adalah negara otokrasi seperti Cina.

Kebijakan pelonggaran pembatasan sosial dan kembali beraktivitas normal untuk saat ini berpotensi memunculkan klaster-klaster baru bahkan gelombang kedua baik di negara otokrasi maupun demokrasi, dan sebagaimana diketahui bahwa kepatuhan yang terjadi dinegara-negara otokrasi disebabkan ancaman hukuman-hukuman dari otoritas penguasa.

Bentuk kepatuhan yang terbentuk dari mekanisme ini adalah kepatuhan terpaksa yang sifatnya tidak akan permanen dan justru melahirkan dendam rakyat terhadap pemimpin yang menjadi bom waktu.

Sejarah dunia telah membuktikan adanya jejak hitam saat kepemimpinan otoriter diterapkan. Bahkan dinegeri ini pernah mencicipi model kepemimpinan tersebut. Seharusnya pemerintah penganut demokrasi saat ini memaksimalkan berbagai upaya menghentikan laju infeksi virus.

Seperti menggencarkan sosialisasi protokol kesehatan dan menyediakan berbagai fasilitas sehingga rakyat mudah melaksanakannya, selain itu kebijakan yang dibuat seharusnya meningkatkan kepercayaan rakyat pada pemerintah dengan kebijakan yang berpihak pada publik.

Jika pemerintah masih seperti ini, maka wajar kepercayaan rakyat hilang pada penguasa, sebenarnya inilah penyakit bawaan penguasa sistem demokrasi. Mereka setengah hati mengurus dan lamban dalam menangkap permasalahan rakyat karena hati dan pemikiran mereka bukan pada rakyat melainkan kepada para kapital yang telah membantunya untuk meraih kekuasaan.

Dengan demikian masih pantaskah sistem bobrok ini terus dimaklumi dan dipertahankan keberadaannya. Pandemi covid 19 membuka mata dunia bahwa sejatinya dunia membutuhkan sistem alternatif, bukan demokrasi maupun otokrasi.

Sistem alternatif tersebut akan mewujudkan terselenggaranya fungsi negara secara konsisten untuk penguasanya. Sebagai pengayom dan penanggung jawab, negara akan bekerja optimal mengatasi krisis dan menyosialisasikan protokol kesehatan untuk dijalankan rakyatnya.

Baca Juga :  PALSU

Dari seluruh 200 negara, Indonesia menempati posisi 97. Posisi tiga teratas ditempati Swiss, Jerman, dan Israel. Hasil pembaruan data terakhir yang dilakukan pada 23 Agustus 2020, menunjukkan Indonesia (478,46) naik peringkat hingga posisi 76, dan 3 posisi puncak ditempati Jerman (762,64), Selandia Baru (757,7), dan Korea Selatan (750,79) (tirto.id, 23/12/2020).

Kemudian jika dibandingkan dengan jumlah dokter, yang mana menurut WHO jumlah dokter yang dibutuhkan untuk melayani masyarakat suatu negara minimal 1:1000 orang; Sementara Indonesia hanya memiliki 0,38 dokter untuk 1000 orang, atau sekitar 38 dokter untuk melayani 100.000 orang.

Angka tersebut, menjadikan Indonesia menempati posisi tiga terendah di atas Rwanda dan Paraguay. Padahal, diketahui pula, hingga September 2020, tingkat kematian tenaga kesehatan di Indonesia akibat Covid-19 adalah yang tertinggi keempat di dunia.

Pada bulan kesepuluh pandemi berjalan, yakni Desember 2020 ini, angka positif Covid-19 di Indonesia boleh dikata kian menggila. Berdasarkan data terbaru yang dikutip dari situs resmi Kemenkes, jumlah kasus per Senin, 28 Desember 2020 mencapai 719.219 orang.

Angka tersebut meliputi penambahan pasien positif harian dalam 24 jam mencapai 6.854 orang. Untuk pasien sembuh mengalami pertambahan sebanyak 6.302 orang. Akumulasi pasien yang sembuh mencapai 589.978 orang. Adapun pasien meninggal dunia mengalami penambahan sebanyak 215 orang. Total kasus kematian akibat pandemi virus corona di Indonesia mencapai 21.452 orang.

Namun sayangnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi), hanya memberi jawaban dengan me-reshuffle posisi Menteri Kesehatan RI beberapa waktu lalu. Kendati sejak Juni 2020 Jokowi berulang kali menyerukan rendahnya serapan anggaran Covid-19, realitas penanganan pandemi belumlah optimal.

Belum lagi adanya berbagai kerancuan PSBB, tarik ulur kenormalan baru (new normal), dan mandeknya sejumlah jejaring ekonomi. Yang di satu sisi ibarat membuat pemerintah kian bimbang dalam penanganan pandemi. Namun di sisi lain tak dapat dimungkiri pula, keseriusan pemerintah menangani juga layak dipertanyakan.

Kondisi di akar rumput yang menunjukkan fakta berbeda. Tak sedikit masyarakat di luar rumah sakit yang harus merogoh kocek lebih dalam untuk uji mandiri Covid-19, baik itu rapid test maupun usap (swab).

Ini semua akhirnya mengerucut pada satu kesimpulan bahwa pelayanan yang belum optimal (jika tak mau dikatakan buruk) itu, tak lain akibat kentalnya miskoordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Wajar jika hasilnya sungguh nirprestasi. Reshuffle posisi Menteri Kesehatan toh tak serta-merta menghijaukan zona Covid-19.

Sangat efektif diterapkan saat sebaran pandemi sudah meluas seperti sekarang. Selain memberi penegasan dan fasilitas dalam hal protokol kesehatan, semestinya pemerintah menampilkan tanggung jawab dengan memberi fasilitas uji (rapid test dan usap) serta sungguh-sungguh melakukan tracing pada pasien kasus positif Covid-19.

Ini adalah upaya teknis untuk memantau sebaran Covid-19 sehingga dapat ditanggulangi segera. Alih-alih gratis. Masyarakat harus menelan pil kehidupan yang lebih pahit lagi karena harus mengeluarkan dana yang tak sedikit, terlebih di saat pandemi begini.

Baca Juga :  Ekologi Emosional, Ketika Merawat Bumi Sama dengan Merawat Diri Sendiri

Ketika sebaran Covid-19 sudah ibarat tak terkendali, akhirnya pihak RT atau perangkat desa dan Puskesmaslah yang diharapkan menjadi ujung tombak penanganan. Namun, siapalah mereka ketika dana dan fasilitas uji juga terbatas.

Koordinasi dan birokrasi harus terpusat, demikian halnya dengan distribusi anggaran. Yang mana pemerintah daerah adalah pelaksana kebijakan pusat. Janganlah pemerintah daerah justru dibiarkan melangkah sendiri-sendiri, agar terjadinya miskoordinasi dapat dihindari. Jika hal ini sudah tercapai, bukan mustahil nirprestasi tadi dapat dihindari karena angka kasus positif Covid-19 serta kematian pasien dan nakes yang dapat ditekan.

Tapi apa mau dikata, pemerintah tampak masih belum memiliki peta jalan yang jelas dan tegas dalam penanganan Covid-19. Nyawa rakyat dan kesehatan ibarat perkara nomor dua, ketika di tengah pandemi pemerintah lebih menomorsatukan sektor ekonomi.

Maka ketika terjadi pandemi pemimpin Islam akan melakukan berbagai upaya terbaik bukan karena dorongan materi yang bersifat relatif atau takut diprotes rakyat, tetapi karena ingin mendapat kemuliaan akhirat. Adapun upaya terbaik yang akan dilakukan oleh pemimpin Islam adalah :

1. Sejak awal akan memisahkan orang yang sakit dan orang yang sehat, kemudian akan memeberlakukan test massal, baik rapid test/swab test secara gratis bagi warganya, bagi mereka yang terinfeksi negara akan menjamin pengobatannya hingga mereka sembuh;

2. Berupaya optimal menutup wilayah sumber penyakit sehingga penyakit tidak meluas dan daerah yang tidak terinfeksi dapat menjalankan aktivitas sosial ekonomi mereka secara normal tanpa takut tertular, selain itu upaya membuat pengausa fokus untuk menyembuhkan daerah terdampak wabah;

3. Bagi masyarakat di daerah wabah yang tidak terinfeksi penyakit maka seorang pemimpin akan menjamin seluruh kebutuhan pokok mereka. Seorang pemimpin akan menjamin protokol kesehatan dapat dilakukan oleh semua rakyatnya. Upaya ini kan tentu akan menambah jalur pemutus rantai penularan penyakit;

4. Seorang pemimpin juga akan menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan yang cukup dan memadai bagi rakyatnya tanpa menzalimi tenaga medis instansi kesehatan;

5. Seorang pemimpin juga akan memberi dukungan penuh dengan menyediakn dana yang cukup untuk melakukan riset sehingga vaksin dapat segera ditemukan.

Semua ini akan ditopang dengan sistem keuangan negara berbasis Baitul Mal, alhasil rakyatnya akan mematuhi protokol karena percaya keapda penguasa. Dan rakyat menjadi tidak ragu pada kebenaran informasi yang disampaikan penguasanya.

Bahkan rakyat taat dengan penuh kesadaran berkat dorongan iman mereka kan patuh dan bersungguh sungguh menjalankan protokol karena ingin beroleh pahala dengan menaati pemimpin yang menalankan amanh kekuasaan sesuai perintah Allah SWT.

Memang sudah waktunya kaum muslimin dan manusia seluruhnya beralih pada satu-satunya sistem alternatif untuk mengelola kehidupan ini, agar senantiasa sesuai fitrah, itulah Islam. Sistem pemerintahan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah, penegak syariat kaffah, sistem yang sangat dirindukan oleh umat untuk kesejahteraan umat. Waalahu ‘alam bishowab.

Iklan
Iklan