Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Pentingkah Sertifikasi Dai?

×

Pentingkah Sertifikasi Dai?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Saadah, S.Pd
Pendidik

Menteri Agama (Menag) dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR menyebut akan melakukan sertifikasi wawasan kebangsaan bagi para dai dan penceramah. Sertifikasi ini dilakukan dalam rangka penguatan moderasi beragama. (Jumat, 4 Juni 2021, m.republika.co.id)

Kalimantan Post

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI Dr Amirsyah Tambunan menolak rencana tersebut. Karena, menurut Amirsyah, sertifikasi ini tidak jelas manfaat yang diterima oleh penceramah dan dai yang akan disertifikasi. (Jumat, 4 Juni 2021, m.republika.co.id)

Demikian juga Ketua Umum Ikatan Dai Seluruh Indonesia (Ikadi) KH Ahmad Satori mengingatkan bahwa jangan sampai ada syahwat-syahwat dari golongan tertentu dalam sertifikasi dai berwawasan kebangsaan. Sertifikasi dai dinilai harus bertujuan hanya karena Allah SWT. (Jumat, 4 Juni 2021, m.ayobandung.com)

“Kalau untuk menguatkan persatuan dan meningkatkan kompetensi dai, itu bagus-bagus saja. Bukan untuk tujuan syahwat-syahwat dari golongan tertentu,” kata KH Satori dikutip dari Republika, Jumat, 4 Juni 2021.

Sertifikasi wawasan kebangsaan ini sebenarnya bagian dari program moderasi agama yang memang sedang digencarkan Kemenag.

Awalnya dengan nama program sertifikasi dai sudah diwacanakan Kemenag di masa kepemimpinan Lukman Hakim. Saat itu Kemenag merekomendasikan 200 ulama yang ujungnya menimbulkan polemik di ruang publik. Program ini dilanjutkan MUI pada November 2019 lalu.

Saat itu, ada tiga pokok yang menjadi dasar standardisasi dai oleh MUI. Para dai yang mengantongi rekomendasi MUI harus menganut ajaran ahlusunah waljamaah, pro-NKRI dan, serta isi ceramahnya tidak bikin onar. Dan ini menjadi pro kontra, yang makin menguatkan kepada mengamputasi suara ulama.

Kembali saat ini digencarkan, meski diklaim tidak merugikan dan hanya dinilai sebagai bimbingan teknis dalam hal wawasan kebangsaan, tetap saja rencana tersebut menjadi bagian penguatan moderasi agama yang sebenarnya perlu dikritisi.

Penguatan wawasan kebangsaan dinilai sebagai rumus manjur untuk mencapai tujuan moderasi beragama, yakni menampilkan Islam yang ramah, toleran, dan tidak kaku. Tentu saja lawan dari istilah moderasi itu adalah Islam yang dianggap tidak ramah, intoleran, provokatif, dan terbuka dengan nilai serta pemikiran barat. Singkatnya, lawan moderasi adalah radikalisasi agama.

Baca Juga :  Kampus Bentuk Satgas Perlindungan Perempuan, Sudah Cukupkah?

RAND Corporation dalam Building Moderate Muslim Networks menjelaskan karakter Islam moderat, yakni mendukung demokrasi, pengakuan terhadap HAM (termasuk kesetaraan gender dan kebebasan beragama), menghormati sumber hukum yang nonsektarian, dan menentang terorisme.

Sejatinya deradikalisasi adalah lawan dari radikalisasi yang selama ini dianggap sebagai biang munculnya aksi-aksi kekerasan (baca: terorisme). Namun, sebetulnya tak ada bukti sama sekali bahwa aksi-aksi kekerasan diinspirasi oleh buku-buku Islam yang bertemakan syariah, jihad dan khilafah. Padahal materi tersebut sudah lama terdapat di kitab-kitab di pesantren dan dikaji selama bertahun-tahun oleh para santri.

Bahkan materi tentang khilafah, misalnya, juga sudah bertahun-tahun dijadikan materi resmi di buku-buku pelajaran Madrasah Aliyah di lingkungan Kemenag. Jika memang kitab-kitab pesantren dan buku-buku pelajaran agama itu memicu radikalisme, tentu harusnya radikalisme terjadi sejak puluhan tahun lalu.

Kemudian dengan program sertifikasi tersebut diharapkan penceramah lebih moderat dan tidak terlalu kaku dalam menyampaikan dakwah. Jika mengingat kembali, sudah beberapa kali program sertifikasi dai menjadi perbincangan pro dan kontra. Dari Kemenag era Lukman Hakim, MUI, Kemenag era Fachrul Razi, hingga era Yaqut.

Jika memang ingin umat memiliki pemahaman agama Islam yang benar, maka jawabannya adalah dakwah Islam yang benar sesuai Al-Qur’an dan Sunah. Bukan dengan program moderasi yang justru mengaburkan pemahaman umat tentang Islam.

Persoalan negeri ini sebenarnya bukan terletak pada sejauh mana kualitas wawasan kebangsaan para penceramah. Namun, sejauh mana para penguasa negeri ini merealisasikan wawasan kebangsaan dan kecintaan sejati pada negeri ini.

Jangan hanya kuat di slogan cinta negeri, namun faktanya segala kekayaan miliki negara diobral dengan mudah kepada asing/swasta.

Sertifikasi wawasan kebangsaan bukanlah standar untuk mengukur kompeten tidaknya para dai. Tapi, kompetensi itu dinilai berdasarkan keilmuan yang dimiliki, konsistensinya memegang kebenaran, dan ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dakwah mestinya disampaikan sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Sunah. Bukan berdasarkan pada pertimbangan dan penilaian manusia.

Baca Juga :  Program Tiga Juta Rumah Hendaknya Dibarengi Pengawasan

Sejatinya, dakwah amar makruf nahi mungkar tidak membutuhkan sertifikasi, tapi konsistensi dan realisasi. Kewajiban menyampaikan kebenaran sudah dinyatakan Rasul dalam sabdanya, “Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi)

Tugas dai adalah menyampaikan amar makruf nahi mungkar secara bersamaan, bukan memilih salah satu. Senang menyeru amar makruf, tapi mendiamkan kemungkaran. Itu bukanlah sikap dai sejati.

Rasulullah SAW bersabda, “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa yang zalim.” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Alangkah baiknya Kemenag tidak bersibuk diri dengan pesan moderasi dan sertifikasi ke sana kemari. Lebih baik membuat program membina umat ini dengan pemahaman Islam yang lurus dan benar. Agar generasi tidak terjerumus pada pemikiran asing yang merusak seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme, feminisme, dll, pergaulan bebas serta kemaksiatan lainnya.

Karena itu merupakan kewajiban para dai untuk mengajak umat agar mengamalkan seluruh ajaran Islam. Para dai harus mendorong umat untuk mengamalkan Islam secara total. Tidak setengah-setengah.

Tak hanya mengamalkan ajaran Islam seperti shalat, shaum, zakat dan haji saja. Namun juga mengamalkan ajaran Islam yang lain yang terkait muamalah, ‘uqubat (sanksi hukum Islam), jihad, termasuk ajaran Islam seputar kewajiban menegakkan khilafah. Wajib berislam secara keseluruhan sebagaimana dituntunkan Allah Ta’ala.

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS Al Baqarah: 208)

Dan mengikuti Rasulullah sebagai teladan dalam berislam dan berdakwah.

Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. al-Anbiya’ [21]: 107)

Iklan
Iklan