Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Mengatasi Penyakit Diare pada Musim Kemarau di Kalimantan Tengah

×

Mengatasi Penyakit Diare pada Musim Kemarau di Kalimantan Tengah

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ribka Ananda Sejati
Universitas Kristen Duta Wacana

Musim kemarau masih menjadi salah satu faktor pemicu naiknya insidensi penyakit diare.

Baca Koran

Berkaitan dengan penyakit menahun diare, tercatat adanya peningkatan kasus diare terutama pada anak-anak yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Tengah, pada tahun 2018, jumlah kasus diare mencapai angka 9.347 dengan Kabupaten Kapuas yang mendominasi tingginya rata-rata kasus. Bahkan pada tahun 2017, penduduk Kalimantan Tengah yang mengalami kasus penyakit diare mampu menembus angka 42.935. Hal ini menandakan bahwa diare masih menjadi momok membahayakan bagi masyarakat Kalimantan Tengah, terutama ketika musim kemarau.

Menurut WHO, diare yang ditandai dengan menurunnya konsistensi feses merupakan kondisi infeksi saluran usus yang disebarkan melalui makanan dan air minum yang terkontaminasi, dengan ataupun tanpa bantuan vektor (lalat) pembawa agen pemicu diare. Sumber penyakit diare secara alami banyak terdapat pada tumpukan sampah maupun tinja, di antaranya adalah bakteri Escherichia coli, Salmonella spp., hingga Shigella spp. Lalat yang membawa bakteri tersebut dapat menyebarkannya saat hinggap di makanan atau minuman yang akan dikonsumsi. Begitu pula sanitasi yang kurang serta rendahnya kualitas air dapat memungkinan adanya kandungan bakteri serupa. Ketika air berkualitas rendah dikonsumsi oleh manusia, maka penyebaran bakteri dapat dengan mudah terjadi dan mengakibatkan diare.

Pada saat musim kemarau, kurangnya debit air bersih dan kebiasaan mengonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi mikroorganisme penyebab diare merupakan hal yang perlu mendapat perhatian. Kondisi sanitasi yang kurang baik pun menjadi permasalahan lain.

Faktanya, upaya pemenuhan fasilitas kesehatan, termasuk sanitasi masyarakat belum berjalan dengan maksimal. Bahkan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang disosialisasikan tidak cukup efektif ketika masyarakat masih cenderung kesulitan untuk menerapkan pola tersebut. Situasi ini diperparah dengan monitoring penyakit diare yang masih cukup problematis. Pasalnya, informasi statistik jumlah kasus diare masih terbatas pada tahun 2018 (mengacu pada data jumlah kasus diare Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Tengah). Lemahnya signifikansi dan pembaruan data dapat turut mengurangi ketepatan solusi yang perlu diambil untuk membebaskan Kalimantan Tengah dari penyakit diare.

Baca Juga :  Ekologi Emosional, Ketika Merawat Bumi Sama dengan Merawat Diri Sendiri

Oleh karena banyaknya sumber masalah yang ada, harapan antisipasi dan penanganan tidak lagi dapat bertumpu pada salah satu pihak saja. Adanya kolaborasi yang selaras antara masyarakat, komunitas peduli kesehatan, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya diharapkan mampu mengurangi beban dalam mewujudkan Kalimantan Tengah bebas diare.

Sebagai masyarakat, besar harapan untuk tidak menunggu pemerintah setempat turun tangan, tetapi perlu untuk mulai menyadari situasi dengan mulai menerapkan PHBS secara ketat ketika musim kemarau tiba, seperti membiasakan diri mengonsumsi makanan dan minuman bersih dan sehat, membuang sampah pada tempatnya, dan mencuci tangan sebelum ataupun setelah makan. Masyarakat juga dapat menggunakan pembasmi lalat ketika dibutuhkan.

Untuk efek jangka panjang dengan dampak negatif lebih minimalis, penanaman tanaman rempah, seperti basil, mint, dan baru cina akan membantu pengusiran lalat pembawa mikroorganisme penyebab diare, serta memberikan kondisi lingkungan yang lebih asri. Dukungan dari orang terdekat dan komunitas peduli kesehatan mengenai edukasi penyakit diare, mulai dari pengertian, penyebab, pencegahan, hingga penanganan juga seharusnya mulai diberikan sejak dini.

Terlepas dari upaya masyarakat, perlu adanya peningkatan pengadaan dan perbaikan pola sanitasi dengan mewujudkan sanitasi sistem komunal yang digagas oleh pemerintah provinsi.

Pola sanitasi di Kalimantan Tengah sangat dibutuhkan bagi masyarakat yang tinggal di daerah sungai dan sangat terdampak oleh musim kemarau. Pemerintah provinsi pun diharapkan mampu melakukan kajian ulang secara komprehensif mengenai program pengendalian yang sudah dan/atau akan dibentuk. Begitu pula dengan ketegasan hukum terhadap aksi pencemaran lingkungan, baik darat, udara, dan air yang mampu menjadi media transmisi penyakit diare.

Selain itu, sensus penyakit diare dan publikasi data tahunan yang konsisten perlu kembali dipertahankan oleh pihak otoritas agar langkah penanganan penyakit diare maupun surveilans mampu dilakukan dengan prediktif, tetapi tepat dan efektif. Adapun upaya monitoring kualitas air minum dan kebersihan lingkungan secara kontinyu oleh pihak-pihak berkompeten merupakan penunjang antisipasi dan penanganan penyakit diare.

Baca Juga :  Meningkatnya Penggunaan Gadget di Kalangan Siswa MI Nurul Hasanah Kecamatan Cempaka: Waspadai Dampak Jangka Panjang

Pada tahun 2021, Indonesia diprediksi akan mengalami musim kemarau pada bulan Juni hingga Oktober (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika). Oleh sebab itu, di masa ini, kerja sama yang dipupuk dengan baik oleh tiap komponen masyarakat dan pemangku kepentingan diharapkan mampu mengatasi kasus penyakit diare di Kalimantan Tengah sebagai investasi kesehatan di masa depan.

Iklan
Iklan