Oleh : Paulus Mujiran
Pemerhati Politik
Wacana untuk memperpanjang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden terus bergulir. Lemparan wacana ke publik dalam kacamata politik kerap disebut “test the water” yang bermakna menguji sejauh mana pendapat publik atas wacana yang hendak diangkat. Meski di banyak tempat masih menjadi polemik yang menuai kontroversi bisa jadi segelintir elit politik sudah bergerak merumuskan 1-2 pasal amandemen UUD 1945 untuk kelak digolkan pada waktu yang tepat.
Pandemi Covid-19 yang bagi sebagian besar rakyat tengah berjibaku melawan virus mematikan ini namun tidak sebagian bagi elit politik. Dalam momen senyap seperti ini kerap dimanfaatkan oleh elit untuk “gerilya” politik yang menguntungkan kepentingan kekuasaan. Asumsinya rakyat terlena dengan pandemi sehingga tidak akan fokus pada gerak senyap akal licik para politikus. Mereka tetap menunjukkan wajah kemaruknya untuk memperpanjang kekuasaan.
Entah bersama Presiden Jokowi-Wapres Ma’ruf Amin yang kini berkuasa atau presiden dan wakil presiden berikutnya. Terkait politik kekuasaan publik memang cepat dibuat lupa. Rasa-rasanya belum genap seperempat abad kita melengserkan Presiden Soeharto yang berniat menjadi presiden seumur hidup, kini gagasan memperlama masa jabatan presiden mengemuka kembali. Menjadi lingkaran kekuasaan itu menyenangkan, karena itu akan diperpanjang sesuai kehendaknya.
Padahal, pasal 7 UUD 1945 pasca amandemen ke 1 mengatur masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Lahirnya pasal itu tentu dari sejarah panjang sepanjang Orde Lama dan Orde Baru ketika kekuasaan dikooptasi hanya kepada segelintir orang.
Terdapat sejumlah pertimbangan mengapa jabatan presiden 3 periode harus ditolak. Alasan yang paling mendasar karena melanggar konstutusi. Di pasal 7 UUD 1945 jelas disebutkan masa jabatan presiden hanya lima tahun dan maksimal 2 periode. Namun bagi sementara kalangan amandemen sah-sah saja dilakukan. Konstitusi juga buatan manusia. Bukan Kitab Suci. Kita masih ingat sekian banyak undang-undang yang dapat diubah sesuai nafsu politik penguasa.
Sebut saja misalnya UU KPK. Apa juga susahnya sekarang ketika mayoritas wakil rakyat mendukung pemerintah amandemen dilakukan? Dalam bahasa Begawan Durno “suwe mijet wohing ranti”. Semangat yang sama kini menghinggapi segelintir elit yang ingin tetap duduk di kursi kekuasaan atau ikut menikmati manisnya singgasana kekuasaan.
Kekuasaan itu melenakan. Kekuasaan itu nyaman dan menyenangkan. Maka segala cara akan dipertahankan. Meski demikian kehendak memperpanjang masa jabatan presiden/wakil presiden kurang tepat karena mayoritas negara-negara di dunia masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal hanya 2 periode. Di masa jabatan kedua kerapkali seorang Presiden dan Wakil Presiden kurang sukses menyelenggarakan pemerintahan, diwarnai skandal besar, bencana dahsyat.
Pengalaman membuktikan di periode kedua Presiden dan Wakil Presiden kurang fokus pada rakyat karena sibuk mengamankan diri sendiri dan keluarganya. Alih-alih melayani masyarakat kepemimpinan berfokus pada lingkaran dalam kekuasaan termasuk orang-orang di sekitarnya. Juga memperpanjang jabatan presiden/wakil presiden menutup peluang terjadinya regenerasi kepemimpinan nasional.
Artinya jika terus-menerus terpilih maka selama 15 tahun rakyat akan menghadapi pemimpin yang sama. Kapan generasi berikutnya berkesempatan duduk sebagai pemimpin nasional. Sejak 1945-1967, dan sejak 1967-1998 kita hanya punya 2 presiden. Artinya sepanjang Orde Lama dan Orde Baru sama sekali tak ada regenerasi kepemimpinan nasional.
Jika berkaca pada saat ini untuk kita mempunyai pemimpin yang baik, rendah hati, ngayomi rakyat, bersih dari korupsi. Bayangkan jika pemimpinnya kebetulan korup, otoriter, menggunakan kekerasan dalam menghadapi rakyatnya. Maka rakyat akan dirugikan dengan kehadiran pemimpin yang demikian.
Demi menyelamatkan konstitusi dan demokrasi, masa jabatan presiden harus dilindungi. Hindarkan Presiden dan Wakil Presiden dari jebakan konstitusional yang kelak merugikan bangsa dan negara. Sisa-sisa kelam sejarah masa lalu dengan Presiden Soekarno dan Soeharto rasanya sudah cukup menjadi pengalaman pedih yang bekasnya masih kita rasakan hingga saat ini. Amandemen konstitusi dibutuhkan untuk menyelamatkan bangsa dan negara dalam keadaan darurat bukan untuk tujuan politik kekuasaan.
Kita sudah cukup bangga dengan mantan-mantan presiden di era reformasi seperti BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY yang meninggalkan warisan kenegawaranan yang pantas dikenang. Niat mulia para presiden yang hendak mengabdi hanya 2 periode dengan memberikan pelayanan terbaik bagi bangsa jangan dikotori oleh ulah segelintir elit yang haus nikmatnya kekuasaan. Sekali lagi, jangan paksa Presiden dan Wakil Presiden diperpanjang dengan melanggar konstitusi!.