Oleh : Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Remaja
Pemerintah telah mengumumkan aturan baru yang bernama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Aturan ini mulai berlaku pada 3 Juli hingga 20 Juli 2021 untuk wilayah Jawa dan Bali. Keputusan ini diambil untuk mencegah penyebaran Covid-19 yang semakin menjadi, seiring dengan munculnya berbagai varian baru yang disebut-sebut cepat menular. Aturan ini tertuang dalam instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 01 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan untuk Pengendalian Covid-19. (cnbcindonesia.com, 2/7/2021)
Sebagaimana dikabarkan dari laman Setkab.go.id (3/2/2021) arahan tersebut disampaikan Presiden dalam Sidang Kabinet Paripurna (SKP) mengenai Penanganan Pandemi Covid-19 dan Tindak Lanjut Program Vaksinasi, Pemerintah pun tengah menggencarkan program vaksinasi massal, 1 juta suntikan per hari di bulan Juli dan 2 juta suntikan per hari di Bulan Agustus. Target capaian vaksinasi bulan Juli 43,7 juta suntikan. (kompas.com, 30/6/2021).
Jokowi menyampaikan bahwa program vaksinasi bertujuan agar tercapai sebuah kekebalan komunal (herd immunity). Saat 70 persen penduduk sudah divaksinasi, maka kekebalan komunal akan tercipta. Maka dari itu Pemerintah berencana memvaksinasi 181,5 juta warga atau 70 persen dari populasi dalam upaya mewujudkan kekebalan komunal.
Sementara itu pihak kepolisian telah mengeluarkan telegram yang ikut mendukung program PPKM ini. Dilansir dari Polri.go.id (2/2/2021), Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menginstruksikan kepada seluruh jajarannya untuk lebih mendisiplinkan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan (Prokes) pencegahan Covid-19. Instruksi ini merupakan tindak lanjut atas hasil pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Jawa Bali tahap II yang dinilai Presiden Jokowi kurang maksimal.
PPKM memuat enam poin mulai dari perkantoran dengan menerapkan kerja dari rumah (WFH) sebesar 75 persen, sekolah daring, sektor esensial yang berkaitan dengan kebutuhan pokok masyarakat tetap beroperasi dengan protokol kesehatan, begitu pun izin kegiatan konstruksi 100 persen, pembatasan ibadah hingga 50 persen, hingga pengaturan pemberlakuan pada jam operasi pusat perbelanjaan, dll. Hamper tak berbeda dengan PSBB kecuali persentasenya saja yang diubah-ubah. (kompas.com, 11/01/2021)
Berikut beberapa poin dari PPKM Mikro yang mencakup dari perkantoran, belajar mengajar, konstruksi, restoran, dan lain-lain. Beda halnya dengan sektor konstruksi yang 100 persen beroperasi, prokes lebih ketat tapi jam operasional dan kapasitas dibatasi. Sementara, operasional restoran harus menerapkan kapasitas maksimum 25 persen, dine-in maksimal pukul 20.00 WIB, bisa take away/delivery sesuai jam operasional.
Sektor esensial beroperasi 100 persen. Seperti sektor energi, komunikasi, keuangan, logistik, perhotelan, industri, pelayanan dasar, dan objek vital nasional, serta tempat untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Begitu juga dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang 100 persen beroperasi dengan prokes lebih ketat. Pusat perbelanjaan atau mall kapasitas maksimal 25 persen dengan penerapan prokes lebih ketat dan maksimal pukul 20.00 WIB.
Tempat ibadah diminta ditutup dan umat beribadah di rumah saja. Sementara, kegiatan di area publik dan tempat lain yang menimbulkan kerumuman di tidiadakan termasuk kegiatan seni, sosial, budaya, pertemuan, seminar, workshop. Kegiatan hajatan maksimal 25 persen kapasitas tanpa hidangan di tempat. Kendaraan umum angkutan massal, taksi maksimal 50 persen kapasitas. Kendaraan pribadi maksimal 50 persen kapasitas dan 100 persen jika berdomisili di alamat yang sama. Ojek, baik online dan pangkalan, 100 persen kapasitas, tetapi tidak boleh berkumpul.
Kebijakan PPKM Darurat diterapkan di 48 Kabupaten/Kota dengan asesmen situasi pandemi level 3 di Pulau Jawa dan Bali. Asesmen ini dinilai berdasarkan faktor laju penularan dan kapasitas respon di suatu daerah sesuai rekomendasi WHO. Pengetatan aktivitasnya antara lain mencakup 100 persen WFH untuk non esensial, 50 persen WFO untuk sektor esensial, dan 100 persen WFO untuk sektor kritikal.
Kegiatan belajar mengajar 100 persen dilakukan daring. Swalayan, toko, pasar dibatasi hingga jam 20.00 dengan kapasitas pengunjung 50 persen. Kartu vaksin untuk yang melakukan perjalanan. (tempo.co, 2/7/2021) Namun demikian, banyak pakar yang menyangsikan kebijakan ini berhasil. Pasalnya, dari mulai PSBB, PPKM Jawa-Bali, PPKM Mikro, Penebalan PPKM Mikro dan kini PPKM Darurat. Kesemuanya dinilai kurang efektif dalam mengatasi wabah. Buktinya hingga kini wabah semakin mencekam dan ekonomi kian suram.
Seperti yang dipaparkan oleh Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman bahwa PPKM Darurat tidak akan efektif. Kerancuan dengan adanya zonasi-zonasi, esensial dan tidak esensial ini saja akan menimbulkan multitafsir. Sehingga tidak akan mampu menjawab persoalan wabah yang semakin kritis.
Apalagi kementrian perindustrian akan mempermudah penetapan Kawasan industri berstatus objek vital nasional bidang industri. Akhirnya akan semakin rancu mana yang boleh WFH dan WFO. Hal demikian membuat kebijakan ini tak akan berbeda jauh dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya. Apalagi pengawasan yang minim sehingga mobilitas masyarakat tak signifikan berkurang.
Direktur Utama Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal III bisa terkontraksi lebih dalam dan itu memicu terjadinya PHK massal. Kebijakan ini pun akan memukul UMKM yang sudah mulai bangkit, kembali terpuruk dengan adanya kebijakan tersebut. Ditambah perilaku masyarakat yang sudah jenuh dengan berbagai kebijakan pemerintah yang sedari awal memang tak menguntungkan rakyat. Oleh karenanya, kebijakan ini besar kemungkinan gagal menyelesaikan pandemi.
Pemerintah di awal kebijakannya bersikukuh tidak akan menerapkan lockdown total pada daerah yang terjangkiti wabah. Padahal, pada Maret 2020 lalu, orang yang terjangkit virus masih dalam hitungan jari dan belum menyebar ke mana-mana. Jika saja kebijakan awal pemerintah tepat, tentu lonjakan kasus dan penyebarannya yang sudah tak terkendali ini bisa diatasi. Keengganan pemerintah memberlakukan dua kebijakan strategis di atas, tidak lain adalah motif ekonomi.
Pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk melaksanakan karantina wilayah, karena dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa jika diberlakukan, kebutuhan pokok rakyat ditanggung negara. Begitu pun tes massal, dengan alasan dana tak bisa dilakukan. Jika kita cermati, semua ini adalah ulah sistem kapitalisme yang telah melegalkan kepemilikan SDA oleh swasta atau asing. Deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi menjadi jalan mulus dikeruknya SDA, tanpa menyisakan kemaslahatan sedikit pun bagi rakyat Indonesia.
Akhirnya pendanaan wabah bertumpu pada utang. Karena penerimaan pajak kian melemah lantaran ekonomi masyarakat semakin susah. Bahkan yang teranyar, kini utang Indonesia berada pada peringkat atas dunia dengan kategori negara miskin yang memiliki utang tinggi. Utang dengan bunga yang tinggi, bukan hanya berbahaya pada keuangan negara saja. Tapi ada bahaya yang lebih besar dari itu, yakni dikte asing yang semakin mencengkeram kebijakan negara ini. Jebakan utang yang diberikan pada negara ini, menjadi jalan bagi negara makmur untuk semakin mengeksploitasi SDA dan memanfaatkan masyarakat sebagai pasar buat produk mereka.
Begitu pun dengan program vaksinasi. Permasalahan terbesarnya bukan pada pengadaan dan distribusi vaksin itu sendiri. Tapi pada kesadaran masyarakat tentang vaksin itu sendiri. Banyak warga yang masih ragu untuk divaksinasi dengan alasan keamanan vaksin, efikasi, dan kehalalan vaksin itu sendiri. Lalu terkait kehalalan, MUI pada tanggal 11 Januari 2021 juga telah mengeluarkan vaksin Covid Sinovac halal dan suci.
Namun, kepercayaan publik yang sudah terlanjur menurun pada pemerintah, membuat semua itu mental. Inilah fenomena publict Distrust, saat kepercayaan publik rusak pada para penguasanya, akibat ulang penguasanya sendiri. Solusi vaksin tanpa disertai dengan solusi fundamentalnya, tentu tidak akan menyelesaikan permasalahan. Solusi hulunya adalah kebijakan pemerintah yang konsisten. Harus ada kebijakan makro pemerintah yang benar-benar pro rakyat dan konsisten, serta merujuk pada para pakar.
Kebijakan yang sering kali mengecewakan masyarakat, seolah menegaskan bahwa kebijakan yang dibuat memang ditunggangi banyak kepentingan. Misalnya saja kepentingan bisnis sektor Kesehatan seperti vaksinasi. Padahal, vaksinasi sedang berlomba dengan menjalarnya virus ke tengah masyarakat. Namun hegemoni negara-negara maju penghasil vaksin membuat distribusi vaksin pada negara berkembang tersendat.
Maka dari itu, akar permasalahan tak terselesaikannya persoalan pandemi, bukanlah sebatas vaksinasi yang belum mencapai 70 persen. Bukan pula karena kebijakan PPKM Darurat yang serba tanggung. Namun akar masalahnya adalah ketidakpercayaan umat pada penguasa yang telah mengakar belukar.
Ketidakpercayaan lahir dari buruknya pengurusan penguasa pada rakyat. Dan buruknya pengurusan penguasa tak bisa dilepaskan dari tata kelola negaranya yang bersistemkan demokrasi. Demokrasi lah yang menghilangkan peran pencipta untuk mengatur kehidupan bernegara. Demokrasi pula lah yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan penguasa korup dan kebijakan yang mendzolimi.
Kebijakan Khalifah atas pandemi telah terbukti mampu mengatasi seluruh wabah yang pernah terjadi di masa Kekhilafahan. Jika terjadi wabah, Khalifah dengan segera menutup daerah yang terkena wabah, sehingga daerah yang tidak terjangkiti bisa beraktivitas normal dan daerah yang terkena wabah cepat tertangani. Begitu pun tes massal, akan masif dilakukan agar segera berpisah antara yang sakit dan sehat.
Seperti apa yang dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab saat terjadi wabah Tha’un di Syam pada 18 H. Khalifah Umar memerintahkan untuk me-lockdown daerah yang terkena wabah dan langsung membuat posko-posko bantuan agar kebutuhan pokok rakyat yang terkena wabah terpenuhi. Khalifah Umar pun mendengarkan Amar bin Ash sebagai pakar dalam menghadapi pandemi dan menginstruksikan pada rakyatnya yang ada di Syam untuk mengikuti kebijakan Amar bin Ash dengan maksimal.
Amr bin Ash berkata, “Wahai manusia sesungguhnya wabah ini seperti api yang menyala-nyala dan manusia yang berkumpul ini bahan bakarnya. Kayunya semakin berkumpul (manusia) maka semakin keras, dan cara mematikan api ini harus dipisah. Maka berpencarlah ke gunung-gunung.”
Sungguh, kunci terselesaikannya pandemi saat ini adalah mengembalikan kepercayaan umat pada penguasa. Agar penguasa dan umat bahu membahu bekerjasama dalam menyelesaikan pandemi. Namun penguasa yang cinta pada rakyatnya, bekerja hanya untuk melayani rakyatnya, hanya akan kita temui dalam masyarakat Islam yang kehidupannya dinaungi sistem buatan illahi, Khilafah Islamiah.