Oleh : Paulus Mujiran
Pengamat Sosial, Alumnus Pascasarjana Undip Semarang
Baru-baru ini seorang warga di Rukun Tetangga (RT) kami tinggal membagikan di akun grup media sosialnya, “Jika Covid-19 memang ganas dan mematikan mengapa banyak orang tidak mati di jalan, di pasar, di kebun, di sawah, tetapi di rumah sakit. Ada apa dengan rumah sakit?”. Unggahan itu lantas mendapat tanggapan beragam dari warga. Tetapi unggahan sejenis baikkerap muncul di media sosial. Kerapkali di akun grup media sosial di masyarakat informasi semacam itu datang silih berganti tanpa sempat terbendung.
Di era media sosial banyak orang kreatif memberikan petunjuk benar tetapi banyak juga yang mereproduksi penyesatan informasi. Fitur teruskan yang ada di media sosial rupanya menjadi sarana untuk berbagi informasi secara cepat. Dan kerap kali bagi pembagi informasi ada perasaan bangga kalau dapat membagikan informasi kepada kawan untuk pertama kali. Terlepas informasi yang dibagikan itu benar atau palsu. Di tengah pandemi Covid-19 yang kian mengganas terlebih dengan munculnya varian baru bijak berbagi informasi sangat diperlukan.
Di tengah pandemi Covid-19 dimana sebagian besar orang banyak tinggal di rumah dan bergantung pada gawai banjir informasi terkait pandemi atau dikenal dengan infodemi tidak terelakkan. Informasi terkait Covid-19 itu terutama menyebar melalui kanal-kanal media sosial, media online yang kerapkali diragukan kebenarannya. Mulai dari soal asal muasal penyakit Covid-19, obat-obatan, vaksin hingga keyakinan bahwa virus ini direkayasa.
Futurolog Alvin Toefler (1997) memprediksi akan datang masanya dimana mereka yang menguasai informasi akan menguasai dunia. Dalam sejarah umat manusia baru pada saat ini informasi itu begitu mudah diperoleh. Perkembangan teknologi membuat berseliweran informasi tidak dalam hitungan hari atau jam melainkan detik. Informasi dan teknologi pendukungnya sudah menjadi bisnis yang menjanjikan.
Merebaknya bermacam-macam informasi ini patut disyukuri karena demokratisasi informasi terjadi dimana-mana. Semua orang mendapat kesempatan mendapatkan informasi yang sama dalam waktu yang relatif cepat. Namun tak jarang membanjirnya informasi ini membuat publik bingung bahkan tak jarang memicu konflik sosial. Apalagi jika informasi yang beredar tidak sesuai dengan kenyataan. Di akar rumput informasi itu sering memicu pro dan kontra di tengah masyarakat.
Informasi yang bertubi-tubi menyebar terutama di media sosial membuat masyarakat jenuh. Levelnya sudah pada taraf mengkhawatirkan. Hoaks istilah aslinya hoax dalam kamus Oxford (2017) diartikan sebagai bentuk penipuan yang bertujuan untuk membuat kelucuan atau membawa bahaya. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hoaks berarti berita bohong, informasi palsu atau kabar dusta (Kompas, 28/6).
Kebohongan yang lebih dipercaya daripada kebenaran dapat menjadi awal merosotnya peradaban. Hoaks telah terbukti memicu kekerasan, diskriminasi hingga pembangkangan aturan seperti banyak terjadi di belahan dunia. Hoaks di tengah pandemi seperti sekarang ini dapat memperburuk keadaan, karena bagi sebagian orang yang terlanjur percaya hoaks informasi apapun yang disampaikan sumber resmi terutama pemerintah tidak dipercaya.
Jika merunut sumbernya media sosial dan situs daring menjadi penyumbang penyebaran berita hoaks. Padahal, informasi ini memiliki potensi menimbulkan segregasi sosial atau perpecahan di masyarakat yang berbasis ras, suku, agama, sosial ekonomi, politik dan kepartaian. Membanjirnya informasi ini bagi masyarakat mempunyai dampak.
Pertama, masyarakat kesulitan membedakan mana informasi yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan dan mana yang palsu atau hoaks. Padahal di tengah pandemi yang massif ini masyarakat butuh informasi yang akurat untuk menuntun langkahnya menghadapi pandemi. Masyarakat butuh pegangan informasi yang akurat. Jadinya masyarakat skeptis terhadap informasi yang ada lantas beranggapan bahwa semua informasi itu benar atau sebaliknya tidak benar.
Saat ini sebagian besar masyarakat terbiasa untuk tidak menyaring dahulu infornasi sebelum dibagikan kepada orang lain. Bahkan bisa jadi belum dibaca tuntas sudah diteruskan ke orang lain. Fasilitas teruskan atau bagikan di media sosial memang mempercepat penyebaran informasi ke segala penjuru tanpa sempat untuk disaring lebih dahulu.
Kedua, tak jarang menyebarnya informasi palsu membuat publik resah melebihi keresahan terhadap virusnya sendiri. Entah disadari atau tidak imej keganasan Covid-19 ini diperburuk oleh simpang siurnya pemberitaan media termasuk media-media sosial. Akibatnya karena mendapat informasi kurang akurat atau dari sumber yang tidak resmi banyak masyarakat tidak percaya Covid-19 benar-benar ada.
Selain itu ada sebagian masyarakat masih percaya vaksin tidak diperlukan karena hanya rekayasa informasi. Atau bahkan informasi diplintir terkait informasi rumah sakit (RS) sengaja meng-covidkan pasien untuk mendapatkan keuntungan. Situasinya mungkin tidak akan seburuk ini manakala informasi itu tidak terlanjur simpang siur.
Masyarakat pun terbelah antara percaya Covid-19 dan tidak percaya. Celakanya mereka yang tidak percaya terus meng-share informasi untuk mempertahankan keyakinannya sehingga keadaan menjadi keruh. Ini mirip perang ideologi dimana masing-masing pihak saling cari pengaruh. Kebebasan di media sosial memang seperti pedang bermata dua.
Dalam kajiannya berjudul Kebebasan untuk Membenci Merlyna Lim (2008) mengatakan media sosial mendorong orang bebas berekspresi, tetapi juga membuat orang merasa bebas untuk membenci dengan dengan menyatakan opini sembari membungkam orang lain yang berbeda pendapat. Bijak mengelola informasi yang membanjir amat dibutuhkan. Kasus dokter Louis Owen yang ditangkap polisi karena dianggap menyebarkan hoaks terkait pandemi adalah sumber belajar yang baik.
Tindakan tegas memang diperlukan agar publik tidak terjebak dalam beredarnya informasi yang kerapkali tidak sesuai kenyataan. Jangan sampai pandemi Covid-19 yang sudah menyulitkan banyak kalangan ditambah dengan membanjirnya informasi yang merugikan. Tentu saja publik diajak untuk lebih bijak dalam mengelola dan berbagi informasi. Karena di era jari dapat menjadi harimau ini apapun dapat memicu masalah dan pelanggaran.
Jika informasi menyesatkan itu lolos dan terus dibagi kepada banyak orang dapat dibayangkan dampak penyesatan yang terjadi. Oleh karena itu dalam hemat penulis, saring informasi sebelum membagikan sangat menolong. Lagipula fitur teruskan di media sosial membantu kita tahu bahwa informasi itu sudah banyak dibagi kemana-mana sehingga kita diajak bijak untuk meneruskan atau menghentikan. Bijaklah mengelola informasi dalam pandemi agar tidak meresahkan. Semoga pandemi ini segera berlalu dan kita bisa belajar darinya!.