Banjarmasin, KP – Viralnya video dan foto kerumunan dalam kegiatan vaksinasi massal di GOR Hasanuddin Banjarmasin membuat Borneo Law Firm (BLF) angkat suara.
Selain mengkritik pelaksanaan vaksinasi yang seakan tak siap, layanan hukum bagi masyarakat tersebut juga membuka ruang bagi warga yang merasa dirugikan terkait dengan pelaksanaan vaksinasi yang selama ini dijalankan.
Direktur Utama Advokat Borneo Law Firm, Muhammad Pazri menilai pihaknya melihat ada ketidaksiapan dari penyelenggara.
Padahal menurutnya, pelaksanaan vaksinasi bukan untuk momen memperlihatkan kegagahan Pemerintah dalam memberikan layanan vaksin Covid-19.
Terlebih di tengah situasi angka penularan yang masih meninggi, kemudian, sungguh dianggap tidak mencerminkan pelaksanaan status PPKM Level IV yang saat ini masih disandang Ibukota Kalimantan Selatan ini.
Bukan tanpa alasan, Pazri menjelaskan, dalam peraturan Menteri Kesehatan (Menkes) RI, terkait pelaksanaan vaksinasi juga memuat banyak mekanisme terkait pelaksanaannya. Yang intinya betul-betul menerapkan protokol kesehatan (Prokes) ketat.
“Bahkan cara menginformasikannya pun ada. Dan mestinya, harus benar-benar diimplementasikan di lapangan. Tapi, yang sekarang ini terjadi, mekanismenya tidak dijalankan 100 persen,” cecarnya.
Menurutnya, seharusnya, Pemerintah setempat mesti belajar dan mengambil pelajaran yang terjadi di daerah-daerah lain.
“Kita mesti belajar dari daerah lain. Jangan sampai nantinya kerumunan yang terjadi saat pelaksanaan vaksinasi massal justru memunculkan klaster baru. Ini menjadi masalah serius bila tidak dilakukan evaluasi,” tegasnya.
Berkaca dari hal itu, Pazri berjanji, ketika ada warga yang mengadu ke pihaknya, maka akan diterima. Mengingat ada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 tahun 2019 tentang perbuatan melanggar hukum pemerintah.
“Tindakan pemerintah seperti ini bisa diuji ke pengadilan. Tidak main-main. Ketika ada pemberi kuasa, atau yang merasa dirugikan, akan kami tanggapi. Karena saat ini, kami juga sudah mendengar beberapa keluhan,” tambahnya.
Ia mencontohkan, ketika masyarakat sudah melakukan vaksinasi tahap pertama. Tapi yang terjadi, ketika hendak melakukan vaksinasi tahap kedua, vaksinnya justru kosong.
Padahal dalam uji klinis, secara penelitian vaksin itu batasnya hanya 14 hari. Meskipun ada pula yang satu bulan, baru mendapatkan vaksin dosis kedua.
Namun menurut Pazri, ketentuan yang disampaikan di awal oleh pemerintah, adalah 14 hari.
“Itu harus ditindaklanjuti dengan vaksin yang kedua. Ketika vaksin yang kedua terlambat apa yang terjadi? Tidak terbentuk antibodi. Ini menjadi permasalahan yang krusial,” jelasnya.
Persoalan lainnya, ketika dilakukan vaksinasi massal tidak ada perbedaan kelas. Baik itu yang muda hingga lansia. Di situ, mereka sama-sama mengantre, berkerumun. Pun demikian dengan ibu hamil.
“Ibu hamil disarankan untuk bervaksin tapi tidak disediakan sarana khusus. Padahal dari Kemenkes RI jelas. Yang namanya ibu hamil sangat rentan terpapar Covid-19. Ini juga harus dipikirkan. Tidak serta merta gagah-gahahan melaksanakan vaksinasi tapi berbagai implikasi perbaikan itu tidak dilakukan,” tegasnya.
“Tujuan kami bukan hendak menjatuhkan pemerintah, tapi tujuannya untuk kontrol perbaikan ke depan,” ucapnya.
Di sisi lain. Pazri pun lantas mengutip Instruksi Presiden, kemudian ada pula surat telegram dari Kapolri bahwa terkait pelanggar prokes ketat bisa saja ditindak.
Tidak hanya masyarakat saja yang bisa ditindak. Tapi, itu juga berlaku kepada penyelenggara negara atau pemerintah.
“Jangan sampai kita selalu tegas kepada masyarakat tapi kepada pemerintah tidak tegas. Karena dalam hal ketentuan yang lain, juga kalau kita lihat dalam undang-undang karantina kesehatan ada ancamannya ada ketentuannya,” kritiknya.
Lebih lanjut. Fazri menilai bahwa pihaknya bukan menakut-nakuti. Atau bertentangan dengan penyelenggara vaksinasi. Pihaknya justru mendukung. Dengan catatan, penyelenggaraannya harus benar-benar dilaksanakan dengan penuh prokes ketat.
“Benar-benar tersistematis juga terstruktur.
Tidak parsial, asal-asalan lalu menimbulkan masalah baru. Dalam segi pengawasan, hendaknya DPRD juga lebih proaktif,” tambahnya.
Seperti misalnya, menanyakan kepada pihak berwenang, perihal kosongnya vaksinasi di puskesmas, namun berbanding terbalik ketika ada perusahaan yang masih bisa menggelar vaksinasi massal di tengah kesulitan itu.
“Vaksin di puskesmas dikatakan kosong. tapi apa kenyataannya? Ketika kita melihat ada perusahaan-perusahaan yang melakukan vaksinasi massal, vaksinnya ada,” tukasnya
“Pemerintah mesti transparan. Makanya kami mengharapkan fungsi DPRD benar-benar difungsikan, mengontrol hal-hal seperti ini,” tandasnya. (Zak/KPO-1)