Oleh : Paulus Mujiran
Pengamat Sosial, Penulis Buku “Republik Para Maling & Republik Para Bedebah”
Ikhrar Kemerdekaan sebetulnya sudah tercetus sejak Kongres Pemuda II yang berlangsung 27-28 Oktober 1928 di Jakarta. Dalam Sumpah Pemuda lahir komitmen kebangsaan : satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Benang merah itu antara lain terjadi sejak 20 Mei 1908 ketika terjadi Kebangkitan Nasional dan mencapai puncaknya pada 17 Agustus 1945 ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Kemerdekaan memiliki makna khusus karena untuk pertama kalinya gerakan perjuangan kemerdekaan yang masih bersifat kesukuan, individual, dan kedaerahan mencapai puncaknya pada Proklamasi.
Kemerdekaan juga menjadi penanda era baru perjuangan mengusir penjajah. Jika sebelumnya perjuangan kemerdekaan menonjolkan kelompok dan yang muncul adalah tokoh-tokoh individu seperti raja, ketua adat dan suku maka perjuangan pasca 1945 adalah perjuangan kolektif dalam asas kebangsaan. Mereka yang tampil juga mengedepankan intelektual dan strategi organisasi. Meski nasionalisme sudah tumbuh sejak sebelumnya proklamasi kemerdekaan, momen pembacaan naskah proklamasi menjadi geliat paling nyata kebangkitan kejuangan melawan penjajah.
Komitmen satu nusa memiliki makna bahwa perbedaan karena letak geografis, kepulauan tetap menyatukan sebagai Indonesia. Komitmen satu nusa juga memiliki pengertian bahwa apa yang terkandung dalam bumi, air, laut, darat dan udara adalah kekayaan bersama bangsa yang menjadi modal penting dalam merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Demikian halnya dengan berkomitmen sebagai satu bangsa. Jika di masa lalu kita dibedakan oleh beragam etnis, kerajaan dengan beragam bangsa dan aliran politik. Dengan kemerdekaan semua yang berbau etnis dan kedaerahan ditanggalkan.
Komitmen kebangsaan karena semua suku lalu merasa senasib dan seperjuangan korban penjajahan belanda. Para pejuang memandang salah satu kesulitan penting dalam mengusir penjajah ialah karena gerakan perjuangan bersifat sendiri-sendiri, kesukuan sehingga mudah dipecah belah. Gerakan yang tercerai berai ini menjadi alat bagi penjajah untuk terus menanamkan pengaruhnya. Hanya dengan persatuan para pendiri bangsa ini mampu mengusir penjajah.
Sementara yang terkandung dalam satu bahasa adalah komitmen bernegara dengan bahasa persatuan yang sama. Selama bahasa masih berdasarkan bahasa suku masing-masing sulitlah untuk meraih persatuan. Sebuah negara berdaulat hanya dapat disatukan ketika memiliki bahasa pergaulan yang sama. Bahasa menyatukan bangsa itulah kira-kira komitmen para pemuda dengan mengikhrarkan kemerdekaan. Bahasa persatuan adalah bahasa yang mampu menyatukan elemen-elemen yang terpecah belah menjadi Indonesia.
Kini semangat kemerdekaan sejatinya tidak pernah padam. Meski disana-sini terdapat upaya menodai kemerdekaan seperti kian berkembangnya semangat primordialisme, maraknya kekerasan atas nama agama, intoleransi, tidak dihormatinya agama dan suku minoritas serta menjamurnya paham radikalisme dan budaya korupsi. Jika para pejuang dan pendiri bangsa berani menanggalkan segala atribut untuk mengantar pada Indonesia merdeka maka generasi sekarang mestinya mampu berbuat lebih dari itu. Jika di alam penjajahan saja mereka mampu berbuat seperti itu apalagi di alam kemerdekaan.
Namun justru amat ironis. Kini yang tampak ke permukaan adalah perjuangan untuk mengedepankan partai politik, kelompok, agama dan golongan. Yang terpotret ke permukaan adalah orang-orang yang haus kekuasaan. Politik aji mumpung ialah politik dengan mengejar kenikmatan dan memperkaya diri sendiri serta mengabaikan yang lain. Politik aji mumpung tercemin dari upaya membiarkan diri berlepotan korupsi meski kritik masyarakat terus bertubi-tubi. Tidak lagi ada keinginan mengorbankan diri untuk kepentingan bangsa. Begitu juga dengan agama, atau suku merasa agama dan sukunya paling besar sehingga bertindak semena-mena pada sesama.
Maka yang mengedepan adalah krisis keteladanan. Tidak ada lagi yang layak dijadikan panutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketika para pendiri bangsa berani menanggalkan segala atribut bahkan berani hidup miskin demi kemerdekaan Indonesia, kini yang tampak di generasi penerus kemerdekaan adalah para pejuang hedonis yang dengan pongahnya mengeruk kekayaan negara demi memperkaya diri sendiri. Perusakan hutan terus membabi buta dengan akibat bencana alam terjadi dimana-mana. Pembalakan liar dan pembakaran hutan oleh segelintir pengusaha jahat terjadi dimana-mana.
Saatnya kemerdekaan mestinya dapat direvitalisasi kembali. George Mc Turman Kahin (1995) menyatakan jika kita memiliki semangat yang sama dengan kepeloporan para pemuda 1928 maka perjuangan kita akan berhasil. Jika semangat kemerdekaan 1945 digelorakan kembali niscaya persoalan kebangsaan sekarang ini dapat diselesaikan. Munculnya nasionalisme kemerdekaan terbukti sangat efektif sebagai alat perjuangan bersama merebut kemerdekaan dari cengkraman kolonial.
Saatnya kita meneladan mereka yang telah berjuang melalui kemerdekaan. Nasionalisme kemerdekaan dapat diwujudkan dalam sebuah politik kenegaraan yang berani berjuang untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian semangat kemerdekaan sekaranglah diperlukan kembali membangun elemen bangsa yang kian memudar. Nasionalisme harus diberi warna yang baru sesuai perkembangan peradaban bangsa di masa depan.