Oleh : Mariana, S.Pd
Guru MI. Al Mujahidin II Banjarmasin
Adanya kewaspadaan terhadap masalah kekerasan seksual, ini bisa terjadi pada siapapun dan kapan pun dan tidak mengenal usia. Apalagi disistem sekarang tidak adanya ayoman dari pemerintah terhadap masalah kekerasan seksual ini.
Nasional (Komnas) Anti Kekerasan terhadap perempuan meminta Badan Legislasi (Baleg) DPR RI melakukan enam penyempurnaan dalam penyusunan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Komnas Perempuan memandang penyempurnaan itu perlu dilakukan demi menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang dialami korban kekerasan seksual.
Sementara dalam hal perlunya penyempurnaan substantif, Komnas Perempuan mencatat agar RUU yang sedang disusun oleh Baleg DPR RI ini dapat sepenuhnya menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang dialami korban.
Pada tanggal 4 September dijadikan Hari Kesehatan Seksual Sedunia. Namun mirisnya, kasus kekerasan seksual pada anak makin meningkat. Dalam laporan yang diterima KPAI, jumlah anak sebagai korban kekerasan seksual meningkat dua kali lipat pada masa pandemi. Dari 190 kasus (2019) menjadi 419 kasus (2020).
Peningkatan kasus selama pandemi juga terjadi terhadap anak yang menjadi korban kejahatan seksual online, dari sebelumnya 87 laporan, menjadi 103 laporan. Selain itu, kasus anak yang mengoleksi konten pornografi meningkat empat kali lipat dari masa sebelum pandemi. Semula 94 kasus, menjadi 389 kasus. (bbc.com/indonesia/majalah)
KPAI menilai hak anak untuk mengakses pendidikan seks dan kesehatan reproduksi (kespro) yang tersumbat merupakan rangkaian yang menyuburkan krisis kekerasan seksual anak paad masa pandemi.
Minimnya pengetahuan siswa tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi ini secara tidak langsung ikut menyumbang angka kehamilan yang tak diinginkan, kasus aborsi, pernikahan usia anak, sampai kematian ibu saat melahirkan.
Sejauh ini, pemerintah telah melakukan internalisasi atau menyisipkan pendidikan kespro dan seksualitas dalam Kurikulum 2013 melalui mata pelajaran lainnya, seperti biologi, pendidikan olah raga, dan pendidikan agama.
Situasi makin buruk, karena tak banyak sekolah yang menerapkan program pendidikan seks dan kespro dalam mata pelajaran dengan alasan tabu atau karena keteteran dengan mata pelajaran utama.
Jika dicermati beberapa pernyataan ini, bisa kita simpulkan bahwa sebagian kalangan menilai bahwa kekerasan seksual yang makin marak terlebih pada masa pandemik terjadi karena minimnya pengetahuan tentang seksualitas dan kespro akibat tersumbatnya peserta didik untuk mengakses pendidikan seks dan kespro.
Dengan kata lain, mereka berpendapat bahwa dengan menerapkan program pendidikan seks dan kespro dalam mata pelajaran di sekolah, terlebih menjadikannya sebagai mata pelajaran utama, dinilai akan memberikan solusi terhadap permasalahan ini. Benarkah demikian?
Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terungkap ke publik hanyalah fenomena gunung es. Kasus semacam ini pasti akan terus bertambah bila akar masalah yang ada tidak segera diselesaikan. Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) adalah solusi kunci penyelesaian kekerasan seksual?
Pengesahan RUU P-KS menempuh jalan panjang. Sejak diusulkan pertama kali pada 2012 dan masuk dalam prolegnas 2016, pembahasan RUU P-KS sempat terhenti karena pro dan kontra yang meruncing, kemudian masuk dalam Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024.
Menurut Kompaks, draf RUU terbaru tidak berpihak pada korban. Tampak dari tidak adanya kewajiban bagi pemerintah dalam pemenuhan hak korban. Juga penghapusan paralegal sebagai pendamping korban kekerasan seksual.
Penghapusan paralegal dinilai akan menutup celah bagi organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemberian bantuan hukum bagi korban. Perlindungan hak korban inilah yang selalu dijadikan sebagai alasan untuk mendesak pengesahan RUU P-KS.
Pembuatan UU diyakini sebagai payung hukum untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat adanya diskriminasi terhadap perempuan. UU merupakan bentuk nyata adanya komitmen politik dalam menangani berbagai bentuk diskriminasi yang dihadapi perempuan setiap hari. Sejumlah negara seperti Inggris, Jerman, Ukrania, dan Islandia, telah menetapkan UU ini terlebih dahulu.
Pro kontra terus terjadi, ditengarai akibat adanya benturan sejumlah faktor termasuk alasan ideologis. Kini, desakan pengesahan RUU P-KS kembali menguat. Ketua YLBHI, Asfinawati menilai RUU P-KS perlu segera disahkan menyusul maraknya kasus pelecehan seksual. Penolakan pasal tertentu di dalam RUU P-KS bukan berarti harus menolak rancangan aturan itu. Partai politik juga turut mendesak pengesahan RUU P-KS.
Baleg DPR RI ternyata membuat draf baru menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TP-KS). Terminologi itu digunakan untuk mengambil pendekatan hukum bahwa kekerasan seksual merupakan Tindakan Pidana Khusus. Adapun terminologi pemerkosaan diperhalus menjadi pemaksaan hubungan seksual.
Naskah RUU TP-KS hanya memuat 4 bentuk kekerasan seksual dari 9 jenis kekerasan seksual yang ditetapkan Komnas Perempuan dan menghapus 85 pasal. Tim ahli dari Baleg, Sabari Barus, menyatakan bahwa jenis kekerasan seksual yang dihapus telah diatur dalam KUHP, sehingga tak perlu diatur ulang dalam RUU P-KS.
Para pegiat kesetaraan gender bersuara lantang menolak perubahan karena telah menghilangkan elemen kunci. Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kekerasan Seksual (Kompaks) mengecam perubahan judul dan penghapusan elemen-elemen kunci. Mereka menilai draf perubahan RUU P-KS sebagai kemunduran bagi pemenuhan dan perlindungan hak-hak korban kekerasan seksual.
Sangat jelaslah, pengesahan UU terkait penghapusan kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk komitmen untuk mewujudkan kesetaraan gender yang diaruskan global. Indonesia, sebagai negara yang telah meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) juga diwajibkan untuk menjalankan langkah-langkah perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan. Oleh sebab itu, sejak 2011, kalangan feminis telah menuntut DPR segera membahas RUU Kekerasan Seksual yang digagas LBH APIK.
Sejatinya, pengesahan UU semacam itu tidak akan mampu mencegah terjadinya kekerasan seksual, bahkan justru akan mengakibatkan persoalan baru. UU ini lahir dari pemikiran Barat yang menjunjung tinggi kebebasan.
Oleh karena itu, yang dianggap sebagai pelanggaran hanyalah yang dilakukan dengan pemaksaan dan membiarkan pelaku yang melakukannya atas dasar suka sama suka. Sementara menurut Islam, aktivitas seksual di luar pernikahan adalah dosa besar, meski dilakukan suka sama suka. Islam juga mengharamkan aborsi aman bagi korban perkosaan.
Pada sisi lain, sistem kehidupan manusia saat ini kapitalisme sekuler menjadikan dunia sebagai tujuan. Mereka menafikan hari akhirat dan pertanggungjawaban kepada Allah. Manusia berusaha meraihnya dengan menghalalkan segala macam cara. Bagi mereka, aturan ada untuk dilanggar.
Tentu saja pandangan hidup seperti ini tidak akan mampu memberantas kekerasan seksual secara tuntas karena tidak menyentuh akar permasalahan maraknya kekerasan seksual. Kekerasan seksual telah menjadi pandemi, baik di negara-negara kapitalis Barat maupun negeri-negeri muslim. WHO menyebutkan 1 dari 3 perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan.
Terdapat sekitar 736 juta perempuan tercatat pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan atau kekerasan seksual dari nonpasangan. Dalam pandangan Islam, apa yang mereka sebut sebagai kekerasan seksual hakikatnya adalah kejahatan seksual, yang merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah.
Islam telah menetapkan sanksi yang tegas, seperti hukum rajam bagi para pezina yang sudah menikah dan jilid bagi pezina yang belum menikah, hukuman mati bagi pelaku homoseksual, dan sanksi lainnya. Semua sanksi ini yang akan membuat jera orang lain dan menjadi penebus dosa pelakunya.
Islam juga menutup semua pintu yang akan menghantarkan terjadinya kekerasan seksual. Sistem pergaulan Islam akan menjaga interaksi laki-laki dengan perempuan. Sistem sosial Islam akan mendidik masyarakat untuk menjaga kehormatan setiap warga negara dengan kewajiban menutup aurat, pemisahan kehidupan laki-laki dan perempuan, meski tetap memberi jalan bagi keduanya untuk saling membantu dalam mewujudkan kemaslahatan bersama.
Sistem pendidikan Islam akan mengantarkan setiap muslim menjadi individu yang bertakwa yang menjauhkan diri dari kemaksiatan. Demikian halnya sistem kesehatan Islam, akan memberikan layanan paripurna kepada para korban sesuai dengan tuntunan Islam. Bersama dengan sistem lainnya yang terintegrasi dalam satu wadah. Islam mampu memberantas kekerasan seksual dengan tuntas. Aturan-aturan terperinci yang berasal dari aturan Allah Zat Yang Mahabenar, akan memberi solusi tepat. Berbeda dengan aturan yang berasal dari akal manusia yang lemah, tidak akan mampu menyelesaikan akar masalah.
Oleh karena itu, umat perlu mengawal terus perjalanan RUU ini, mengingat kentalnya aroma liberalisasi dalam RUU P-KS. Pemberlakuan UU yang bertentangan dengan aturan Allah, alih-alih menyelesaikan persoalan, yang ada justru mendatangkan murka-Nya.
Oleh karena itu, satu-satunya cara menyelamatkan mereka adalah dengan mencabut akar ideologi kufur tersebut dan menanamkan ideologi Islam yang terbukti sahih dan membawa kebaikan bagi manusia di dunia dan akhirat. Semoga kita semua makin menyadari pentingnya kembali kepada sistem Islam dan menjadikannya satu-satunya sistem yang mengatur kehidupan manusia. Wallaahu a’lam bish shawwab.