Oleh : Gita Pebrina Ramadhana, S.Pd, M.Pd
Dosen STAI Darul Ulum Kandangan, HSS
Pemerhati Masalah Pendidikan dan Remaja
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menegaskan pihaknya mendukung kepolisian mengusut kasus pelecehan seksual dan perundungan yang diduga dilakukan oleh tujuh pegawainya terhadap seorang pegawai KPI Pusat. Dukungan untuk penyelidikan lebih lanjut itu disampaikan oleh Ketua KPI Pusat Agung Suprio sebagaimana dikutip dari keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Rabu.
Pengakuan korban itu muncul ke publik lewat siaran tertulis yang diterima oleh sejumlah media nasional di Jakarta, Rabu. Dalam pengakuan itu, korban mengaku mengalami trauma dan stres akibat pelecehan seksual dan perundungan yang menjatuhkan martabat dan harga diri korban. (https://m.republika.co.id/berita/qysoko330/kpi-dukung-polri-usut-dugaan-pelecehan-seksual-pegawainya)
Selain itu, Saipul Jamil (SJ) yang sudah bebas dari penjara, disambut bak pahlawan (Glorifikasi) dan membuat gerah banyak orang. Dikabarkan sudah banyak job yang menanti penyanyi dangdut tersebut. Kabarnya, ia juga akan kembali ke panggung hiburan Tanah Air. Pasalnya, artis yang akrab dipanggil Bang Ipul ini telah melakukan tindakan asusila pencabulan atau kejahatan seksual. Atas dasar apa penyambutannya begitu meriah hingga diberikan kalung bunga?
Seksolog Zoya Amirin menjadi salah satu pihak yang menentang keras kembalinya SJ ke TV usai bebas dari penjara. Tidak hanya itu, petisi daring berisi ajakan untuk memboikot SJ yang ditujukan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bahkan telah mencapai 268.204 tanda tangan dan terus bertambah. (https://id.investing.com/news/economy/disorot-lagi-kpi-kok-bisa-biarkan-pelaku-pelecehan-seksual-lalu-lalang-di-televisi-bak-pahlawan-2115204)
KPI Milik Siapa?
Petisi yang ditujukan kepada KPI sedang ditimbang keefektifannya, lantaran KPI pun sedang tersandung kasus serupa. KPI menjadi sorotan karena dianggap membiarkan dugaan kasus kekerasan seksual dan perundungan menahun dalam lembaganya.
Salah satunya korban yang menjadi pegawai di KPI. Korban menyampaikan ia sempat melapor ke Komnas HAM dan kepolisian. Namun, saat melaporkan kasus yang dia alami, polisi yang menerima laporan meminta korban menyelesaikan masalah itu di internal kantor.
Korban pun melapor ke kantor, tetapi aduan itu hanya berujung pada pemindahan divisi kerja dan pelaku tidak mendapat hukuman. Pemindahan itu, kata korban lewat siaran tertulisnya, tidak menghentikan perundungan dari para pelaku.
Begitu juga dengan kasus SJ. Berdasarkan perspektif perlindungan anak, Arist memaparkan, kasus pelecehan dan kasus kekerasan seksual terhadap anak masuk dalam kategori kejahatan luar biasa. Arist menyarankan agar karier SJ di industri entertainment nasional dimatikan. Ia menambahkan, seharusnya SJ dimatikan kariernya satu atau dua tahun, seperti banyak dilakukan banyak negara. (https://m.liputan6.com/showbiz/read/4654864/saipul-jamil-bebas-komnas-perlindungan-anak-minta-aktivitas-tampil-di-televisi-disetop)
Dengan kasus diatas apakah cukup hanya dengan melaporkan pelaku saja dan mematikan karier artis tersebut selama satu atau dua tahun? Nyatanya tidak. Walaupun mematikan karier seseorang tapi nyatanya dalam hal media Penyiaran, KPI tidak bisa memfilter penayangan berbau kekerasan seksual dan terus mendukung dengan berdiri diatas kebebasan berperilaku.
KPI sendiri juga dianggap tidak bisa menghadang keinginan korporasi. Protes yang selalu dilakukan masyarakat dengan berbagai tayangan yang tidak bermutu di televisi, sepertinya sudah tebang pilih untuk ditindaklanjuti. Tayangan-tayangan yang tak layak siar malah memadati prime time.
Ini baru soal televisi, belum lagi berbicara mengenai konten internet yang jauh dari filtrasi. Banyaknya konten “sampah” yang tak layak dikonsumsi masyarakat, terutama generasi, tidak seharusnya disiarkan. Hilangnya visi lembaga penyiaran sebagai media edukasi, menjadikan tayangan hanya berputar pada kepentingan korporasi.
Inilah bukti kegagalan Negara dalam mengelola media siar disistem sekuler kapitalisme. Sekuler ialah memisahkan agama dari kehidupan. Mereka kehilangan visi sebagai orang yang bisa mengajarkan nilai-nilai luhur. Media hanya mengejar rating yang dengannya akan terhimpun profit yang berlimpah. Tak peduli pesannya membawa petaka. Jika dapat menghantarkan materialistik, konten yang tidak bermutu bisa menjadi andalan. Akibat media di bawah kendali korporasi, pemerintah seperti tak memiliki andil menentukan mana yang boleh tayang dan mana yang tidak.
Peran Media dalam Islam
Dalam Islam, media berfungsi strategis dalam melayani penyiaran sesuai syariat Islam, baik di dalam maupun luar negeri. Media ada di bawah kontrol penuh pemerintah. Pemerintah akan melarang keberadaan media yang menyimpang dari ideologi Islam.
Di dalam negeri, media berfungsi untuk membangun masyarakat yang kukuh, yaitu masyarakat yang beriman dan bertakwa. Media akan senantiasa menayangkan acara-acara yang dapat menjaga keimanan dan ketakwaan masyarakat. Media pun memiliki fungsi edukasi kepada publik tentang pelaksanaan kebijakan dan hukum Islam di dalam negara.
Sedangkan fungsi media di luar negeri adalah untuk menyebarkan Islam, baik dalam suasana perang maupun damai, untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam sekaligus membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia. Maka, media adalah alat propaganda dakwah dan jihad, untuk memudahkan upaya menggabungkan negeri-negeri Islam menjadi bagian integral dari Khilafah Islamiah.
Oleh karena itu, seandainya banyak yang menginginkan media berhenti mengaruskan ide kebebasan, maka bisa menjadikan media berideologi Islam, yang mana kendali agar media senantiasa menayangkan konten bermanfaat dan syiar Islam hanya ada pada negara. Sementara, negara bersistem sekuler kapitalisme tidak akan memungkinkan itu semua.
Maka dari itu, mari wujudkan negara yang memiliki kemampuan penuh atas media dan senantiasa menjadikan media sebagai wasilah dakwah dalam membangun suasana keimanan dan ketakawaan pada Allah SWT, yakni Khilafah Islamiah.