Oleh : Nor Hasanah, S.Ag, M.I.Kom.
Pustakawati UIN Antasari Banjarmasin
Seperti yang diketahui bersama bahwa pada 12 Rabiul Awal dalam kalender Islam merupakan moment kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul Allah SWT yang di 2021 ini bertepatan dengan 19 Oktober. Dikatakan dalam sejarah beliau lahir di Tahun Gajah yang ketika itu jatuh pada Senin malam bertepatan dengan 29 Agustus 580 Masehi.
Lahirnya Rasulullah SAW yang membawa ajaran Islam dengan akhlak mulianya menjadi penerang dunia yang kala itu dinilai masih jahiliah. Islam sejak mula merupakan agama yang sangat memperhatian kedudukan akhlak bersamaan dengan ilmu. Fungsi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam membentuk masyarakat Muslim yang ideal. Akhlak yang baik (akhlaq al-karimah) merupakan prasyarat mutlak yang menentukan derajat seseorang. Akhlak berkaitan dengan soal bagaimana seseorang menuntut ilmu-ilmu dan menerapkannya dalam kehidupan. Seorang Muslim yang baik mencintai ilmu tanpa harus bersikap sombong lantaran telah merasa lebih mengetahui. Dalam konteks inilah, sosok Rasulullah SAW yang diutus ke dunia dipandang sebagai figur yang paripurna dalam menyempurnakan akhlak manusia.
Dalam artikelnya pada Jurnal Ijtimaiyya (Februari, 2014), Deden Makbuloh menulis bahwa Rasulullah SAW telah mencapai puncak keilmuan. Sebagai utusan Allah, Beliau mengetahui hukum Alquran sampai sedetail-detailnya kemudian menyampaikan serta menjelaskannya kepada manusia. Oleh karena itu, Rasulullah SAW merupakan teladan sekaligus sumber rujukan utama dan pertama bagi segenap kaum Muslimin, baik yang hidup sezaman dengannya maupun generasi-generasi kemudian.
Sebuah hadis riwayat at-Thabrani, Nabi Muhammad SAW mengimbau segenap kaum Muslim, “Jadilah engkau orang yang berilmu atau orang yang belajar, atau orang yang mau mendengarkan ilmu, atau orang yang mencintai ilmu. Dan janganlah engkau menjadi orang yang kelima, maka kamu akan binasa”.
Sebagai sumber ilmu-ilmu agama Islam, Rasulullah SAW menumbuhkan dan mengembangkan sunnah sebagai referensi bagi kehidupan umat manusia hingga akhir zaman. Rasulullah SAW mendidik umatnya melalui sunnah agar mereka selamat di dunia dan akhirat.
Sebagai pendidik, Nabi Muhammad SAW menerapkan sejumlah prinsip yang dapat ditiru oleh orang-orang saat ini. Pertama, kemudahan akses. Rasulullah SAW hidup berbaur dengan umatnya, baik di Makkah, Madinah, atau di daerah manapun yang sempat disinggahi Beliau. Dalam memberikan pengajaran, Rasulullah SAW tidak menempatkan hijab antara diri beliau dan para sahabat.
Nabi SAW juga tidak pernah menghalangi seseorang dari menjumpai Beliau hanya lantaran status sosialnya. Malahan, Rasulullah SAW memilih tempat-tempat yang strategis sebagai lokasi majelis ilmu. Rasulullah SAW sempat memakai rumah seorang sahabatnya, al-Arqam, sebagai tempatnya mengajarkan Alquran ketika di Makkah. Saat itu, Islam masih disebarluaskan dengan cara sembunyi-sembunyi demi menghindari konflik terbuka dengan kaum musyrik. Tidak jarang pula rumah Rasulullah SAW sendiri yang menjadi lokasi majelis.
Ketika Islam mulai kukuh, utamanya selama di Madinah, masjid menjadi lokasi yang lebih kerap dipilih Nabi SAW sebagai tempatnya mengajarkan Al-quran serta menyampaikan pesan-pesan. Biasanya, kegiatan ini dimulai setelah pelaksanaan shalat berjamaah.
Kedua, keanekaan peran. Kadangkala, Rasulullah SAW tidak cukup hanya berperan sebagai pendidik. Seringpula, beliau menjalankan fungsi selaku hakim, pemberi saran, atau pemimpin yang memberikan instruksi. Ini semua bergantung pada konteks keadaan dan persoalan yang sampai kepadanya. Seturut dengan itu adalah prinsip ketiga, yakni efektivitas. Rasulullah SAW selalu peka terhadap kapasitas lawan bicaranya. Beliau berbicara dengan memerhatikan kadar kemampuan akal mereka. Sebab, tiap orang memiliki tingkat pengetahuan dan konteks yang berbeda-beda. Dengan memerhatikan hal itu, penyampaian ilmu atau pesan-pesan tidak akan menimbulkan kesalahpahaman.
Rasulullah SAW selalu mempertimbangkan perbedaan kadar tiap lawan bicaranya. Kepada orang yang dinilai cerdas, beliau cukup menggunakan isyarat. Adapun dengan orang yang daya tangkapnya terbatas, maka Beliau menjelaskan dengan contoh-contoh yang lebih konkret. Rasulullah SAW juga selalu hati-hati dalam menentukan sikap. Bila suatu kejadian belum mendapatkan hukumnya berdasarkan firman Allah, maka Beliau lebih memilih diam hingga mendapatkan petunjuk dari-Nya. Bila sudah ada hukumnya, maka penerapan yang paling mudah dan sesuai itulah yang dipilih Beliau.
Keempat, kesabaran. Hal ini terutama berkaitan dengan cara Alquran diturunkan Allah kepada Nabi SAW melalui Malaikat Jibril. Kitab Suci ini sampai secara berangsur-angsur, tidak seketika utuh. Oleh karena itu, Rasulullah SAW mengajarkan Alquran dan menerapkannya seiring dengan tahapan-tahapan turunnya Alquran itu. Proses pengajaran ini memerlukan waktu yang panjang dan daya juang yang tinggi.
Kelima, hubungan yang erat. Meskipun berkedudukan amat mulia, baik di tengah umat manusia maupun di hadapan Allah, Rasulullah SAW menyukai kerendahan hati. Sebab, itulah kunci untuk menjalin komunikasi dan relasi yang baik dengan siapapun. Dengan demikian, pengajaran ilmu pengetahuan akan lebih diterima dengan simpati dan mendapatkan khalayak yang semakin luas.
Keenam, menghindari kecenderungan monoton. Adalah wajar bagi seseorang untuk bosan dalam menghadapi rutinitas. Oleh karena itu, Rasulullah SAW membuat pengajarannya secara variatif. Selain untuk mengelak dari kebosanan, cara ini juga berfungsi membuat para pendengarnya lebih terkesan.
Segenap prinsip pengajaran itu dapat bermuara pada fungsi akhlak di tengah manusia. Betapa pentingnya persoalan akhlak ini di atas ilmu. Sekalipun, umpamanya, yang disampaikan seseorang itu hanyalah ilmu sains murni tetapi cara pengajarannya dengan akhlak, maka itu lebih bernilai Islami karena sesuai dengan keteladanan Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, cakrawala keilmuan seorang ulama hendaknya berbanding lurus dengan keluhuran akhlak yang bersangkutan di tengah masyarakat. Bila tidak demikian, ulama tersebut dapat dikatakan belum utuh mengikuti akhlak Rasulullah SAW.












