Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Dampak Kapitalisme Banjir dan Longsor

×

Dampak Kapitalisme Banjir dan Longsor

Sebarkan artikel ini

Oleh : Siti Rahmah, S.Pd
Pemerhati Lingkungan

Penyebab banjir di Kalimantan Barat bukan hanya curah hujan tinggi. Tapi juga kerusakan daerah aliran sungai (DAS) serta maraknya konversi tutupan lahan. Faktor lain penyebab banjir juga dipengaruhi jenis tanah, tutupan lahan, dan pengolahan lahan. Dijelaskan bahwa banjir adalah kondisi meluapnya muka air sungai akibat tingginya aliran sungai sehingga tidak mampung tertampung oleh penampang sungai yang ada.

Baca Koran

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut banjir di sejumlah wilayah ini terjadi karena tingginya intensitas curah hujan. Sementara daya tampung DAS dan area resapan yang ada tidak cukup memadai. Adapun Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan naiknya intensitas hujan ini terkait dengan fenomena La Nina yang sudah dimulai sejak beberapa pekan sebelumnya.

La Nina sendiri adalah fenomena penurunan Suhu Muka Laut (SML) di Samudra Pasifik bagian tengah di bawah kondisi normal. Pendinginan Suhu Muka Laut (SML) ini akan mengurangi potensi pertumbuhan awan di Samudra Pasifik tengah dan meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia secara umum. Inilah yang ditengarai akan memicu terjadinya bencana hidrometeorologi basah seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor di beberapa wilayah Indonesia.

Sebelum berbagai bencana terjadi, BMKG mengklaim telah mengeluarkan informasi peringatan dini tentang adanya fenomena La Nina ini. Disebutkan fenomena La Nina ini akan melanda wilayah Indonesia hingga Februari 2022 mendatang. Karenanya, BMKG mengingatkan agar pemerintah daerah serius dalam menanggapi peringatan dini La Nina ini. Juga mengingatkan pentingnya upaya mitigasi dan fokus pada penanggulangan pasca kejadian demi meminimalisasi dampak dan kerugian yang lebih besar.

Al-Quran telah menerangkan bahwa banjir pernah menelan korban jiwa kaum ‘Ad, negeri Saba’ dan kaumnya Nabi Nuh. Peristiwa ini dapat kita telaah dalam beberapa ayat Alquran di antaranya surah Hud ayat 32-49, surah al-A’raf ayat 65-72, dan surah Saba ayat 15-16.

Kerangka acuan teologisnya didasarkan pada catatan ayat-ayat banjir dalam Al Quran, “Bukanlah Kami yang menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, (disebabkan) citra (kondisi) lingkungan mereka tidak mampu menolong di saat banjir, bahkan mereka semakin terpuruk dalam kehancuran,”. (QS. Hud : 101).

Dalam Al Quran, Allah sudah begitu terang menjelaskan penyebab terjadinya bencana alam yang satu ini. Orang-orang yang mencari tahu masalah ini, baru mengetahuinya setelah Allah menjelaskannya. Inilah salah satu keajaiban Al Quran.

Dalam mengatasinya pun di dalam Al Quran telah dijelaskan. Allah memerintahkan pada kita agar tidak melakukan kerusakan di bumi. Seperti dalam firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan,”. (QS. Al-A’raf: 56).

Semuanya tidak lepas dari faktor manusia. Bukan hanya budaya nyampah, tetapi banyak aktivitas manusia yang mengakibatkan terjadinya degradasi daya dukung lingkungan, baik di daerah dataran tinggi, dataran rendah, maupun di daerah pantai. Semua ini akhirnya berdampak pada bencana ekologis yang berulang dan terus meluas. Bahkan, munculnya fenomena La Nina atau perubahan iklim sendiri ternyata terkait dengan aktivitas manusia yang tidak terkendali.

Baca Juga :  Perlawanan Membebaskan Palestina

Diakui atau tidak, arus deforestasi dan alih fungsi lahan akibat pembangunan yang jor-joran di Indonesia terutama kawasan penyangga air terbilang sangat tinggi. Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan deforestasi di Indonesia mengalami peningkatan dari sebelumnya 1,1 juta hektare per tahun pada periode 2009—2013 menjadi 1,47 juta hektare per tahun periode 2013—2017. Sementara itu, Greenpeace Indonesia menyebut angka yang jauh lebih besar. Selama periode 2003—2011 hutan yang hilang mencapai 2,45 juta hektare. Selanjutnya angka ini naik menjadi 4,8 juta hektare selama 2011—2019, termasuk dalam periode pertama kepemimpinan Jokowi dari 2014—2019.

Ironisnya, Presiden Jokowi dalam pidatonya di hadapan peserta COPS 26 di Glasgow Skotlandia (1/11) justru menyebut laju deforestasi menurun pada 2017 hingga sekarang. Jika pun pernyataan itu benar, tentu tetap tidak bisa menutup fakta bahwa deforestasi dan alih fungsi lahan tetap saja angkanya terbilang tinggi. Terlebih penurunan tren itu bukan karena upaya Pemerintah, melainkan karena faktanya sumber daya hutan di Jawa dan Sumatra nyaris habis. Sementara di wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, trennya tetap saja naik. Di luar itu, alih fungsi terjadi juga di lahan-lahan lain.

Betapa banyak lahan persawahan dan kawasan pantai yang berubah fungsi dan menjadi penyebab banjir, bahkan di tempat-tempat yang sebelumnya tidak pernah banjir. Pada 2019 lalu saja, tercatat lahan pertanian yang berubah menjadi industri dan jalan mencapai 150 ribu hektare. Padahal 10 tahun sebelumnya alih fungsi hanya sekitar 30 ribu hektare. Ini menunjukkan peningkatan kasus alih fungsi lahan kian masif terjadi.

Begitu pula perubahan yang terjadi di lingkungan pantai. Reklamasi besar-besaran seperti yang terjadi di Jakarta ataupun penambangan pasir yang sering terjadi di beberapa tempat, terbukti telah menyebabkan banjir rob menjadi sering terjadi.

Menilik penyebabnya, jelas bahwa bencana banjir dan sejenisnya adalah bencana yang sebagian faktor risikonya bisa dikendalikan manusia. Dalam hal ini, kebijakan penguasa terkait pemanfaatan lahan dan perencanaan pembangunan sangat dipengaruhi oleh paham paradigma yang digunakan.

Selama paradigma yang melatari berbagai kebijakan disetir oleh paradigma sekuler kapitalistik, maka akan sulit menyelesaikan problem ini hingga ke akar. Hal ini dikarenakan semua kebijakan itu hanya memiliki dimensi duniawi saja, yakni semata berorientasi keuntungan bagi penguasa yang lazim berkolaborasi dengan pengusaha.

Hal seperti ini tentu sangat bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, alam, manusia, dan kehidupan dipandang sebagai satu kesatuan. Satu sama lain saling terikat, tidak bisa dipisahkan. Karenanya wajar jika Islam memerintahkan manusia untuk menjaga dan mengelola alam dengan sebaik-baiknya. Bahkan Islam menjadikan penjagaan dan pengelolaan alam ini sebagai salah satu tujuan penciptaan. Artinya melekatkan tugas menjaga alam ini dengan tugasnya sebagai hamba Allah SWT yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Tentang hal ini Allah SWT berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. Ar-Ruum : 41)

Baca Juga :  Hijrah "Disconnect" Momentum Tahun Baru Islam 1447 H

“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan”. (QS. Al-A’raaf : 56)

Dalam hal ini, Islam tidak hanya memerintahkan untuk mengelola bumi dengan baik dan melarang untuk merusaknya, tapi juga memberikan cara-caranya. Tidak lain berupa seperangkat aturan yang pelaksanaannya melekat pada status manusia sebagai individu, sebagai masyarakat, bahkan dalam konteks negara. Sebagai individu, Islam mengajarkan hukum syarak soal adab kepada alam dan lingkungan. Begitu pun masyarakat, diberi peran penting dengan kewajiban menjaga tradisi amar makruf nahi mungkar.

Sementara kepada penguasa atau negara, Islam memberi porsi besar dalam penjagaan alam semesta. Dimulai ketika Islam menetapkan fungsi negara sebagai pengatur dan penjaga, dengan mewajibkan penguasanya menegakkan aturan Islam secara sempurna. Penerapan Islam inilah yang akan mewujudkan kerahmatan bagi seluruh alam, termasuk menjaga lingkungan. Hal ini diperkuat dengan lekatnya aturan kepemimpinan atau sistem pemerintahan dalam Islam, yakni Khilafah, dengan dimensi ruhiyah. Pemimpin menurut Islam, tidak hanya bertanggung jawab pada rakyatnya, tapi juga pada Pemilik Alam Semesta. Maka seorang khalifah akan tercegah dari konflik kepentingan dalam kebijakan-kebijakannya.

Dalam sistem ekonominya, Islam pun jelas mengatur soal kepemilikan, yang boleh dimiliki individu dan yang merupakan milik umum dan negara. Oleh karena itu, Islam tidak akan membiarkan para kapitalis dan penguasa rakus merusak lahan-lahan milik umum demi keuntungan sesaat.

Islam juga memiliki sistem sanksi yang menjaga agar pelanggaran tidak lazim terjadi. Islam akan menghukum berat pihak-pihak yang melanggar hak umat dan menimbulkan kemudaratan bahkan jika terjadi pada dirinya sendiri. Dalam implementasinya, negara dalam Islam akan merancang strategi pembangunan dengan paradigma lurus dan komprehensif. Semata-mata bertujuan mewujudkan kemaslahatan umat dan pelestarian alam dan lingkungan. Termasuk dalam perkara tata kelola wilayah, pembangunan ekonomi, pembangunan sumber daya manusia, kebijakan infokom, dan lain-lain.

Sungguh hanya aturan Islam yang telah memberi aturan komprehensif agar segala bencana tidak kerap terjadi. Penerapan aturan Islam secara kafah yang didorong spirit ketakwaan dipastikan akan mendatangkan kehidupan penuh berkah. Dan hal ini pernah mewujud dalam sebuah peradaban cemerlang kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah belasan abad lamanya. Di masa itu Allah SWT benar-benar memenuhi janji-Nya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raaf : 96)

Oleh karenanya, inilah waktu kembali ke jalan Allah, sebelum datang isyarat langit yang lebih dahsyat dari bencana banjir dan sejenisnya. Yakni dengan segera menerapkan syariat Islam kafah dalam naungan Khilafah yang akan menjauhkan manusia dari bencana di dunia dan di akhirat. Wallaahu a’lam bi ash-Shawwab.

Iklan
Iklan