Oleh : Nur Atika Rizki
Praktisi Pendidikan
Pengadilan Magister Israel memutuskan mengizinkan umat Yahudi beribadah di kompleks Masjid Al-Aqsa pada tanggal 6 Oktober 2021. Warga Palestina mengecam keputusan Pengadilan Magistrat Israel tersebut dan mendesak agar Yahudi kembali ke kesepakatan lama ketika umat Islam beribadah di Al-Aqsa sementara orang Yahudi beribadah di Tembok Barat di dekatnya.
Keputusan Pengadilan Magister Israel tersebut menuai kecaman dimana-mana. Di antaranya dari Kementerian Luar Negeri Turki yang mengatakan langkah itu akan “semakin memotivasi kalangan fanatik” dan “menyebabkan ketegangan baru” di situs paling suci di Yerusalem (www.tempo.co, 08/10/2021). Sekretaris Jenderal OKI Yousef Al-Othaimeen mengatakan “Keputusan ilegal semacam itu merupakan serangan yang belum pernah terjadi terhadap hak-hak bangsa Islam dan warisannya yang tidak bisa dicabut, ini merupakan provokasi terhadap perasaan umat Islam di seluruh dunia dan pelanggaran kebebasan beribadah,” (www.republika.co.id,08/10/2021).
Demikian pula kecaman dari Yordania yang menyebut bahwa keputusan pengadilan itu adalah pelanggaran serius terhadap status historis dan hukum terhadap Masjid Al-Aqsa (www.kabar24.bisnis.com, 09/10/2021). Hal senada juga dilontarkan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim mengecam langkah pemerintah Israel yang membiarkan Masjid Al-Aqsa menjadi tempat ibadah ‘senyap’ pemeluk Yahudi. Ia menilai perbuatan Israel tersebut merupakan provokasi yang berbahaya (www.tempo.co, 09/10/2021).
Khaled Zabarqa, seorang pengacara yang ahli dalam kasus Yerusalem dan Al-Aqsa, mengatakan bahwa sistem peradilan Israel tidak memiliki yurisdiksi hukum untuk mengatur kesucian Masjid Al-Aqsa dan mengubah status quo. Perdana Menteri Palestina Mohammad Ibrahim Shtayyeh meminta Amerika Serikat memenuhi janjinya mempertahankan status quo kompleks tersebut. Dia juga meminta negara-negara Arab mendukung Palestina. (www.kabar24.bisnis.com, 09/10/2021).
Walaupun dari sudut pandang hukum keputusan itu tidak sah, namun tetap menimbulkan kekhawatiran Palestina dan umat Islam akan pengambilalihan situs tersuci ketiga dalam Islam oleh Yahudi. Konflik berdarah antara warga Palestina dan Israel berulang kali terjadi karena semakin banyak orang Yahudi memasuki kompleks Al-Aqsa. Keputusan itu juga dikhawatirkan akan menjadi langkah Israel untuk memperluas pencaplokan dan penguasaan atas Masjid Al-Aqsa yang menutup aktifitas bagi kaum muslimin.
Kekhawatiran ini bukan tidak beralasan, berulang kali serangan dilakukan oleh individu dengan dukungan tentara Zionis Israel pada kompleks Al Aqsa. Hal ini terbukti sejak ada gerakan Zionis di Eropa yang bertujuan untuk mendirikan negara Yahudi di tanah Palestina. Pada Perang Dunia I Inggris tiba di Palestina pada tahun 1917 dan merebut Yerusalem, menandai berakhirnya delapan abad kekuasaan Muslim di kota tersebut. Pada masa tersebut, umat Islam diizinkan untuk mengontrol Masjid Al-Aqsa. Setelah lima tahun Inggris merebut Yerusalem, dilakukan restorasi pertama abad ke-20 di Masjid Al-Aqsa.
Pada 1924, Trans-Jordan mengambil alih perwalian Masjid Al-Aqsa. Setelah peristiwa Nakba pada tahun 1948, Yahudi mendirikan negara Israel di atas 78% tanah Palestina. Sedangkan, Yordania menguasai bagian Tepi Barat, termasuk Masjid Al-Aqsa. Sejak berdirinya negara Israel dalam kawasan negeri Palestina hingga sekarang masalah kedua negara ini kemudian menjadi masalah besar dalam dunia Islam karena menyangkut perebutan wilayah Baitul Maqdis. Akibatnya warga sipil Palestina, wanita dan anak-anak banyak yang menjadi korban luka-luka maupun korban jiwa.
Upaya Penyelesaian Konflik
Konflik Palestina-Israel adalah konflik yang paling lama berlangsung di wilayah Timur Tengah yang menyebabkannya menjadi perhatian utama masyarakat internasional dan melibatkan banyak negara Arab dan Barat. Konflik ini juga menjadi agenda pertama dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ketika PBB baru terbentuk. Upaya penyelesaian konflik yang berkepanjangan terus dilakukan, namun sampai saat ini tidak terselesaikan walaupun sudah banyak resolusi yang diajukan dan dikeluarkan. Perjanjian Oslo yang diratifikasi di Washington DC pada tahun 1993 dan di Taba Mesir pada tahun 1995 memberikan pengakuan secara resmi atas negara Israel.
Masjid Al-Aqsa di bawah Kekhalifahan
Pada masa kependudukan Romawi, kompleks Al-Aqsa pernah menjadi tempat pembuangan sampah. Ketika itu umat Yahudi tidak diperbolehkan tinggal di kota tersebut. Setelah
Khalifah Umar bin Khattab membebaskan Yerusalem dari tangan Romawi . Khalifah Umar membuang sampah-sampah yang ada di Masjid Al-Aqsa, kemudian membangunnya kembali. Pemerintahan Umar bin Khattab yang dikenal adil, membuat semua orang senang, termasuk orang Kristen dan Yahudi dengan memberikan jaminan keamanan jiwa, harta, dan tempat-tempat ibadah semua agama.
Pada tahun 1099 Masjid Al-Aqsa jatuh ke tangan Tentara Salib. Mereka memasuki Masjid Al-Aqsa kemudian membantai ribuan Muslim yang berada di dalamnya. Namun pada tahun 1187, umat Islam dibawah pimpinan Salahuddin Al-Ayyubi berhasil membebaskan Masjid Al-Aqsa dari Tentara Salib. Setelah dalam pemerintahan Islam, kehidupan di Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa berlangsung damai, adil, dan makmur. Orang-orang Kristen dan Yahudi diberi keamanan, perlindungan, dan dihormati hak-haknya. Kemudian selama berabad-abad, Kekhalifahan Utsmaniyah di Masjid Al-Aqsa berlangsung dengan terhormat dan bemartabat. Mereka menyediakan kebebasan beragama dan keamanan bagi umat Kristen dan Yahudi yang menjadi minoritas di sana.
Institusi kepemimpinan Islam seperti inilah yang dibutuhkan untuk melindungi warga Palestina bahkan warga dunia saat ini. Menghapus eksistensi dan provokasi Israel di tanah kaum muslimin. Memberikan hak-hak warga Palestina dan dunia sebagai manusia yang dijaga keamanannya baik dalam menjalankan ibadah di Masjid Al-Aqsa maupun aktivitas kehidupan lainnya.