Banjarmasin, KP – Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menggelar Journalist Fellowship & Training Batch II Wilayah Kalimantan 2021 (Press Tour & Pembekalan Materi) yang diikuti puluhan jurnalis dari berbagai media online, cetak dan elektronik. Kegiatan ini digelar mulai tanggal 11 – 12 November 2021, secara luring dan daring.
Pada hari pertama, Kamis (11/11) para jurnalis diajak langsung ke lokasi perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit yang menghasilkan 2 produk utama, yakni Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO) milik PT Citra Putra Kebun Asri (CPKA) Jorong Factory yang terletak di Kecamatan Jorong, Kabupaten Tanah Laut.
Manager Kebun PT CPKA, Eko Priyanto, mengungkapkan, keberadaan perkebunan kelapa sawit sangat mempengaruhi terhadap aspek sosial, kehidupan dan perekonomian masyarakat dan petani kelapa sawit.
industri perkebunan sawit ini membuka lebih banyak lapangan pekerjaan dibanding sektor lainnya, seperti pertambangan.
“Menurut saya, serapan tenaga kerja juga lebih banyak di sektor sawit dibanding dengan tambang batu bara. Sawit ini kan padat karya. Artinya, pekerjaannya itu banyak, dari hulu sampai ke hilir, mulai dari panen, diangkut hingga diolah di pabrik,” ungkapnya, saat mendampingi peserta jurnalis yang mengikuti press tour.
Ia merinci, mulai angkutan yang disupport oleh armada truk dan memerlukan banyak sopir, mekanik dan helper. Belum lagi saat panen, dari pekerja yang memanen, pemetik berondol, tenaga pupuk dan perawatan sampai tenaga angkut.
“Hingga proses di pabrik dibutuhkan karyawan yang tidak sedikit. Di tempat kita ini, dengan luas areal sekitar 3.000 hektare plasma inti dan produksi pabrik 45 ton CPO per jam, itu hampir menyerap sekitar 600 sampai 800 pekerja,” ucap Eko.
Dari luasan area tersebut, PT CPKA dapat menghasilkan sekitar 19 ton Tandan Buah Segar (TBS) per hektare per tahun. Sedangkan, untuk CPO yang dihasilkan rerata 2.000 sampai 4.000 per bulan, tergantung sawit yang masuk.
Selain itu, PT CPKA juga selalu berupaya mengakomodir para petani, khususnya di Kabupaten Tanah Laut agar lebih banyak berpartisipasi dan berkontribusi dalam industri sawit untuk menggerakkan perekonomian petani.
“TBS dari inti plasma komposisinya 30 persen, sedangkan dari pihak petani atau eksternal mencapai 70 persen. Jadi, justru lebih banyak dari petani. Seandainya dibatasi atau dibalik komposisinya, petani hanya 30 persen, kasihan para petani mau menjual kemana?,” imbuhnya.
Ia juga menambahkan, perkebunan sawit sangat jauh lebih produktif jika dibandingkan dengan komoditi minyak nabati lain, seperti bunga matahari atau kedelai yang diperkirakan hanya menghasilkan 1 ton per hektare per tahunnya.
Apalagi, dibutuhkan luas areal 7 kali lipat dibandingkan dengan luas lahan sawit, apabila sama-sama ingin mendapatkan hasil yang sama. Dengan demikian, tentu saja sawit menjadi lebih efektif dan efisien.
“Dengan energi fosil yang mulai menipis, otomatis penggantinya adalah minyak nabati yang dihasilkan dari kelapa sawit. Dia memiliki nilai produktivitas yang tinggi, mencapai 6 sampai 7 ton per hektare CPO per tahun,” bebernya.
Sementara itu, Golda Mektania selaku Kadiv Komunikasi dan Medsos DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Sawit Indonesia), menyampaikan, total luasan perkebunan sawit di Indonesia mencapai 16,3 juta hektare. Dari total luasan tersebut, ternyata 43 persennya adalah milik petani kelapa sawit.
“Sayangnya, seringkali hal ini tidak tampak. Sebenarnya, petani sawit ini didominasi oleh petani yang independen, yang memulai dari nol dengan modal sendiri, zero knowledge, dan tidak ada akses tata kelola,” ujarnya, pada sesi pembekalan materi kelapa sawit kepada jurnalis di salah satu hotel di Banjarmasin, Jumat (12/11).
Dalam industri sawit saat ini, tambahnya, sudah banyak petani muda sebagai generasi sawit milenial yang siap menerima tantangan yang semakin dinamis. Adanya krisis energi menyebabkan dunia melihat sawit sebagai sumber energi terbarukan yang sustainable.
Lantas, bagaimana industri sawit ini bisa menjadi penyumbang devisa negara? Golda menuturkan, dari perkebunan sawit ini negara mendapatkan devisa sebesar Rp400 triliun dibanding dengan APBN negara yang 2000 triliun.
“Apalagi, sektor pariwisata saat ini terhempas, yang tadinya diharapkan menjadi lokomotif. Ini otomatis berdampak pada kehidupan petani. Saat pandemi dan situasi tak menentu, para petani sawit mampu bertahan untuk hidup mereka. Ini juga menjadi sumber pendapatan bagi kami,” tandasnya.
APKASINDO, lanjut Golda, berharap petani swadaya bisa setara dan bisa berpartisipasi aktif dalam industri sawit. Selain itu juga, pihaknya terus mengedukasi petani dengan informasi terstruktur agar mengetahui dan memahami hak dan kewajiban sebagai petani kelapa sawit yang setara dengan perusahaan, di dalam industri kelapa sawit Indonesia.
“Kami selalu berupaya melakukan pembinaan dan pendampingan pada petani milenial untuk berfokus mengejar sertifikasi ISPO
(Indonesian Sustainable Palm Oil) atau Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia,” tendasnya.
Tak hanya itu, demi mengangkat kesejahteraan petani swadaya, pihaknya juga memberikan workshop dan seminar secara berkala kepada petani untuk menambah knowledge mereka.
“Termasuk dengan peningkatan SDM & beasiswa yang menjadi atensi kami dalam memberikan jalur pendidikan bagi anak petani sawit ke politeknik di seluruh indonesia,” pungkas Golda.
Di tempat terpisah, Seorang petani swadaya sawit di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), Gunawan Wijayanto, kepada media ini menceritakan pengalamannya berkebun sawit.
“Saya memulai menanam sawit itu pada tahun 2008, setelah sebelumnya membeli lahan kepada warga setempat
di Desa Sebabi, Kecamatan Danau Seluluk,” ujarnya, saat dihubungi via telepon, Kamis (18/11).
Diakuinya, aspek sosial ekonomi dari industri sawit saat ini sangat dirasakannya sebagai orang desa yang banyak menggantungkan hidup dari sektor pertanian dan perkebunan.
“Dulu, waktu membuka lahan yang pertama ditanam adalah karet, tapi kurang maksimal karena karet tak bisa disadap jika musim hujan. Maka kami pindah menanam sawit yang stabil mengahasilkan di segala musim,” katanya.
Namun, lanjut Wawan, begitu ia biasa disapa, prosesnya tak semudah membalikkan telapak tangan. Mulai dari pembelian dan pembukaan lahan, penanaman bibit sawit, hingga pemupukan, pemeliharaan dan yang lainnya.
“Apalagi, saat itu harga sawit masih murah sekali. Saya sempat putus asa juga, sampai mau diganti dengan tanaman lain. Tapi, seiring perjalanan waktu ada perubahan dan kenaikan harga pada tandan buah segar (TBS). Dari awalnya harga satu kilogram TBS Rp500, sekarang sudah mencapai Rp3.000 per kilogram,” ucapnya.
Wawan juga menguraikan, pertama kali menanam sawit, luas lahannya hanya dua hektare saja. Namun, setelah sekian tahun berjalan, luas lahannya sekarang mencapai 30 hektare.
“Per 20 hari sekali panen, tapi bisa dipress dalam sebulan jadi dua kali panen. Saat panen itu, anggap saja dapat satu ton per hektar. Alhamdulilah, berkah sekali bagi orang kecil seperti saya,” ucap Wawan, yang perlahan mampu mengangkat kesejahteraan keluarganya.
Perkebunan sawit sekarang ini, lanjutnya, merupakan sektor primadona yang dapat membangkitkan perekonomian masyarakat.
“Harapan kami ke depannya, ada kenaikan harga TBS. Jika demikian, tentu akan sangat semakin menyejahterakan para petani. Apalagi petani yang hanya memiliki lahan satu atau dua hektare saja,” tutupnya. (opq/KPO-1)