Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Pernikahan Dini Berkarakter

×

Pernikahan Dini Berkarakter

Sebarkan artikel ini

Oleh : Salasiah, S.Pd
Founder Rumah KeCe Ahmad

Usia pernikahan terus menekan untuk dilakukannya usaha pencegahan menikah dini. Usia pernikahan yang dianggap sah memenuhi aturan UU No. 1 tahun 1974, 19 tahun untuk mempelai laki-laki dan 16 tahun untuk mempelai wanita. Mengacu pada Undang-Undang No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat (1), anak memiliki memiliki kreteria khusus. Seorang yang belum berusia 18 tahun masih tergolong sebagai anak. Pernikahan di usia dini dianggap lebih banyak membawa dampak negative terhadap keharmonisan rumah tangga.

Kalimantan Post

Tiga provinsi yang memiliki presentase pernikahan anak tertinggi di Indonesia adalah provinsi Kalimantan Selatan, dan kepulauan Bangka Belitung. Di dua provinsi tersebut angka pernikahan dini mencapai di atas 37 persen. Perkawinan anak di atas 10 persen merata tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) terus berupaya menekan angka di beberapa kabupaten yang hingga kini masih tinggi.

Berbagai program terus dilancarkan dari berbagai pihak untuk menghambat lajunya angka pernikahan dini. Kepala Bidang Kualitas Hidup Perempuan dan Keluarga (KHPK) DPPPA Kalsel Titik Haryati di Amuntai Jumat (1/10) mengatakan, perlu upaya lebih maksimal dari pemerintah daerah hingga ke tingkat desa agar kasus perkawinan anak bisa terus ditekan (Republika.co.id/02102021).

Kesiapan Menikah

Ketidaksiapan dalam pernikahan ditengarai akan memunculkan konflik rumah tangga dan masalah repreduksi. Mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, membahayakan kesehatan ibu dan bayi, meningkatkan angka anak putus sekolah, tingginya angka perceraian, hingga dugaan melahirkan pekerja anak. Berdampak pada rendahnya indeks pembangunan manusia dan membebani negara.

Namun di sisi lain, kesiapan menikah kalah cepat oleh pengaruh kebutuhan menikah karena masifnya dorongan gharizah nawu sarana yang mengantarkan pergaulan bebas seperti film-film murahan, lagu-lagu picisan, dan berbagai tayangan dan aplikasi-apliasi porno online yang mengumbar aurat dan membangkitkan syahwat, yang berseliweran bebas tanpa ada larangan.

Baca Juga :  Menggugat Gaya Hidup yang Memisahkan Kita dari Alam

Pertumbuhan dan perkembangan fisik sebagai tanda kesiapan reproduksi setiap anak berbeda, tergantung dari kesehatan dan pemenuhan gizi seimbang setiap anak. Umumnya usia 11-12 tahun sudah memperlihatkan kesiapan fisiknya sebagai usia yang bukan anak-anak lagi.

Islam lebih spesifik membatasi kematangan fisik anak sebagai usia akhil baliqh, yang di tandai dengan mimpi basah untuk anak laki-laki dan menstruasi untuk anak perempuan. Seketika anak sudah memasuki akhil baliqh, Islam memberikan semua pembebanan/taklif hukum yang harus dipertanggungjawabkannya. Demikian juga pernikahan akan dibolehkan dan sah dilakukan ketika sudah mencapai baligh dengan tanda yang jelas, sebagai tanda kesempurnaan akal dan kesiapan reproduksi. Larangan pernikahan dini dengan batasan usia 19 tahun jelas bertentangan dengan syariat Islam, sebagai sebuha penelikungan sariat bahkan kebijakan ini sarat dengan kepentingan politik global yang bertujuan mengurangi populasi penduduk muslim. selain tujuan lain yang sarat dengan kepentingan ekonomi kapitalis.

Namun tentu saja usia baligh tidak secara otomatis menunjukkan kedewasaan seorang, baik dalam pemikiran maupun perbuatan. Perlu adanya pembekalan yang harus difahamkan dan dibiasakan sejak kecil. Rasulullah mengajarkan bahwa persiapan pendewasaan usia baligh dimulai ketika usia anak 7 tahun. Anak sudah harus dibiasakan untuk menerima tangung jawab sebagai hamba.

Shalat sebagai sebuah tanggung jawab utama dan pertamanya bagi anak. Mengajarkan tanggung jawab akhirat, juga tanggung jawab di dunia dengan pembiasaan kegiatan sehari-hari di rumah. Selain mengajarkan bagaimana bekerja dan mencari nafkah, anak laki-laki juga tidak tabu untuk diajarkan melakukan urusan rumah tangga, agar ia memahami perannya setelah pulang ke rumah dari bekerja. Pun sebaliknya anak perempuan, diajarkan untuk memiliki keterampilan-keterampilan tambahan untuk berkreatifitas di luar urusan rumah tangga.

Pemberian bekal tentang lika liku pernikahan pun juga harus menjadi sebuah pembelajaran yang harus diberikan mendekati usia baligh dimiliki oleh mereka yang belum menikah. Pengaturan dan managemen dalam urusan keluarga juga harus mereka kenal. Belum lagi situasi konflik yang harus mereka hadapi ketika memutuskan untuk mengarungi bidung rumah tangga dalam komitmen pernikahan. Pernikahan haruslah dijadikan layaknya urusan politik yang menjadi problem solving untuk kehidupan.

Baca Juga :  Kampus Bentuk Satgas Perlindungan Perempuan, Sudah Cukupkah?

Pembekalan-pembekalan itu akan menjadi karakter dalam membangun rumah tangga yang mereka bina sejak awal. Dengan bervisi kepada iman menjalankan ibadah dengan jalan yang lurus. Hanya saja saat ini kondisi yang dihadapi anak sejak usia pra sekolah pun arus kita sadari sangatlah berat untuk memasuki gerbang usia baligh. Anak usia pra sekolah sudah harus berhadapan dengan serangan yang massif dari media massa, terutama televisi dan media online. Bahkan mereka mempelajari pendidikan seks sejak usia pra sekolah, langsung memasuki ruang privasi dan ruang jiwa mereka secara vulgar, tanpa sensor oleh keluarga bahkan oleh Negara sekalipun.

Jika sudah demikian, adilkah untuk mereka ketika pernikahan diri menjadi sesuatu yang haram untuk di jamah. Hanya saja perlu disiapkan karakter-karakter yang mendukung dalam pemenuhan hak dan kewajiban dalam pernikahan, karena pernikahan bukanlah sebuah kisah yang selalu indah seperti kisah Cinderella. Anak disiapkan sebagai insane yang bertanggung jawab terhadap beban hukum, itulah mengapa Islam mengajarkan memukul anak yang tidak mengerjakan shalat ketika sudah berusia 7 tahun, dengan tidak melukai sebagai bentuk pembentukan karakter tanggung jawab ketika memasuki usia baligh, serta shalat berjamaah sebagai karakter kepamimpinan. Dalam managemen konflik, keluarga Orang tua mestinya menjadi contoh terbaik.

Karakter kepemimpinan, kemandirian dan tanggung jawab yang ditanamkan sejak usia dini untuk memasuki usia baligh juga tidak lepas dari sistem ekonomi dan system pergaulan yang menjadi kebijakan Negara. Ekonomi yang semrawut dan kurangnya lapangan kerja tentu menjadi permasalah tersendiri. Pergaulan yang bebas tanpa aturan akan terus membawa konflik perselisihan dalam rumah tangga. Semua system yang juga mempengaruhi setiap aspek dalam pembentukan karakter. Wallahu’alambishawab.

Iklan
Iklan