Oleh : Nor Hasanah, S.Ag, M.I.Kom.
Pustakawati UIN Antasari Banjarmasin
Dalam sebuah keluarga, seorang ibu memiliki peran utama dalam mengurus rumah tangga sekaligus menjadi pengasuh dan guru pendidik pertama bagi anak-anaknya di rumah. Saking pentingnya peran ibu maka setiap tanggal 22 Desember bangsa Indonesia selalu memperingati Hari Ibu Nasional sebagai upaya untuk mengenang dan menghargai perjuangan para ibu/perempuan Indonesia dalam merebut dan mengisi kemerdekaan.
Sebagai guru pertama di rumah, ibu bertanggungjawab penuh pada keberhasilan pendidikan literasi anaknya. Ibu tidak boleh melimpahkan sepenuhnya urusan pendidikan anak kepada guru-guru di sekolah. Waktu anak berada di rumah lebih banyak ketimbang di sekolah, dan karenanya ibu wajib memastikan selama berada di rumah, anak tetap memiliki akses pada sumber bacaan.
Upaya orang tua untuk memenuhi kebutuhan literasi anak di lingkup keluarga merupakan sebuah pendekatan pendidikan berbasis hak anak. Secara yuridis, pendekatan ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Pasal 9 UU Nomor 23 tahun 2002 secara eksplisit menyebutkan bahwa “setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan kepribadian dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”. Sementara itu, pada pasal 3 ayat (1) Konvensi Hak Anak PBB atau Convention on the Right of the Child dengan jelas ditegaskan bahwa kepentingan terbaik bagi anak (the best interest for child) harus menjadi pertimbangan utama, dalam segala tindakan terhadap anak, baik yang dilakukan oleh orang tua/wali, sekolah, maupun negara.
Peran ibu dalam pengajaran literasi di rumah dapat dilihat melalui kesediaan dan keterlibatan ibu dalam melakukan aktivitas literasi dengan anak. Di samping juga adanya kesadaran dan pemahaman orang tua terhadap pentingnya stimulasi literasi menjadi dasar dalam mengembangkan kemampuan literasi anak. Kesadaran dalam pentingnya ibu turut serta dalam hal menumbuhkan semangat literasi ternyata lebih baik dilakukan oleh ibu rumah tangga. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Weigel dkk (dalam Ruhaena, 2013) mengungkapkan bahwa ibu yang lebih fasilitatif menunjukkan perilaku lebih terlibat dalam stimulasi literasi anak, menciptakan lingkungan rumah yang kaya literasi dan membuat minat anak dan pengetahuan tulisan anak mereka lebih tinggi. Ibu yang lebih konvensional menganggap sekolah lebih bertanggung jawab dalam pengajaran literasi sehingga mengalamai banyak tantangan untuk menstimulasi literasi, dan anak mereka lebih rendah dalam minat membaca dan pengetahuan. Oleh karenanya perlu kesedian dan kesad
aran dari seorang ibu untuk menumbuhkan semangat literasi pada anak dalam sebuah keluarga.
Kehadiran ibu dalam keluarga menjadi salah satu poros utama dalam memenuhi hak anak pada akses sumber bacaan penting yang harus diupayakan dalam literas keluarga. Hal ini penting dilakukan, mengingat pendidikan yang baik adalah pendidikan yang partisipatif. Hal ini merupakan refleksi dari konsep trisentra pendidikan yang dicetuskan Ki Hajar Dewantara merujuk pada peran keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Ibarat batu tungku, ketiga elemen tersebut memiliki fungsi yang saling terkait dan saling menguatkan.
Literasi keluarga yang melibatkan orang tua dan anak di rumah bisa menuntur adanya kewajiban menyiapkan bahan bacaan di rumah. Di keluarga, selain rak TV dan pernak-pernik rumah tangga lainnya, ketersediaan rak atau lemari buku mestinya juga menjadi kebutuhan untuk para anggotanya. Jadi, ada semacam perpustakaan mini yang dilengkapi surat kabar, buku/bahan bacaan anak-anak, dan sumber literatur lain.
Kemudian orang tua menjadi role model dengan membangun kebiasaan membaca. Kebiasaan ngopi oleh ayah di rumah sambil membaca surat kabar atau buku, tampak sederhana dan biasa saja, tetapi memiliki efek positif kepada anak-anak untuk ikut menggelutinya, jika orangtua melakukannya secara rutin dalam jangka waktu lama. Penting juga dilakukan untuk menumbuhkan rasa suka dan ketertarikan anak pada aktivitas membaca, memberikan buku sebagai hadiah ulang tahun anak bisa menjadi alternatif lain bagi orangtua. Selain itu, secara rutin, sebulan sekali misalnya, anak diajak mengunjungi toko buku. Cara konservatif lain seperti membacakan cerita dan mendongeng juga bisa menjadi media yang efektif, untuk mencegah orang tua dan anak larut dalam aktivitas gadget yang cenderung apatis.
Melalui pendekatan ini, minat baca anak tumbuh tidak atas perintah verbal orang tua, tetapi dengan kesadaran mencontoh apa yang dilakukan orangtua. Pada tahap ini, family culture dalam hal literasi dasar yang melibatkan anak-anak telah terbentuk dan akan menguat seiring waktu tumbuh kembang anak di bawah bimbingan orangtua. Sebagai proses kreatif, jika budaya membaca dibiasakan pada anak usia dini di rumah, dan terus berlanjut hingga di bangku sekolah, maka siklus itu akan memberikan dampak positif pada perkembangan kognisi, meningkatkan kecerdasan, daya analisa, untuk membentuk individu yang unggul.
Berharap dengan adanya sumber bacaan yang tersedia, disertai kebiasaan membaca oleh orang tua di rumah, pola ini akan memancing rasa ingin tahu anak untuk kemudian mengakrabi bahan bacaan tersebut, dan menjadi pembaca lalu akhirnya pembelajar sepanjang hayat.












