Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Kapitalisme Biang Degradasi Alam dan Solusi Retoris?

×

Kapitalisme Biang Degradasi Alam dan Solusi Retoris?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Haritsah
Pemerhati Lingkungan Hidup

Isu perubahan iklim (climate change) telah lama digaungkan oleh para peneliti dan ilmuwan. Diawali penemuan meluasnya lubang ozone dan mencairnya es di benua Antartika. Beberapa bukti lain juga menguatkan bahwa bumi semakin panas. Pemanasan global yang berdampak ikutan pada perubahan iklim disebabkan oleh efek rumah kaca akibat lepasan karbon yang tinggi dari penggunaan bahan bakar fosil pada industri dan aktivitas manusia.

Baca Koran

Meski demikian, pada mulanya, teori pemanasan global dan perubahan iklim ini masih dibantah dan dianggap politis. Klaim kontra mengatakan bahwa memanasnya bumi adalah bersifat alami karena peningkatan suhu telah terjadi sejak zaman es berakhir (ice age).

Namun pemanasan global dan perubahan iklim sulit dibantah. Sistem kapitalisme dan sosialisme terbukti telah merubah alam dan ekologi bumi secara besar-besaran. Realita emisi karbon dari industri dan aktivitas manusia tidak bisa ditampik. Begitupula dengan menyusutnya hutan-hutan. Padahal keberadaan hutan sangat vital sebagai penyimpan dan penyerap karbondioksida. Hilangnya hutan menjadi penyumbang terbesar pemanasan global. Para ahli juga mengkaitkannya dengan bencana alam seperti banjir, longsor, cuaca ekstrem yang begitu massif pada beberapa dasawarsa terakhir.

Serangkaian konferensi internasional telah dilaksanakan untuk mengarahkan negara-negara pada upaya penanganan pemanasan global dan perubahan iklim. Yang baru saja dilaksanakan adalah COP26 di Glasgow, 31 Oktober hingga 12 November 2021. Presiden Jokowi hadir didampingi Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya.

Dalam pidato di hadapan kepala-kepala pemerintah dunia pada COP 26 itu presiden Jokowi memamerkan sederet prestasi Indonesia dalam mencegah perubahan iklim yang memburuk. Dari mulai menahan laju deforestasi hingga rehabilitasi 3 juta lahan kritis selama kurun waktu 2019-2019. Iapun juga membeberkan target yang tengah belangsung; Rehabilitasi hutan mangrove atau hutan bakau seluas 600 ribu hektar hingga tahun 2024. (cnnindonesia.com, 02/11/2022).

Namun klaim presiden tersebut dibantah oleh sejumlah organisasi yang mengadvokasi lingkungan. Walhi dan Greenpeace menyoroti implementasi program dan intervensi kebijakan di lapangan. Bahkan mereka menyebut klaim presiden sebagai omong kosong belaka.

Biang Degradasi Bumi

Pembangunan dalam sistem kapitalisme mengarahkan manusia pada eksploitasi masif terhadap alam. Degradasi alam dan lingkungan tidak terhindarkan. Kapitalisme yang sekuler menjadikan materi sebagai nilai bagi perbuatan dan sumber kebahagiaan. Individualisme, keserakahan dan ketamakan manusia dengan sangat baik disalurkan oleh sistem batil ini. Negara secara salah arah hanya fokus pada pertumbuhan.

Baca Juga :  Belajar Berwirausaha dari Perempuan Tangguh Paniai Papua

Ditambah dengan konsep batil kebebasan kepemilikan yang berarti kebebasan penguasaan dan pengelolaan. Pertumbuhan ekonomi berarti perputaran produksi dan konsumsi dan terciptanya lapangan kerja. Namun ironisnya, pertumbuhan ekonomi yang dimaksud hanya terepresentasi pada pertumbuhan kekayaan korporasi dan swasta, yaitu dalam profit dan produksi mereka. Bagi perusahaan atau korporasi, produksi dan keuntungan harus dijaga dan kalau perlu dalam tren meningkat. Sekedar stagnasi produksi dan profit saja sudah mengharuskan berpikir keras untuk bertahan dan berinovasi. Ambil contoh sebuah pabrikan otomotif. Setiap pabrikan secara rutin mengeluarkan seri mobil terbaru dan mentargetkan penjualan sekian ribu unit di pasar. Ekonomi memang akan tumbuh signifikan oleh industri otomotif. Industri logam akan bergairah memasok beragam logam dan material komponen produksi mobil. Pertambangan mineral logam akan merambah lahan-lahan tambang. Begitu pula usaha penyediaan BBM, usaha bengkel, pencucian mobil kendaraan akan berkemb
ang. Masyarakat juga merasakan kebutuhan mobil dan membelinya. Pemerintah pun akan membangun banyak jalan untuk menambah jalan yang sudah ada. Inilah pertumbuhan ekonomi yang disasar pemerintah. Namun, bagaimana nasib alam dan lingkungan? Apakah pertumbuhan ekonomi juga diikuti kesejahteraan bersama?

Ironisnya, pertumbuhan ekonomi yang membuat degradasi alam dan lingkungan hanya mensejahterakan sedikit orang. Kebanyakan masyarakat hanya menikmati tetesan pertumbuhan tersebut dan mendapati alamnya rusak.

Sedangkan penguasa tidak berdaya. Fungsi keberadaan pemerintah dikooptasi oleh para pemilik modal atau korporasi. Pemerintah menjalankan peran minimalis dalam pengelolaan kekayaan alam dan menjaga kelestariannya.

Sehingga tidak mengherankan upaya penanganan perubahan iklim dan pemanasan global berada di level retorika omong kosong. Retorika tersebut tidak sejalan dengan berbagai UU, kebijakan dan implementasi nya di lapangan.

Klaim pemerintah tentang keberhasilan mengurangi laju deforestasi tidak sesuai dengan fakta bahwa penurunan tersebut disebabkan hutan di Jawa yang hampir habis. Sedangkan di Kalimantan, Papua dan Sumatera, deforestasi tetap berlangsung. Begitu pula dengan rehabilitasi lahan kritis yang implementasinya sangat lambat. Dan tentu saja keberadaan UU seperti UU omnibus Law, UU Minerba serta kebijakan-kebijakan seperti food estate akan menggagalkan upaya penanganan deforestasi. Pembangunan dalam tatanan kapitalisme khususnya terkait dengan kebijakan lahan tidak bisa menahan laju kerusakan alam.

Baca Juga :  Sampah Menggunung, Menjadi Berkah atau Masalah?

Akan halnya solusi perdagangan karbon atau pajak karbon, banyak disangsikan para peneliti. Solusi ini dipertanyakan efektifitasnya. Pada kenyataannya, emisi karbon semakin meningkat dari waktu ke waktu.

Pengelolaan alam

Islam adalah sistem kehidupan yang shahih, penebar rahmat dan berkah ke seluruh alam. Allah SWT menciptakan bumi dan langit untuk kepentingan dan kemaslahatan hidup manusia.

“Tidakkah kamu memperhatikan sesungguhnya Allah telah mengadakan untuk (kepentinganmu) apa yang ada di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin”. (QS. Lukman: 20).

Beradab kepada alam dan tidak melakukan kerusakan dimuka bumi adalah bagian dari ajaran Islam.

Dalam aspek pemanfaatan alam, syariat Islam mengatur secara rinci dalam hukum kepemilikan (milkiyah). Kepemilikan adalah izin syarak dalam mengambil manfaat dan mengelola sesuatu. Ada tiga kepemilikan; kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.

Hutan termasuk kepemilikan umum. Fungsi hutan sangat vital, yaitu mencakup fungsi menyerap dan menyimpan karbon, menyimpan cadangan air, menyediakan kayu dan habitat bagi satwa dan keragaman hayati (biodiversitas). Karenanya, hutan termasuk kepemilikan umum. Pemerintah mewakili umat berkewajiban dalam mengelola manfaat hutan dan menjaga kelestarian eksistensi hutan.

Adapun kebijakan tentang lahan, sangat berkaitan dengan kepemilikan negara terhadap tanah-tanah mati yang belum dimiliki individu. Pantai, gurun, bukit, gunung dan rawa (wet lands) menjadi milik negara yang dikuasai negara dan pengelolaannya diperuntukkan untuk kepentingan rakyat.

Eksploitasi alam semata demi keuntungan jangka pendek dan penguasaan pemilik modal dan korporasi akan berpeluang kecil untuk terjadi dalam sistem Islam.

Sistem khilafah akan me-restore, memulihkan bumi dan memperbaikinya, termasuk penanganan pemanasan global dan perubahan iklim. Ketetapan syariat yang begitu jelas dan rinci akan mengarahkan ekonomi yang mensejahterakan namun tetap menjaga alam dan lingkungan. Wallahu alam bis shawab.

Iklan
Iklan