Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Mampukah Kekerasan Seksual Diredam Dengan Sistem Sekuler-Liberal

×

Mampukah Kekerasan Seksual Diredam Dengan Sistem Sekuler-Liberal

Sebarkan artikel ini

Oleh : Khadijah Dahni
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA) Bintang Puspayoga bicara mengenai kasus Novia Widyasari (23) yang menenggak racun karena sang kekasih Bripda Randy Bagus memaksa melakukan aborsi. Bintang menyebut kasus yang menimpa Novia termasuk dalam kategori kekerasan dalam berpacaran atau dating violence.

Baca Koran

“Kasus yang menimpa almarhumah ini adalah bentuk dating violence atau kekerasan dalam berpacaran, di mana kebanyakan korban, setiap bentuk kekerasan adalah pelanggaran HAM,” kata Bintang dalam keterangan pers tertulisnya, Minggu (5/11/2021).

Ditempat terpisah, Wakapolda Jawa Timur Brigjen Pol Slamet Hadi Supraptoyo mengungkapkan bahwa mahasiswi Universitas Brawijaya (UB) Malang, Novia Widyasari telah melakukan aborsi sebanyak dua kali hingga akhirnya nekat melakukan bunuh diri.

Hal itu terungkap setelah pihaknya melakukan pemeriksaan kepada mantan kekasihnya yang merupakan oknum polisi yang bertugas di Polres Pasuruan. Slamet menerangkan, keduanya melakukan hubungan layaknya suami istri yang terjadi mulai tahun 2020 hingga 2021, yang dilakukan di wilayah Malang yang dilakukan di kos maupun di hotel.

“Selain itu ditemukan juga bukti lain bahwa korban selama pacaran, yang terhitung mulai bulan Oktober 2019 sampai bulan Desember 2021 melalukan tindakan aborsi bersama yang mana dilakukan pada bulan Maret tahun 2020 dan bulan Agustus 2021,” kata Slamet. “Untuk usia kandungan yang pertama masih usia mingguan, sedangkan usia kandungan yang kedua setelah usia 4 bulan,” sambungnya.

Ia menambahkan bahwa korban dan oknum anggota Polri ini sudah berkenalan sejak bulan Oktober 2019. Pada saat itu, kedunya sedang nonton bareng distro baju yang ada di Malang. Keduanya pun akhirnya berkenalan dan bertukar nomor hanphone hingga akhirnya berpacaran.

Tidak Mampu Meredam

Hukuman dalam sistem sekularisme liberal tidak akan mampu meredam kekerasan seksual. Walaupun pelaku dituntut dengan sanksi yang menanti, tapi kasus ini tetap saja berulang kali terjadi. Masalah kekerasan seksual sesungguhnya menggejala di sistem sekuler atau sistem yang memisahkan urusan agama dari urusan kehidupan. Meski pemerintah telah menggagas sejumlah regulasi, nyatanya kekerasan seksual tetap saja terjadi. Kekerasan seksual di perguruan tinggi sesungguhnya hanya satu fenomena. Hal serupa juga terjadi di level lingkungan kerja, sekolah, maupun kehidupan sosial.

Baca Juga :  SERTIFIKAT LULUS RAMADAN

Di tengah perdebatan Permen ini, menyeruak pertanyaan kritis mengenai ketidakmampuan sistem ini mereduksi kekerasan seksual. Maraknya kekerasan seksual ini butuh penelaahan sistemis dan mengurai akar masalah untuk menemukan solusi tepat.

Sesungguhnya, sistem sekuler telah menghasilkan pemikiran liberal yang mengakomodasi kebebasan berekspresi. Memang, keinginan untuk menghilangkan kasus kekerasan seksual, tetapi negara menjamin individu untuk bebas berekspresi, termasuk mengekspresikan seksualitasnya.

Islam, Solusi Kekerasan Seksual

Allah SWT menciptakan naluri seksual pada laki-laki dan perempuan sekaligus menurunkan seperangkat hukum syariat sebagai upaya preventif agar tidak terjadi kekerasan seksual.

Secara garis besar aturan tersebut, yakni pertama, Islam memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat dan menjaga kemaluan. Islam memerintahkan perempuan untuk menggunakan pakaian syar’i berupa jilbab/gamis (lihat QS Al-Ahzab: 59) dan mengenakan khimar/kerudung (lihat QS An-Nur: 31).

Kedua, Islam melarang laki-laki dan perempuan untuk berkhalwat/berdua-duaan. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah sekali-kali berdua-duaan dengan seorang perempuan yang bukan mahram karena yang ketiganya adalah setan.” (HR Ahmad).

Ketiga, Allah melarang perempuan untuk berdandan berlebihan (tabarruj) yang merangsang naluri seksual laki-laki. Maraknya kekerasan seksual termasuk pemerkosaan di setiap segmen kehidupan sosial sesungguhnya tidak lepas dari realitas adanya perempuan yang mempertontonkan gaya berpakaian yang dapat membangkitkan syahwat.

Keempat, Negara mengontrol ketat seluruh tayangan maupun materi pemberitaan media. Saat ini begitu mudah masyarakat mengakses situs-situs porno yang menayangkan adegan tidak senonoh. Teror tayangan ini berdampak pada pelampiasan naluri melalui pemerkosaan, pelecehan seksual dan sejenisnya. Tidak sedikit pula kita menemukan pasangan yang melakukan hubungan layaknya suami-istri meski belum terikat dalam pernikahan yang sah.

Baca Juga :  Pemimpin sebagai Pengayom Masyarakat

Bahkan bukan rahasia lagi jika di kalangan mahasiswa pun praktik tidak senonoh ini terjadi. Beberapa waktu lalu bahkan beredar berita adanya aplikasi yang memfasilitasi mahasiswa untuk kencan dengan mahasiswa dari kampus lain di masa pandemi. Kondisi ini bukan hanya mengungkap bobroknya sistem kehidupan yang melingkupi kita, tetapi juga memperlihatkan kegagalan sistem pendidikan sekuler dalam mencetak output pendidikan yang berakhlak dan layak menjadi contoh masyarakat.

Kelima, dalam Islam, pelaku pelecehan seksual wajib mendapat hukuman karena kekerasan seksual semisal pemerkosan dan kriminalitas sejenisnya dengan hukuman setimpal sesuai syariat Islam. Masing-masing diberikan hukuman yang berbeda. Bagi pezina ghairu mukhsan (yang belum menikah) dijatuhi hukuman 100 kali cambukan dan diasingkan selama setahun. Sedangkan bagi pezina mukhsan dijatuhi hukuman rajam.

Inilah beberapa upaya preventif dan kuratif dalam sistem Islam untuk menghindari terjadinya kekerasan seksual di semua lini kehidupan. Dengan ini, Islam menjadi satu-satunya sistem yang mampu mencegah terjadinya kekerasan seksual dengan jaminan sempurna.

Regulasi yang hadir saat ini, sebanyak apa pun itu takakan mampu menyelesaikan kasus ini sebab pola berpikir sekularisme yang menjamin kebebasan individu hanya akan menyuburkan kekerasan seksual, bukan mereduksinya.

Sudah selayaknya civitas akademik tidak fobia terhadap Islam. Bahkan, jika perguruan tinggi ikhlas mengkaji aturan Islam hingga menjadikannya sebagai rujukan, niscaya di semua level kehidupan akan terhindar dari berbagai bentuk kekerasan seksual.

Penerapan syariat Islam secara sempurna akan mewujudkan rahmat bagi seluruh alam, termasuk untuk para perempuan. Wallâhu a’lam bish shawâb

Iklan
Iklan