Oleh : Asma Yulia, SE
Pemerhati Masalah Umat
Konflik Natuna manas kembali setelah China menuntut Indonesia menyetop pengeboran minyak dan gas alam (migas), karena mengeklaim wilayah itu miliknya. Padahal, Indonesia dengan tegas sudah mengatakan, ujung selatan Laut China Selatan adalah zona ekonomi eksklusif milik RI di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut, dan pada 2017 menamai wilayah itu Laut Natuna Utara.
Sesungguhnya kejadian ini bukan yang pertama, tapi sudah pernah terjadi sebelumnya, pada awal tahun 2020 kapal patroli milik badan keamanan laut (coast guard) Tiongkok mengawal kapal-kapal ikan mereka di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. Kapal penjaga pantai (coast guard) milik Angkatan Laut Cina nekat menerobos perbatasan.
Tak hanya itu, mereka juga menabrak dan menarik paksa kapal yang baru saja ditangkap operasi gabungan Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama TNI AL. Cina mengklaim perairan Natuna masuk wilayahnya. Dasar yang digunakan adalah sembilan garis putus-putus (nine dash line/ NDL). NDL merupakan garis yang dibuat sepihak oleh Cina tanpa melalui konvensi hukum laut di bawah PBB atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
UNCLOS 1982 memutuskan perairan Natuna adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Meski Cina juga merupakan anggota UNCLOS, negara itu tidak mengakui ZEE di Laut Cina Selatan. Sikap ini menunjukkan arogansi Cina terhadap Indonesia.
Mengapa Cina sangat ingin menguasai kawasan Natuna? Tentu saja hal ini tidak lepas dari sumber daya alam yang ada di kawasan Natuna. Menurut data Ditjen Migas Kementerian ESDM pada Januari 2016, Natuna memiliki cadangan gas alam terbesar di Indonesia, yakni mencapai 49,87 persen. Bahkan disebutkan oleh para ahli, cadangan gas alam Natuna ini adalah yang terbesar di dunia.
Dalam menghadapi kasus ini pemerintah hanya menyiapkan dua skema besar. Pertama, pendekatan diplomasi atau politik. Kedua, pemerintah akan melakukan pendekatan militer atau keamanan, yakni pertahanan keamanan.
Apakah dua skema besar ini akan menyelesaikan konflik Natuna? Sepertinya tidak, karena sekarang konflik kembali terjadi.
Bagaimana solusi Islam?
Dalam Islam, menjaga keutuhan wilayah adalah wajib, karenanya wajib untuk mempertahankan wilayah kepulauan Natuna dari gangguan negara-negara lain yang hendak menguasainya, termasuk Cina. Hal ini didasarkan pada hadis: Dari Arfajah, ia berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Jika ada orang yang datang kepada kalian, ketika kalian telah sepakat terhadap satu orang (sebagai pemimpin), lalu dia ingin merusak persatuan kalian atau memecah jama’ah kalian, maka perangilah ia”. (HR Muslim)
Sikap yang harus diambil adalah interaksi perang dan tidak boleh ada perjanjian apapun dengan Cina, misalnya penjanjian politik (seperti hubungan diplomasi), perjanjian ekonomi (seperti ekspor-impor), dan sebagainya. Pemerintah harus benar-benar mengambil sikap yang tegas untuk memutuskan hubungan dengan Cina.
Sudah saatnya negeri ini melepaskan seluruh ketergantungan pada Cina dan negara-negara lainnya, termasuk Amerika, sehingga menjadi negara yang mandiri, tidak bergantung pada negara lain. Mengelola sendiri kekayaan alam yang melimpah ruah, menjamin keamanan rakyatnya sendiri.
Di dalam Islam, sumber daya alam termasuk kepemilikan umum seluruh rakyat, sehingga tidak boleh sama sekali diserahkan kepada swasta atau diprivatisasi. Hanya negara yang boleh mengelolanya, dan seluruh hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Makanya didalam Islam rakyat tidak wajib membayar pajak. Karena negara sudah kaya dari hasil pengelolaan SDA. Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).