Oleh : Dewi Yuanda Arga, S.Pd
Pemerhati Sosial
Covid-19 belum usai dan kini dunia kembali digegerkan dengan varian baru virus corona yang dinamakan Omicron. Dalam beberapa terakhir puluhan negara kembali mmperketat aturan pembatasan Covid-19 seperti syarat pendatang asing hingga lockdown nasional akibat varian Omicron.
Varian corona yang pertama kali terdeteksi di Afrika itu didga sejumlah ahli lebih menular dari varian Covid 19 lainnya. Hal itu memicu kekhawatiran terkait efikasi vaksin covid 19 yang sudah ada saat ini yang tak begitu mempan membasmi varian Omicron.
Organisasi kesehatan WHO mengatakan varian Omicron pertama kali teridentifikasi di Afrika selatan pada 9 November lalu. WHO memasukan Omicron dalam daftar Varian of Concern (VOC).
Varian of Concern (VOC) adalah varian yang menjadi perhatian karena memiliki tingkat penularan tinggi, virulensi yang tinggi, dan menurunkan efektivitas diagnosis, terapi serta vaksin yang ada.
Omicron bergabung dengan beberapa varian lain yang lebih dahulu masuk kategori Varian of Concern WHO yaitu Alpha, Beta, Gamma, dan Delta.
Saat ini kasus Covid 19 varian Omicron di Afrika selatan meningkat dihampir setiap provinsi di negara itu. Kini, varian dengan nomor ilmiah (B.1.1.259) itu telah menyebar ke setidaknya delapan negara mulai dari Inggris, Jerman, Belgia, himgga Hong Kong. (waspada.co.id)
Penyebaran virus Corona di Jerman kian mengganas. Badan Pengendali penyakit negara itu mengatakan 76.414 kasus baru Covid-19 dilaporkan dalam sehari pada Jumat (26/11) waktu setempat sebuah rekor baru. (News.detik.com)
Bila di lihat lebih dalam, faktor pemicu kemunculan varian yang lebih berbahaya adalah konsekuensi logis dari penanganan pandemi Covid 19 brlandaskan ideologi kapitalisme bagi peradaban kapitalisme satu-satunya nilai yang diakui adalah nilai materi (ekonomi).
Hal itu terlihat dari upaya penyatuan dua unsur yang bertolak belakang dari segi nilai yang harus dicapai tetapi berujung pada dominasi nilai materi nilai kemanusiaan pada kesehatan dan keselamatan jiwa manusia sehingga harus “steril” dai perhitungan ekonomi (untung/rugi) dan nilai materi pada aktivitas ekonomi.
Inilah yang dapat dipahami dari naskah panduan mitigasi Covid-19 otoritas kesehatan global kapitalisme, WHO berjudul “Considerationsfor implementing and adjusting public health and social measures in the context of Covid-19”.
Panduan ini diadopsi negara diseluruh dunia termasuk Indonesia. Presiden pernah menyatakan penanganan ekonomi dan kesehatan harus beriringan meski akhirnya kepentingan materi dan ekonomi yang diutamakan. Akibatnya penanganan pandemi tidak diarahkan pada tujuan yang benar berupa pembasmian (eradikasi) segera dan tidak didasarkan pada bukti saintifik yang kuat.
Tampak dari sikap WHO yang mengakui tindakan kesehtan masyarakat dan sosial (PHSM, Public health and social measures) efektif untuk pembatasan penularan dan pengurangan kematian, tetapi mengabaikan tindakan penguncian itu sendiri (lockdown).
Demikian juga sikap rezim demokrasi kepitalisme di negeri ini yang mengakui lockdown sebagai tindakan yang jauh lebih efektif, namun diabaikan. Pada akhirnya penanganan mengabaikan tindakan kunci tersebut dan bersandar pada teknologi.
Penanganan pandemi kapitalisme fokus pada tindakan 3T (testing-tracing –treatment) dan 5M(memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, mengurangi mobilitas). Hasilnya persoalan waktu penanganan makin tanpa ujung dan mobilitas manusia makin difasilitasi.
Ketika teknologi vaksin untuk herd immunity dijadikan andalan penanggulangan kapitalisme di bawah pimpinan otoritas kesehatan dunia WHO. Padahal sejak awal vaksin dirancang untuk tindakan klinik individual mencegah agar orang terinfeksi tidak jatuh sakit dan bila sakit tidak terlalu parah, bukan untuk tindakan komunal sebagai pemutus rantai penularan. Pada akhirnya, pesoalan makin pelik oleh kemunculan berbagai varian baru.
Berbeda dengan Islam, Islam datang sebagai pemberi solusi bagi setiap persoalan kehidupan manusia tidak terkecuali persoalan pandemi dan mengatasi kemunculan varian lebih berbahaya. Lebih itu penangan pand Islam memiliki karakter istimewa yang begitu manusiawi, terlihat dari prinsip-prinsip islam dalam penanganan pandemi dan tindakan yang harus dilakukan beserta metode pelaksanaanya. Wabah berbahaya bagi kehidupan manusia, sementara Islam hadir memberikan kehidupan. Inilah hakikat tindakan lockdown yang disyariatkan oleh Allah SWT, Zat Pencipta kehidupan, sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW, “Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya”. (HR.Muslim).
Tindakan penguncian meniscayakan penanganan dilakukan segera tanpa harus mengulur waktu untuk keperluan penemuan teknologi seperti alat pengetesan dan pembaruan teknologi vaksin di saat yang bersamaan mobilitas amnusai dari, ke, dan di area wabah segera dihentikan. Bersamaan dengan penguncian tindakan segera yang harus dilakukan di area terjangkiti wabah adalah isolasi atau pemisahan orang sehat dari yang terinfeksi, termasuk yang tanpa gejala. Ditegaskan Rasulullah SAW, “Hindarilah orang yaterkena lepra, seperti halnya kalian menghindari singa”. (HR. Bukhari)
Tidak hanya isolasi, yang sakit juga harus diobati agar sembuh dan tidak lagi menularkan. Dinyatakan Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah ketika menciptakan penyakit Allah ciptakan obatnya, maka berobatlah”. (HR. Imam Ahmad).
Karena dosis kuman atau virus di area wabah masih memungkinkan orang yang sehat tetular, maka agar benar-benar tidak ada lagi rantai penularan baru. Sementara itu imunitas setiap orang harus dikuatkan dengan pola hidup yang sehat fisik dan psikis sebagaimana tuntutan syariat Islam. Hal ini didukung dengan adanya pemimpin Islam yang berkapasitas yang berfungsi sebagai pengurus urusan umat.
Pelaksanaan prinsip tindakan Islam hanya ada pada kepemimpinan politik Islam yakni Khilafah, yang hadir sebagai adidaya bari di abad ini. Insya Allah.