Oleh : Adzkia Mufidah, S.Pd
Pengajar di Kecamatan Danau Panggang, HSU
Belum usai persoalan para honorer, seperti guru honorer yang terombang ambing nasibnya setelah mengikuti PPPK tahap pertama, kini muncul wacana baru yang bikin gelisah para PNS. Apalagi kalau bukan wacana pegawai negeri sipil (PNS) yang akan digantikan oleh robot artificial intelligence (AI).
Dikutip dari Detik.com, pemerintah benar-benar serius ingin mewujudkan rencana percepatan dalam mengurus birokrasi. Salah satu cara yang bakal ditempuh adalah memangkas jumlah pegawai negeri sipil (PNS) dan menggantinya dengan robot kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Menurut Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Hukum Dan Kerja Sama Badan Kepegawaian Negara (BKN) Satya Pratama “ke depannya pemerintah akan menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan pelayanan kepada publik. Jumlah PNS tidak akan gemuk dan akan dikurangi secara bertahap”. (detik.com, /28/11/2021).
Meneropong Efek Robotisasi
Diakui atau tidak kemajuan teknologi di era globalisasi ini telah membawa dampak yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat. Salah satunya adanya tren menuju robotisasi. Robotisasi adalah istilah untuk dominasi robot di berbagai aspek kehidupan. Amerika Serikat dan Tiongkok adalah dua negara yang lebih dulu menggunakan robot dalam skala besar.
Tampaknya hal itu juga yang menginspirasi pemerintah untuk mengganti pegawai negeri sipil (PNS) dengan robot. Meskipun katanya alasan utamanya dalam rangka percepatan reformasi birokrasi, efektivitas kerja dan efisiensi anggaran.
Padahal, menurut para peneliti, robotisasi akan membawa dampak negative bagi manusia. Karena jutaan pekerjaan manusia akan hilang digantikan robot. Akibatnya kelak ketimpangan pendapatan akan semakin meningkat.
Sayangnya, tampaknya pemerintah bersikeras memilih robot dan merampingkan atau mengurangi jumlah PNS. Pemerintah berkilah bahwa selama ini beban negara amat besar karena harus mengeluarkan dana ratusan triliun setiap tahunnya untuk membayar gaji PNS. Padahal realitasnya membengkaknya belanja anggaran negara bukan hanya untuk menggaji PNS, tapi juga untuk infrastruktur, membiayai gaya hidup anggota dewan, dan lain-lain.
Jika kebijakan ini tetap diambil, bukankah ini artinya akan menambah angka pengangguran? Padahal per Agustus 2021 saja-dimana negeri ini belum menggunakan robot, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran di Indonesia sudah mencapai 9,1 juta orang. Ini tentu bukan jumlah yang kecil.
Jika robot AI nanti semakin cerdas dan canggih, bukan cuma pekerjaan yang tidak membutuhkan skill khusus, seperti beberapa pekerjaan repetitif (yang bersifat administratif dan rutinitas), bahkan mungkin pekerjaan yang membutuhkan pertimbangan emosional dan etis sekalipun dapat digantikan oleh robot AI. Pada tahap ini peran manusia PNS bisa jadi tidak lagi dibutuhkan.
Di sisi lain, ketika penggunaan robot itu nanti dipandang sukses menggantikan PNS, maka tidak menutup kemungkinan ini juga akan “menginspirasi” perusahaan-perusahaan besar untuk menggati karyawan-karyawannya dengan robot. Tentu ini akan semakin mengurangi dan mempersempit lapangan pekerjaan.
Ingat, Negara Bukan Perusahaan!
Dunia industri, khususnya di luar negeri terlebih duhulu menggunakan teknologi robot. Alasannya menggunakan robot mengurangi beban produksi dan menambah efisiensi. Dengan banyaknya tenaga robot yang menggantikan karyawan, perusahaan tidak perlu mengeluarkan banyak dana untuk membayar gaji karyawan.
Cara pandang begitu adalah lumrah bagi pengusaha. Sebab dalam sistem kapitalis seperti sekarang ini, sudah wataknya para pengusaha, mengejar untung sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya.
Namun, pola pikir seperti itu tidak seharusnya dimiliki oleh negara atau pemerintah. Karena negara berbeda dengan perusahaan. Negara adalah institusi periayah atau pengelola urusan rakyat. Tugasnya adalah melayani rakyat. Bukan untuk mencari atau mengambil untung semata.
Sayangnya negara ini seperti tidak peduli dengan nasib rakyat. Tidak peduli apakah lapangan pekerjaan tersedia untuk rakyat/tidak, apakah kebutuhan pokok, kesehatan dan pendidikan rakyat sudah terjamin/tidak. Yang penting negara mengikuti tren global-agar dipandang modern.
Terlihat sekali bagaimana pola pikir kapitalis di atas mempengaruhi penguasa negeri ini dalam mengurus rakyat. Rencana mengganti tenaga manusia-PNS dengan robot contohnya. Bukannya berupaya membuka lapangan kerja seluas-luasnya untuk rakyat hingga rakyat bisa mengupayakan kesejahterannya, penguasa dan pejabat negeri ini malah sibuk memikirkan bagaimana memutus atau memangkas anggaran untuk rakyat (termasuk anggaran menggaji PNS).
Selama ini pemerintah jelas kewalahan menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, sehingga pengangguran meningkat. Mestinya itu disadari oleh pemerintah bahwa ini berarti alarm akan meningkatnya kemiskinan. Ketika kemiskinan melanda-kebutuhan pokok tidak tercukupi, itu akan berdampak pada meningkatnya angka kriminalitas. Maka masalah negara ini bukannya berkurang tapi akan kian bertambah.
Memang tidak salah ingin menjadikan negara maju dengan teknologi, atau mengambil kebijakan demi percepatan reformasi birokrasi. Namun di atas semua itu, mestinya pemerintah juga memperhatikan dan mengkaji dampak atau sisi negatif dari pengambilan kebijakan ini. Jangan sampai hanya karena ingin dipandang modern, nasib rakyat diabaikan.
Kemajuan Teknologi untuk Meninggikan Peradaban.
Kemajuan bangsa mestinya tidak hanya diukur dengan sekedar pencapaian fisik dan kemajuan teknologi yang digunakan. Seharusnya ukuran dasar kemajuan suatu negara adalah tercapainya tujuan bernegara yaitu mensejahterakan setiap individu rakyatnya, terciptanya ketenangan, stabilitas dan meninggikan peradaban.
Karena itu, Islam berbeda dengan sistem kapitalis yang selalu mengusung kemajuan dan modernisasi, namun yang terjadi kebanyakan selalu merugikan rakyat.
Islam tidak pernah mengekang umatnya untuk maju dan modern. Justru Islam sangat mendukung kemajuan umatnya dengan membebaskan mereka melakukan penelitian dan bereksperimen dalam bidang apapun termasuk dalam bidang teknologi selama bukan untuk maksiat dan tidak mengandung Hadharah tertentu.
Dalam sistem Islam-khilafah, kemajuan teknologi digunakan untuk membantu manusia dan memudahkan manusia untuk menjalankan ketaatan kepada Al-Khaliq. Di samping itu, teknologi dipakai untuk meninggikan peradaban manusia.
Karenanya kehadiran teknologi dalam khilafah bukan untuk menggeser manusia atau mencelakakan manusia, sebagaimana yang terjadi dalam sistem sekuler saat ini. Wallahu a’lam