Oleh : Fathul Jannah S.ST
Pemerhati Ekonomi dan Sosial Masyarakat
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengatakan, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata kenaikan upah minimum secara nasional ditetapkan mencapai 1,09 persen pada 2022. Menurutnya, setelah ketetapan ini, seluruh Gubernur di Indonesia akan mengumumkan kenaikan upah minimum di masing-masing daerah. (https://m.mediaindonesia.com/ekonomi/447325/menaker-kenaikan-upah-minimum-2022-secara-nasional-109)
Akibatnya gelombang penolakan terkait penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022 pun disuarakan kalangan pekerja dan buruh di berbagai wilayah. Buruh di beberapa wilayah cukup gencar menyuarakan protes terhadap rencana penetapan UMP tahun depan itu disusul rencana mogok nasional yang akan digelar 6-8 Desember 2021 mendatang.
Ida Fauziyah mengatakan upah pada 2022 hanya naik tipis, karena penyesuaian upah minimum dengan mengacu aturan turunan dari UU 11/2020 tentang Cipta Kerja untuk mengatasi kesenjangan pengupahan antara daerah. Selain itu, kata Ida, formulasi pengupahan dengan metode baku itu diharapkan dapat menjaga stabilitas iklim usaha dalam negeri. (Bisnis.com, 16/11/2021).
Alasan pemerintah menaikan upah minimum yang hanya sekedar 1,09 persen itu adalah katanya mempertimbangkan kebutuhan buruh, dan mempertimbangan kondisi dunia usaha yang saat ini masih tertekan pandemi Covid-19. Alasan ini tentu saja tidak bisa diterima oleh sebagian besar masyarakat khususnya para buruh, pasalnya kalaulah memang perhatian terhadap kebutuhan buruh, bukankah kenaikan tipis tersebut tidak banyak berpengaruh pada kebutuhan buruh?
Buruh membutuhkan kecukupan nafkah dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Apa pengaruhnya kenaikan 1,09 persen terhadap pengurangan beban hidup mereka?
Selain itu, penderitaan buruh akan makin berlipat karena selain pendapatannya berkurang, pengeluarannya pun malah makin bertambah. Contohnya tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang naik dari 10 persen menjadi 11 persen yang akan berlaku tahun depan. Begitu pun tarif dasar listrik, air dan harga kebutuhan pokok yang terus melambung.
Semua ini seperti melengkapi penderitaan masyarakat yang masih berjuang mengembalikan ekonomi keluarganya pada masa pandemi. Bukankah ini pun nantinya akan menjadi penghambat pemulihan ekonomi bangsa?
Wajar bila terjadi gelombang protes dari para buruh. Sebab, nilai kenaikan UMP yang ditetapkan pemerintah jauh lebih kecil ketimbang inflasi yang diprediksi bakal terjadi pada 2022.
Kesalahan itu berangkat dari pemahaman pemerintah yang menyebut kenaikan upah minimum yang terlalu tinggi bisa membebani kalangan usaha dan menghambat pemulihan ekonomi.
Dari sini jelas terlihat pertimbangan kebijakan ini lebih mementingkan kondisi para pelaku usaha, bukan nasib buruh yang masih terkatung-katung dengan kesejahteraan hidup. Jangankan hidup sejahtera, hidup berkecukupan memenuhi kebutuhan dasar saja masih berada dalam angan-angan semata.
Akar Masalah Pemberian Upah
Problem buruh yang mengakar dan seolah tidak pernah kelar adalah soal upah. Sebab, sejak awal penetapan upah minimum sudah salah.
Dalam kapitalisme, upah buruh ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup minimum yang biasa disebut dengan kebutuhan hidup layak (KHL).
KHL adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam satu bulan. KHL inilah yang menjadi dasar penetapan upah minimum bagi buruh. KHL disesuaikan setiap tahun dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, yaitu berjalan sesuai tingkat inflasi nasional. KHL terdiri dari beberapa komponen kebutuhan hidup yang amat sederhana dan cukup untuk memenuhi standar hidup paling minimal dari masyarakat.
Dengan penetapan seperti ini, upah buruh tidak akan memberikan keadilan dan kesejahteraan hidup. Meski mendapat upah tinggi, itu hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Dalam pandangan kapitalisme, penetapan upah adalah berdasarkan perhitungan kebutuhan hidup paling minim bagi setiap individu. Penetapan upah tidak berdasarkan manfaat tenaga atau jasa yang ia berikan kepada masyarakat. Inilah problem mendasar pengupahan dalam sistem kapitalisme.
Kita Butuh Sistem Pengupahan yang Adil dan Menyejahterakan
Islam mengatur bahwa upah harus sepadan dengan manfaat yang pekerja berikan. Hal ini menjadikan posisi pekerja dan majikan setara. Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menjadikan para pekerja hanya sebatas faktor produksi sehingga mereka tidak setara. Jika tidak setara, inilah yang memicu ketakadilan.
Syariat Islam mengatur akad ijarah (upah) antara pekerja dan pengusaha. Penetapan besaran upah kerja, jenis pekerjaan, dan waktu kerja merupakan akad berdasarkan keridaan kedua belah pihak. Tidak boleh ada yang merasa terpaksa dan rugi. Islam menetapkan besaran upah buruh berdasarkan manfaat tenaga pekerja, bukan kebutuhan hidup paling minimum. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan.
Prinsip pengupahan dalam Islam tidak terlepas dari prinsip dasar kegiatan ekonomi (muamalah) secara umum, yakni asas keadilan dan kesejahteraan. Tenaga yang dicurahkan pekerja harus ditetapkan agar para pekerja tidak terbebani pekerjaan di luar kapasitasnya. Begitu pun dengan upahnya.
Nabi saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga) seorang pekerja, hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya.” (HR Ad-Daruquthni).
Perusahaan juga harus membayarkan upah tepat waktu, tidak boleh menundanya karena menunda-nunda pembayaran upah adalah bentuk kezaliman. Dari Abdullah bin Umar ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan ath-Thabrani).
Jika terjadi perselisihan antara pekerja dan majikan terkait upah, pakarlah (khubara’) yang menentukan upah sepadan. Pakar ini dipilih kedua belah pihak. Jika masih bersengketa, negaralah yang memilih pakar tersebut dan memaksa kedua belah pihak untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.
Islam tidak akan menilai standar kesejahteraan dengan perhitungan pendapatan per kapita yang tidak menggambarkan taraf hidup masyarakat secara nyata. Islam akan memastikan setiap individu sejahtera dengan pembagian distribusi kekayaan secara adil dan merata ke seluruh masyarakat.
Negara adalah institusi yang bertanggung jawab memastikan ijarah berjalan sesuai akad antara majikan dan pekerja. Mendapatkan upah yang adil dan layak adalah hak pekerja. Jika pekerja sudah mendapat upah, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pokoknya, jenis pekerja seperti ini terkategori fakir. Ia berhak mendapat zakat yang dikumpulkan dari para muzaki. Negara juga akan memfasilitasi para pekerja dengan keterampilan yang dibutuhkan dalam pekerjaannya, seperti pelatihan atau kursus agar setiap orang dapat bekerja sesuai kapasitasnya.
Inilah prinsip pengupahan dalam sistem Islam. Dengan penerapan syariat Islam kafah, kesejahteraan buruh dapat terwujud, tidak akan utopis, dan tidak akan ada lagi polemik tahunan mengenai upah yang selalu ada dalam sistem kapitalisme hari ini.