Oleh : Ummu Azka
Pemerhati Masalah Sosial
Tim Penggerak PKK Kabupaten Balangan Peringati Hari Ibu Ke-93. Rangkaian acara diisi seminar parenting, dengan tema “Perempuan Berdaya Indonesia Maju”, di Mahligai Mayang Maurai, Senin (20/12/2021). Ketua TP-PKK Kabupaten Balangan Sri Huriyati Hadi mengatakan Hari Ibu diperingati untuk mengingat jasa para ibu yang sudah merawat, mendidik serta membesarkan anak-anaknya. “Hari ini kita mengadakan hari ibu, tepatnya tanggal 20. Hari ini kita bersama-sama TP-PKK, mengadakan hari ibu untuk mengenang jasa ibu yang sudah merawat, melahirkan kita,” ucapnya.
Sri Huriyati Hadi menyampaikan pentingnya peran seorang ibu, dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam kehidupan di masyarakat. “Karena betapa seorang ibu itu luar biasa, dia bisa menjadi istri, dia bisa menjadi ibu dari anak-anaknya. Dia berkarir, dia juga bisa menjaga rumah tangganya, seperti itu,” terang Sri Huriyati. Terakhir, Ia berpesan agar peringatan Hari Ibu ini dapat memotivasi ibu-ibu khususnya di Kabupaten Balangan.
Begitulah setidaknya penghormatan kepada seorang ibu dalam sistem hari ini. Seolah-olah penghormatan kepada ibu hanya berlaku dalam sehari.
Tak lepas pula dari gaung kesetaraan gender, yakni seorang ibu dituntut tidak hanya berdaya di rumah saja tapi juga berdaya di ranah publik. Selain itu, mereka juga dituntut agar kedudukannya setara dengan kaum lelaki.
Padahal sejatinya tentu tidak bisa demikian. Mengapa? Karena akan ada kewajiban utama seorang Ibu yang akan terabaikan. Selain itu, fitrah seorang perempuan berbeda dengan kaum lelaki dan tidak bisa disamakan.
Bagi kaum feminis memperjuangkan kesetaraan gender adalah sebuah keharusan untuk mengangkat nasib manusia dari keterpurukan dan penindasan. Pendekatan yang mereka gunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan perempuan yang diklaim sebagai akibat ketidakadilan gender adalah dengan melibatkan perempuan secara aktif mengatasi persoalannya sendiri. Misalnya melalui keterlibatannya dalam program pengembangan masyarakat atau organisasi-organisasi kemasyarakatan, peningkatan pendidikan, maupun melalui upaya melibatkan diri dalam fungsi kekuasaan sektor publik.
Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah pemberdayaan (empowerment). Secara sederhana istilah tersebut mereka definisikan sebagai suatu proses yang bertujuan untuk mengubah arah dan sifat dari kekuatan-kekuatan sistemik yang memarjinalkan perempuan dan kelompok-kelompok lainnya. Kekuatan sistemik yang dimaksud adalah mencakup seluruh struktur kekuasaan di berbagai level negara, masyarakat maupun keluarga, serta di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, agama dan sebagainya. Dengan demikian, arah pemberdayaan perempuan pun mau tidak mau harus dilakukan dengan cara melibatkan kaum perempuan dalam berbagai aspek dan mencakup semua level tersebut.
Pemberdayaan perempuan telah diakui sebagai poin utama dalam Agenda Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Agenda) 2030 PBB dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) PBB. Unilever mengadvokasi dimasukkannya target khusus pemberdayaan perempuan, yakni pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan semua perempuan dan anak perempuan.
“Kami percaya bahwa pemberdayaan perempuan adalah salah satu faktor pendorong terbesar bagi kemajuan manusia dan pertumbuhan ekonomi dan bahwa menciptakan kesempatan bagi perempuan di seluruh rantai nilai kami sangat penting bagi pertumbuhan bisnis kami”. (www.unilever.com)
Salah Arah
Tidak bisa dipungkiri bahwa perempuan sekarang ini kondisinya diwarnai gambaran keterpurukan, ketertindasan dan keterbelakangan. Namun masalah tersebut sebenarnya bukanlah semata-mata masalah perempuan. Masalah tersebut harus dipandang sebagai masalah kemanusiaan (tidak hanya perempuan yang mengalami masalah tersebut, laki-laki juga mengalami banyak masalah), walaupun disepakati bahwa perempuan menempati persentase masalah yang lebih besar dengan adanya beban ganda saat menghadapi kemiskinan.
Hanya saja fokus kritik bukan pada ada dan tidak adanya masalah, tetapi lebih kepada bagaimana feminisme sebagai sebuah gerakan dan cara pandang menjelaskan masalah dan menawarkan solusi-solusi tertentu. Berikut adalah beberapa poin kritik terhadap feminisme yang menjadi motor gerakan pemberdayaan perempuan.
Kemunculan paham feminisme yang beragam di seluruh penjuru dunia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh ideologi yang diterapkan. Jika ingin menimbang sejauh mana relevansi ide feminisme dalam menyelesaikan permasalahan hidup manusia, maka harus melakukan tinjauan kritis terhadap konteks ideologi yang menjadi arah dan orientasi gerakan feminisme. Ada beberapa hal mendasar yang harus dicermati dalam konteks ideologi yang diterapkan.
Pertama, feminisme lahir dalam konteks sosio historis khas di Barat, terutama pada abad 19 sampai 20. Ketika wanita tertindas oleh sistem masyarakat liberal kapitalistik yang cenderung eksploitatif, maka mentransfer ide ini ke tengah lingkungan perempuan tanpa memperhatikan sosio historisnya jelas merupakan generalisasi sosiologis yang terlalu dipaksakan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kedua, feminisme bersifat sekularistik mengingat ide ini berasal dari masyarakat Kapitalis-Barat. Ide yang didominasi oleh pandangan yang tidak memasukkan wewenang Tuhan (Pencipta) dalam pengaturan hidup manusia. Sekulerisme mengusung filsafat politik yang bernama liberalisme yakni sebuah paham kebebasan yang memberikan payung agar manusia bisa mengekspresikan apapun sebebas-bebasnya sesuai kehendaknya sendiri.
Sekulerisme meniscayakan peran manusia untuk membuat hukum-hukum kehidupan sebagai pengganti peran Tuhan yang dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Hukum yang dibuat oleh manusia adalah cerminan kemampuan akalnya dalam menangani masalah. Keterbatasan akal manusia untuk memahami masalah sebenarnya dan untuk mengetahui apakah masalah tersebut dapat dianggap sebagai representasi masalah secara umum, mengakibatkan hukum-hukum yang dibuat dunia Barat justru tidak pernah mampu menghadirkan solusi tuntas.
Ketiga, cacat pandang individualis dan emosional, kaidah-kaidah berpikir yang sekularis, liberalis yang menghasilkan perspektif berkarakter individualistis dan parsial ini terkait dengan pandangan yang menganggap bahwa masyarakat adalah kumpulan individu yang merdeka dengan laki-laki di satu sisi dan perempuan di sisi lain, feminisme memandang perempuan sebagai individu yang keberadaannya terlepas dari humanisasi kehidupan manusia. Para feminis dengan cara pandang individualis dan emosional telah menempatkan persoalan perempuan seolah terpisah dari persoalan masyarakat secara keseluruhan, akibatnya pemecahan yang disodorkan hanya dilihat dari satu perspektif saja yakni perspektif perempuan.
Padahal realitasnya masyarakat tidak hanya terdiri dari individu-individu yang tidak memiliki pemikiran dan perasaan. Masyarakat adalah individu-individu yang dinamis yang setiap saat memproduksi pemikiran dan perasaan dengan peran hukum legal formal dan non formal membentuk pola relasi diantara mereka, sehingga permasalahan yang muncul ketika mereka berinteraksi harus dipandang sebagai bagian dari masalah masyarakat yang harus diselesaikan dengan sudut pandang holistik dan sistemik bukan parsial, paradigma seperti ini mengarahkan kita untuk memecahkan masalah ketertindasan perempuan di seluruh belahan bumi sebagai akibat dari penerapan sistem yang ada. Pandangan yang sekuleris dan individualis menyebabkan feminisme sulit dan gagal memahami spesifikasi peran manusia yang telah ditentukan Sang Khaliq baik untuk laki-laki maupun perempuan sesuai dengan potensi dan kelebihannya masing-masing.
Keempat, materi sebagai ukuran kebahagiaan dan filsafat politik liberalisme yang kemudian melahirkan kapitalisme yang menitikberatkan masalah kehidupan pada produksi (menghasilkan materi). Kapitalisme telah mengembangkan kehidupan yang materialistis sehingga menjadikan materi sebagai tolak ukur segala sesuatu dan sebagai standar dalam menilai semua persoalan. Orang yang hidup dalam sistem yang dilandasi sekulerisme dipaksa untuk mengenal satu jenis ukuran kebahagiaan yaitu terpenuhinya secara optimal kebutuhan materi atau fisik.
Para feminis menggarisbawahi keadilan sebagai keegaliteran, kesetaraan peran domestik dan publik. Mereka memperhitungkan keadilan dengan timbangan materi. Keadilan yang harus sama dalam memperlakukan berbagai hal (hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan), keadilan yang bias oleh pola pikir kebendaan.
Kegagalan memaknai keadilan ini akhirnya akan cenderung membawa perempuan pada sifat hipokrit (sikap tidak adil dalam ukuran yang mereka buat sendiri) manakala mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa laki-laki dan perempuan adalah jenis yang berbeda. Para perempuan ingin diperlakukan sama seperti laki-laki tapi dalam beberapa hal sering memakai dalih/alasan keperempuanannya untuk memperoleh kemudahan. Perjuangan mendapatkan keadilan pun berujung pada ketidakadilan. Mereka lupa atau tidak tau bahwa keadilan sejati harusnya mengacu pada standar yang dibuat Zat Yang Maha Tahu tentang karakter dua gender ini.
Mereka tidak mempertimbangkan bahwa makna keadilan sejati telah didefinisikan oleh al-Khaliq, Pencipta laki-laki dan perempuan, yang telah tercatat dalam kaidah syara bukan pada hitungan materi atau pertimbangan akal manusia. Jika masing-masing pihak bebas memilih perannya sendiri karena asas kebebasan individu tentu paradigma material is memakan menuntun masing-masing pihak untuk memilih dan memprioritaskan peran produktif yang menghasilkan materi atau uang yakni peran publik. Sementara peran domestik yang tidak dianggap produktif akan menjadi bagian yang terlempar. Di sinilah sebenarnya feminis merupakan pihak yang bertanggung jawab atas guncangnya struktur keluarga padahal kita tahu bahwa lembaga keluarga adalah tonggak dan asas yang pokok bagi sebuah masyarakat kegoncangan keluarga ini tentu akan menyebabkan eksistensi dan kualifikasi kehidupan manusia akan terancam.