Oleh : Gita Pebrina Ramadhana, S.Pd, M.Pd
Dosen STAI Darul Ulum Kandangan, HSS Pemerhati Masalah Pendidikan dan Remaja
DPR sudah mengesahkan UU Ibu Kota Negara (IKN). Proyek ini sudah bergulir sejak Presiden Jokowi menjabat pemerintahan periode kedua ini memang banyak mendapat sorotan dari berbagai pihak, terutama dalam hal pembiayaan.
Pembangunan infrastruktur IKN yang ditaksir mencapai Rp466 triliun, terprediksi akan membengkak tiga kali lipat. Politis PKB Luqman Hakim menyebut ongkos proyek pemindahan akan membengkak drastis dan menduga proyek ini akan memakan biaya hingga Rp700 triliun.
Jokowi menyampaikan bahwa IKN akan dijadikan ajang pamer transformasi besar Indonesia di bidang ekonomi hingga sosial, pembangunan IKN memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Jokowi menekankan, program pembangunan IKN bukan sekedar pindah gedung pemerintahan.
Menurutnya, pindah ibu kota adalah pindah cara kerja, pindah mindset dengan berbasis pada ekonomi modern dan membangun kehidupan sosial yang lebih adil dan inklusif. Sebagaimana diketahui, saat ini pemerintah menetapkan luas lahan IKN sebesar 256,1 ribu hektare. Luasan itu lebih besar dari rencana sebelumnya sebesar 200 ribu hektare. (https://nasional.kompas.com/read/2022/01/31/06245491/menengok-konsep-new-smart-city-ikn-nusantara-yang-diperkenalkan-jokowi?page=all)
Kepentingnan Siapa?
Namun semuanya berbalik dengan masyarakat. Sejumlah purnawirawan jenderal TNI, politikus, hingga aktivis akan menggugat UU Ibu Kota Negara (IKN) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai proses penyusunan dan pembentukan UU IKN tidak berkesinambungan. (https://news.detik.com/berita/d-5925036/purnawirawan-jenderal-tni-dkk-beberkan-5-alasan-gugat-uu-ikn-ke-mk.)
Menurut Koordinator Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) Marwan Batubara dkk ada lima alasan untuk menggugat UU IKN ke MK. Pertama, bahwa Menkeu itu bicara mengubah-ubah mata anggaran di APBN. Kedua, UU IKN merupakan konspirasi jahat yang dilakukan pemerintah dengan DPR.
Ketiga, mereka menilai jika pemerintah dan DPR tidak memperhatikan masalah efektifitas, terutama masalah sosiologi masyarakat yaitu dalam penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia. Keempat, tidak benar-benar butuh yang namanya undang-undang ini dan tidak mendesak. Kelima, dalam pembuatan UU IKN, dalam pembahasannya masyarakat tidak terlalu banyak dilibatkan dan hanya memakan waktu 42 hari.
Memang benar, pemindahan IKN begitu ngebut dan tergesa-gesa. Pemerintah seakan membuang muka dan menutup telinga dari kritik dan masukan masyarakat. Disinyalir akan mengabaikan hak rakyat bila menganggarkan skema pembiayaannya dari APBN.
Benarkah pindah Ibu Kota Negara memberi kesejahteraan pada rakyat? Bukankah masih banyak PR pemerintah untuk menuntaskan pemulihkan perekonomian nasional? Sebenarnya proyek ini demi kepentingan siapa?
Seharusnya ini menjadi pembicaraan yang serius dan mesti ditanggapi oleh pemerintah. Karena begitu banyak bahaya dan kekecewaan yang dialami oleh rakyat. Apa saja bahayanya?
Pertama, merampas hak publik. Semestinya rakyat mendapatkan penanganan dan layanan optimal, semisal akses kesehatan, bantuan sosial, dan pemulihan ekonomi rakyat (PEN). Namun kenyataannya karena menggunakan APBN untuk pembangunan IKN, maka berpotensi mengorbankan program masyarakat akibat keterbatasan dana.
Kedua, mengkhianati amanat rakyat. Dulu, pemerintah mengatakan tidak akan menggunakan APBN untuk membiayai proyek IKN. Namun, faktanya, pemerintah justru mengalihkan anggaran PEN untuk membiayai pembangunan infrastruktur IKN.
Ketiga, lahirnya kepemimpinan otoriter. Bukankah penguasa yang tidak mau tahu pendapat dan kehendak rakyat layak disebut otoriter? Apa maunya rakyat tidak dengar, sedangkan jika penguasa ada maunya, ia minta didengar.
Inilah sistem liberal kapitalis. Dia hanya akan memberikan ‘karpet merah’ pada investor asing dan aseng. Para kapitalis tidak akan memberikan makan gratis. Mereka tidak mungkin berinvestasi tanpa ada keuntungan. Yang mereka inginkan ialah terus menguasai kekayaan alam Indonesia.
Islam Memandang Pemindahan Ibu Kota Negara
Kepemimpinan yang terkendali oleh ideologi kapitalisme tidak akan pernah mengenal kepentingan rakyat. Kalaupun ada, itu hanyalah narasi kosong di atas kertas, realisasinyapun nihil. Faktanya, rezim hanya bekerja untuk memuaskan kepentingan para oligarki kekuasaan. Fungsi negara menjadi mandul. Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator dalam mengakomodasi kepentingan segelintir elite kekuasaan.
Dalam kapitalisme, kekuasaan sangat rentan disalahgunakan. Merasa berkuasa dan punya kesempatan berharga membuat UU yang menguntungkan kapitalis. Contohnya UU Cipta Kerja, UU Harmonisasi Pajak, UU Minerba, dan sejumlah UU lainnya yang sangat kapitalistik, termasuk UU IKN. Apa yang bisa kita harapkan dari model kepemimpinan seperti ini?
Padahal, para penguasa dan wakil rakyat itu terpilih langsung oleh rakyat, tetapi nyatanya tidak bekerja untuk kepentingan rakyat. Semua ini akibat penerapan sistem kapitalisme liberal. Penguasa dan pengusaha mengambil untung untuk melegitimasi kepentingan mereka atas nama rakyat.
Islam memandang bahwa negara dan pemerintah adalah pelayan umat (publik). Negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat beserta berbagai kebutuhan lain yang diperlukan untuk hidup layak. Negara menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk hajat hidup rakyat, bukan malah menyusahkan rakyatnya.
Dalam Islam, prioritas pembangunan akan mengutamakan hal-hal berikut : 1. Pembangunan berorientasi pada visi pelayanan umat. Negara akan berfokus pada pembangunan yang lebih urgen memenuhi kebutuhan serta mempermudah rakyat dalam menikmatinya; 2. Pembiayaan pembangunan tidak boleh dengan skema investasi asing atau utang luar negeri; 3. Untuk memindahkan ibu kota baru tentu memerlukan perencanaan yang matang. Pemindahan ibu kota mestinya dilakukan secara optimal dari aspek kota baru yang dibangun, kota yang ditinggalkan, dan selama masa transisi tersebut, pelayanan rakyat tidak boleh terganggu.
Di masa peradaban Islam, setidaknya ibu kota negara Khilafah mengalami perpindahan sebanyak empat kali. Yang pertama dari Madinah ke Damaskus. Kedua, dari Damaskus ke Baghdad. Ketiga, pasca hancurnya Baghdad akibat serangan tentara Mongol, ibu kota Khilafah berpindah ke Kairo. Terakhir, dari Kairo ke Istanbul. Semua perpindahan tersebut memiliki alasan politik.
Begitulah prinsip pemindahan dan pembangunan kota di sistem Khilafah. Segala aspek akan dipertimbangkan demi mencapai kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Bukan sekadar mengejar ambisi dan prestise di mata dunia.