Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Uang Bisa Membeli Kebahagiaan

×

Uang Bisa Membeli Kebahagiaan

Sebarkan artikel ini

Oleh : Zaky Musyarof, S.Stat.
Statistisi di BPS Provinsi Kalimantan Selatan

Money can’t buy happiness, sebuah ungkapan yang barangkali cukup sering kita dengar. Terlebih jika kita sedang gemar menikmati konten-konten berwarna motivasi. Banyak sekali motivator, baik melalui kata-kata maupun tulisan-tulisannya, mendorong orang lain untuk berpikir bahwa uang tidaklah penting dan uang bukan segalanya. Mereka selalu menyugesti para pelanggannya agar memiliki kesepahaman bahwa kebahagiaan tidak bergantung dari uang yang dimiliki. Namun sayangnya, motivasi ini nyatanya bertentangan dengan kenyataan. Dan kenyataan ini didukung oleh hasil penelitian ilmiah.

Baca Koran

Hasil Penelitian di 13 Negara

Pada tahun 2013, sekelompok peneliti dari University of Michigan menerbitkan hasil penelitian yang melihat keterkaitan antara kepuasan hidup (life satisfaction) dengan pendapatan (income). Survei dilakukan pada penduduk di 13 negara, di antaranya adalah Amerika Serikat, Inggris Raya, Jerman, Jepang, India, Brazil, hingga Nigeria. Beberapa negara menunjukkan tren yang sama, seperti Amerika Serikat dengan Inggris Raya menunjukkan korelasi kuat antara kepuasan hidup dan pendapatan. Ada pula negara yang korelasinya tidak sekuat lainnya, seperti Brazil dan Nigeria. Namun, seluruhnya memiliki pola yang cenderung sama, yakni kepuasan hidup meningkat seiring meningkatnya pendapatan.

Pola ini terjadi hingga pada suatu titik tertentu peningkatan kepuasan hidup akan melambat. Untuk Amerika Serikat, kepuasan hidup meningkat signifikan pada peningkatan rentang pendapatan 0-20 ribu dolar AS. Peningkatan melambat pada rentang pendapatan 20-60 ribu dolar AS. Hingga kemudian tidak lagi signifikan pada rentang pendapatan 60 ribu dolar AS ke atas. Melihat hal ini, ada indikasi bahwa peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat dengan kuantil pendapatan bawah akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kepuasan hidup.

Kondisi Kebahagiaan Indonesia

Belum lama ini, Badan Pusat Statistik merilis Indeks Kebahagiaan Tahun 2021. Indeks ini dihitung berdasarkan hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan di tahun yang sama. Indeks ini tersusun atas 3 indeks dimensi, yakni Indeks Dimensi Kepuasan Hidup, Indeks Dimensi Perasaan, dan Indeks Dimensi Makna Hidup. Secara nasional, Indeks Kebahagiaan Indonesia pada tahun 2021 tercatat sebesar 71,49. Angka ini naik 0,80 poin dari tahun 2017 yang mana tercatat sebesar 70,69. Lebih dalam, Indonesia mencatatkan Indeks Dimensi Kepuasan Hidup sebesar 75,16, Indeks Dimensi Perasaan sebesar 65,61, dan Indeks Dimensi Makna Hidup sebesar 73,12.

Baca Juga :  Memaknai Isra Miraj Dalam Keperpustakaan Islam(Momentum Isra Mi’raj 1446 H)

Jika dibandingkan antar provinsi, Maluku Utara mencatatkan Indeks Kebahagiaan tertinggi di tahun 2021, mencapai 76,34. Kemudian diikuti oleh Kalimantan Utara dan Maluku di tempat kedua dan ketiga. Sementara yang terendah dicatatkan oleh Banten, yakni sebesar 68,08. Kalimantan Selatan sendiri berada di posisi ke-18 dengan Indeks Kebahagiaan tercatat sebesar 73,48. Capaian ini lebih tinggi dari provinsi tetangga, yakni Kalimantan Tengah (73,13), namun masih lebih rendah dari Kalimantan Timur (73,49).

Dihubungkan dengan kondisi keuangan masyarakat, saya mencoba mengaitkan Indeks Kebahagiaan dengan indikator pengeluaran per kapita disesuaikan tahun dan persentase penduduk miskin (P0). Pengeluaran per kapita disesuaikan merupakan indikator pengeluaran per kapita yang telah disamakan kursnya. Dengan penyeragamaan kurs, pengeluaran dapat dibandingkan antar provinsi. Sementara untuk P0, indikator ini dihitung berdasarkan pengeluaran per kapita penduduk. Keduanya sangat menggambarkan kondisi perekonomian dan kesejahteraan penduduk.

Secara bersama, indikator pengeluaran per kapita disesuaikan dan P0 memiliki tingkat pengaruh (korelasi linier) sebesar 0,38 terhadap Indeks Kebahagiaan. Berarti, Indeks Kemiskinan 34 provinsi di Indonesia, 38 persennya dipengaruhi oleh pengeluaran dan P0. Nilai korelasi linier sebesar 0,38 ini merupakan angka yang moderat atau sedang. Bukan variabel independen utama, namun tetap memiliki pengaruh yang cukup besar karena lebih dari sepertiga Indeks Kebahagiaan dipengaruhi oleh pengeluaran dan P0.

Dengan analisis kelompok (cluster), pola yang terjadi pada penelitian di 13 negara sebelumnya juga serupa terjadi di Indonesia. Terbagi ke dalam 3 kelompok, Kelompok 1 didominasi provinsi dengan pengeluaran yang lebih rendah dan P0 yang lebih tinggi. Provinsi di Kelompok 1 yang memiliki pendapatan lebih tinggi cenderung memiliki Indeks Kebahagiaan yang juga lebih tinggi. Berarti, terjadi peningkatan kebahagiaan seiring pendapatan meningkat.

Baca Juga :  SIAPAKAH SAYA?

Pada Kelompok 3, provinsi-provinsi dengan pendapatan dan P0 yang lebih rendah cenderung memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi. Sementara provinsi-provinsi dengan pendapatan yang lebih tinggi dibanding provinsi sebelumnya cenderung memiliki Indeks Kebahagiaan yang lebih rencah. Pola ini sejalan dengan hasil penelitian di 13 negara sebelumnya, kebahagiaan meningkat seiring meningkatnya pendapatan namun peningkatan kebahagiaan akan melandai setelah mencapai titik tertentu.

Uang Membeli Kebahagiaan

Pada kehidupan sehari-hari, kemampuan membeli barang atau jasa berhubungan dengan tingkat stres. Contoh pertama, ketika anak secara tidak sengaja merusak barang di rumah, seperti televisi atau telepon genggam. Ketika kondisi ekonomi sedang baik, yang berarti mampu untuk membeli barang penggantinya di saat itu juga, kita bisa lebih “santai” menghadapinya. Sementara jika tidak, yang berarti kita sedang kesulitan jika harus membeli barang penggantinya, tentu kita akan menjadi lebih kepikiran. Sebagian anak mungkin akan dimarahi.

Contoh selanjutnya, terkait dengan pelayanan kesehatan. Ketika kita sedang memiliki penghasilan yang tinggi, kesehatan keluarga bisa menjadi prioritas. Kita akan lebih “santai” jika harus melakukan pengobatan ke rumah sakit yang lebih besar atau dokter spesialis yang lebih mahal. Berbeda jika kita sedang kesulitan secara ekonomi. Sekadar hendak periksa ke dokter umum saja rasanya sudah sangat berat. Apalagi jika harus dilakukan tindakan di rumah sakit, atau harus menemui dokter spesialis. Pada kondisi ini, kita cenderung akan memiliki kekhawatiran lebih besar dibandingkan pada kondisi sebelumnya.

Melihat realita ini, barangkali kita tidak perlu terlalu menikmati kata-kata dan omongan para motivator yang mendorong kita untuk menomor sekiankan uang. Memang benar uang tidak berada di posisi pertama, karena peningkatan kebahagiaan tidak akan signifikan lagi setelah mencapai titik tertentu, namun tetap memiliki peran penting dalam kehidupan. Ekonomi yang lebih baik cenderung memberikan ketenangan yang lebih besar. Realita ini seharusnya mejadi alasan tambahan bagi pemerintah untuk terus bekerja keras berupaya meningkatkan kondisi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Yes, money can buy happiness.

Iklan
Iklan