Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Potensi Maladministrasi dalam Pengadaan Barang dan Jasa

×

Potensi Maladministrasi dalam Pengadaan Barang dan Jasa

Sebarkan artikel ini

Oleh : Benny Sanjaya, SH, MH
Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan
Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan

Seperti melihat sebuah pintu dari luar, terdengar ada kegaduhan di dalam ruangannya, ingin masuk namun terkunci rapat. Ada yang berani “menguping” meski samar-samar, namun dapat dimengerti apa sebab kegaduhan di dalam ruangan, hanya saja tidak berani masuk membuka pintu ruangan itu. Sama halnya bila melihat persoalan penyimpangan pengadaan barang dan jasa, lumrah didengar bila marak terjadi potensi penyimpangan terutama oleh oknum pemegang kuasa, beberapa orang bahkan mengetahui ada permasalahan di dalam tahapan proyek, namun tidak berani buka suara terkait penyimpangan yang terjadi.

Baca Koran

Berbicara peranan Ombudsman RI dalam tupoksi pengawasannya, kunci dalam membuka pintu penyimpangan barang dan jasa tersebut, setidaknya adalah data dukung sementara, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 13 Ayat (3) huruf i Peraturan Ombudsman RI Nomor 48 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Ombudsman Nomor 26 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Laporan.

Tidak memungkinkan tidaklanjut laporan berdasarkan asumsi tanpa data dukung sementara, apalagi menyangkut penyimpangan pengadaan barang dan jasa, yang perlu dianalisis mendalam, salah satunya saja seperti titik potensi penyimpangan dari pagu alokasi anggarannya dengan realisasi pelaksanaan pengadaan barang di lapangan, hal tersebut sangat diperlukan data dukung sementara, sebagai dasar pembanding.

Menurut penulis, setidaknya terdapat beberapa potensi Maladministrasi di dalam substansi pengadaan barang dan jasa. Pertama, terdapat potensi Maladministrasi penyimpangan prosedur, bilamana ketentuan pengadaan barang dan jasa dilaksanakan melalui mekanisme penunjukan langsung dari pemegang kuasa anggaran, bukan melalui mekanisme lelang sesuai ketentuan yang mengatur, termasuk pengurangan kualitas dan kuantitas barang dalam realisasi pengadaan, dibandingkan dengan yang dipersyaratkan dalam alokasi anggaran pengadaannya.

Kedua, adanya potensi Maladministrasi penyalahgunaan wewenang oleh pemegang kuasa anggaran. Hal ini berkaitan erat dengan potensi penyimpangan prosedur dalam menentukan mekanisme penunjukan langsung, yang intrik kolusi antara pemegang kuasa anggaran sebagai penyedia pengadaan, dengan pengelola pengadaan barang dan jasa. Memanfaatkan kuasa jabatannya untuk menguntungkan dirinya sendiri, atau pihak tertentu.

Baca Juga :  Sebuah Seni dari Limbah Plastik untuk Jaga Bumi

Potensi Maladministrasi yang terakhir, adalah permintaan uang, barang dan jasa, dalam bentuk gratifikasi dan penyuapan, oleh calon pengelola pengadaan barang dan jasa, kepada pemegang kuasa anggaran atau decicion maker.

Bermula dari ketiga potensi Maladministrasi di atas, meskipun hanya satu saja yang dilanggar, maka dapat menjadi kunci pintu masuk menuju ruang tindak pidana korupsi. Atas dasar itulah, peranan Ombudsman Republik Indonesia sangatlah penting, untuk menutup celah awal terjadinya praktik-praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), melalui tindaklanjut dan pengawasan terhadap potensi-potensi Maladministrasi tadi sedari awal.

Tidak transparannya proses di dalam pengadaan barang dan jasa, menjadi praktik KKN tumbuh subur. Tertutupnya kontrak antara pemegang kuasa anggaran dan penyedia jasa pengadaan barang dan jasa, dengan banyaknya mekanisme prosedur yang dilalui dalam tahapan lelang, sehingga sekalipun tercium indikasi praktik KKN, namun untuk membuktikannya akan sangat sulit, karena sistem administrasi dari penyedia dan pengelola pekerjaan pun turut sangat rapi.

Bila menelaah peraturan terkait pengadaan barang dan jasa, di dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dimana peraturan pengelolaan barang dan jasa telah beberapa kali diubah sebanyak 6 kali sejak 2010. Ada sisi yang menarik menurut Penulis. Perpres terakhir di 2021, melonggarkan pemeriksaan hasil pekerjaan pengadaan barang dan jasa, dengan menghapuskan ketentuan adanya Pejabat Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PjPHP) dan Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PPHP), yang bertugas memeriksa administrasi hasil pekerjaan pengadaan barang dan jasa, dimana sebelumnya ketentuan tersebut tercantum pada Perpres sebelumnya.

Alhasil, menurut penulis proses pemeriksaan terhadap dugaan administrasi yang menyimpang dalam pengadaan barang dan jasa, yang sengaja sudah disusun rapi oleh oknum pelaku, akan semakin lolos leluasa tanpa ada pemeriksaan lebih lanjut oleh pihak berkompeten.

Baca Juga :  Kader Peduli Pendidikan Dari Akar Rumput Sinergi Orang Tua Dan Sekolah Dalam Semangat Tri Dharma Uniska

Meskipun hak masyarakat untuk dapat menyampaikan pengaduan, dalam setiap tahapan perencanaan hingga serah terima pekerjaan, masih diakomodir sebagaimana tercantum di dalam inti Pasal 77 Perpres tersebut, yang kemudian disampaikan kepada Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Namun, melonggarkan pemeriksaan administrasi hasil pekerjaan barang dan jasa, justru mengurangi tahap evaluasi internal, yang memperlebar celah penyimpangan.

Adanya penyimpangan dalam pengelolaan barang dan jasa, berdampak tidak hanya merugikan bagi keuangan negara, karena anggaran dan realisasi menjadi tidak sesuai, susut nilai kuantitas dan kualitasnya, akibat alokasi anggaran yang telah ditetapkan sejak tahap perencanaan dan persiapan, terpaksa tersisihkan oleh penyedia atau pengelola pengadaan, untuk persekot “si pemain” anggaran proyek. Revitalisasi maupun pembangunan fasilitas publik yang mudah rusak dalam hitungan singkat saat difungsikan, karena kualitas materialnya rendah, sehingga turut merugikan bagi publik sebagai pengguna.

Di perlukan transparansi dalam proses pengadaan barang dan jasa. Proses yang transparan akan memberikan kesempatan bagi masyarakat, untuk turut mengawasi pelaksanaan dalam pengadaan barang dan jasa. Karena pengadaan barang dan jasa kepada publik, merupakan wujud penyelenggaraan pelayanan publik yang diberikan negara, dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan warga negara terhadap barang dan jasa, sebagaimana inti Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Proses yang transparan dan partisipatif kepada publik, juga bermanfaat agar pengadaan barang dan jasa menjadi tepat guna, karena menjawab kebutuhan dan kepentingan umum, serta lebih akuntabel, sebagaimana tujuan dari asas-asas pelaksanaan pelayanan publik, di dalam Pasal 344 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Harapan penulis, memahamkan bahwa Maladministrasi dalam pengadaan barang dan jasa, merupakan cikal bakal terjadinya praktik KKN, sangat diperlukan. Kekhawatiran publik terhadap intimidasi dan identitas yang terancam apabila melapor, dapat diakomodir dalam mekanisme kerahasiaan identitas Pelapor, yang sudah diakomodir dalam Pasal 3 huruf h dan Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.

Iklan
Iklan