Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Implementasi Perjuangan RA Kartini pada Era Modern

×

Implementasi Perjuangan RA Kartini pada Era Modern

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ima E Ananda
ASN BPS Kota Banjarmasin

Waktu berlalu tanpa terasa sudah memasuki bulan keempat di 2022 ini. Diantara kedua belas bulan, ada beberapa bulan yang istimewa karena didalamnya terdapat hari bersejarah. Selain Agustus, April merupakan salah satu bulan yang istimewa itu. Ini tentu saja karena April ini identik dengan salah satu peringatan Hari Kartini pada 21 April. Di kalangan dunia pendidikan, perbankan, instansi swasta dan negeri pun turut serta dalam memperingati hari tersebut. Di dunia pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi acapkali memperingatinya dengan mengadakan karnaval di sekolah masing-masing, lomba yang berhubungan dengan dunia perempuan, serta masih banyak lagi. Di dunia perbankan dan instansi pemerintah dan swastapun tak ketinggalan turut berpartisipasi memperingati hari yang bersejarah ini misalnya, dengan mewajibkan pegawai perempuan untuk memakai kebaya tradisional, bahkan untuk upacara formal pun, petugasnya hanya perempuan.

Baca Koran

Peringatan Hari Kartini ini bukanlah semata-mata hanya peringatan secara seremonial saja, akan tetapi dibalik peringatan ini adalah bentuk apresiasi perempuan di Indonesia kepada seorang perempuan asal Jepara, Jawa Tengah. Beliau adalah Raden Adjeng Kartini Adhiningrat yang lahir pada 21 April 1879 lalu. Ayahnya bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang bangsawan yang juga menjabat sebagai Bupati Jepara pada saat itu. Nama ibunya adalah MA Ngasirah, seorang masyarakat biasa anak dari seorang Kiai atau ustadz Jepara Telukawur. Garis keturunan keluarga Kartini dari garis keturunan ayahnya adalah keturunan Sri Lanka Sultan Hamin Kubuwono VI. (Kemdikbud.go.id).

Sebagai seorang bangsawan RA Kartini sekolah di Europese Lagere School (ELS) yang mengharuskan semua pelajar disana menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Kartini hanya bersekolah hingga usia 12 tahun saja, karena pada masa itu anak perempuan yang menjelang akhir baligh harus tinggal di rumah untuk “dipingit”. Selama dipingit, RA Kartini mengisi waktu dengan belajar sendiri dengan banyak membaca buku-buku, majalah dan surat kabar Eropa yang ternyata mencetuskan pikirannya tentang kemajuan berpikir perempuan Eropa. RA Kartini juga aktif dalam menulis surat kepada salah satu temannya yaitu Rosa Abendanon. Dari sinilah RA Kartini mulai membandingkan kedudukan perempuan pribumi yang saat itu berada pada status yang amat rendah. Para perempuan pribumi saat itu tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan tinggi. Kegiatan mereka hanya di dapur untuk mengurus rumah tangga saja. RA Kartini berpendapat bahwa perempuan pribumi layak untuk mendapatkan kebebasan dan kesempatan berkarya dalam setiap aspek kehidupan di negaranya sendiri khususnya kesempatan dalam mengenyam pendidikan.

Baca Juga :  Mengendalikan Sampah Melalui Gerakan Desa Peduli Sampah

Pada 12 November 1903, RA Kartini menikah dengan Bupati Rembang KR Meter, Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang mendukungnya untuk mendirikan sekolah khusus perempuan di lingkungan kantor Kabupaten Rembang. Di sekolah ini, RA Kartini memberi kesempatan kepada perempuan pribumi dari masyarakat biasa untuk mendapatkan kesempatan bersekolah. Pada mulanya sekolah ini mengajarkan keterampilan menjahit, menyulam dan memasak. Untuk kemudian pendidikan yang diajarkan disana berkembang menjadi pendidikan bahasa Belanda dan Jawa, seni, aritmatika, geografi, sejarah dan berbagai ilmu praktis untuk kehidupan sehari-hari. Sayangnya, semangat RA Kartini harus terhenti, pada 17 September 1904 beliau menghembuskan nafas terakhir pada saat berumur 25 tahun. Keinginan RA Kartini untuk mengembangkan gerakan emansipasi wanita agar mendapatkan kedudukan sejajar dengan kaum laki-laki, tertuang melalui tulisan surat-suratnya yang dikirimkan kepada sahabatnya Rosa Abendanon.

Setelah RA Kartini wafat, Rosa Abendanon yang saat itu sudah menjabat Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajaan Hindian Belanda, mengumpulkan surat-surat tersebut menjadi sebuah buku dengan Judul Door Duisternis tot Licht artinya Dari Kegelapan menuju Cahaya. Kemudian penerbit Balai Pustaka berinisiasi untuk menerbitkan buku tersebut ke dalam bahasa Melayu dengan judul “Habis Gelap terbitlah Terang”. Melalui buku tersebut, RA Kartini berusaha untuk menginspirasi perempuan pribumi dalam membangkitkan semangat dan kekuatan para perempuan Indonesia agar bisa mendapatkan haknya serta menggapai cita-cita setinggi mungkin. Perempuan berhak mengungkapkan ekspresinya, mewujudkan ide-ide kreatifnya, menyalurkan bakat, membuat gerakan, menyuarakan gagasannya dan hal-hal positif lainnya agar bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya juga dunia.

Pada era modern sekarang ini, bentuk dari Perjuangan RA Kartini sudah terwujud pada transformasi perempuan yang mampu berperan seimbang dengan laki-laki. Emansipasi sudah berjalan sesuai dengan yang diperjuangkan oleh RA Kartini. Saat ini kedudukan perempuan Indonesia tak lagi dipandang sebelah mata. Bahkan dalam sektor pemerintahan, kiprah perempuan berkibar dengan banyaknya jabatan dan kedudukan penting di jajaran Kementerian RI. Kemampuan para perempuan Indonesia dalam berbagai bidang pekerjaanpun sangat diperhitungkan. Pada tahun 2020, data dari Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa dari 270,20 juta penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja, persentase jumlah perempuan bekerja sebanyak 34,65 persen, kemudian 2021 ini naik menjadi 36,2 persen. Kesadaran perempuan untuk menempuh pendidikan tinggi, dapat dilihat dari persentase perempuan perkotaan yaitu 13,51 persen, lebih tinggi dari 0,95 persen dari persentase laki-laki yaitu 12,56 persen (Sumber: Susenas 2021/Badan Pusat Statistik).


Kecenderungan kenaikan persentase ini karena perempuan modern sekarang lebih mengutamakan pemberdayaan diri melalui pendidikan, agar mempunyai daya pikir yang cerdas dan logis untuk menghadapi peradaban dunia khususnya di negara sendiri Indonesia. Peradaban bisa dipahami sebagai pola-pola yang maju dan tinggi dalam cara-cara kehidupan umat manusia, yang meliputi dua aspek, yaitu aspek budaya yang merupakan jiwa dan aspek pemikiran dan batin (Prof Dr H Mudjia Rahardjo, MSi). Karena dalam memajukan suatu peradaban, potensi semua gender baik laki-laki maupun perempuan harus terdidik, terkembangkan bakat, serta potensinya.

Baca Juga :  Profesor Uras Tantulo dan Budidaya Ikan Gabus

Berkarir di dunia kerja saat ini menjadi dambaan para perempuan Indonesia. Selain untuk mengimplementasikan pendidikan yang diperoleh ke dalam dunia kerjanya, mendapatkan penghasilan adalah suatu faktor penting yang sangat diperhitungkan. Namun dibalik semangat emansipasi tersebut, perempuan Indonesia hendaknya tidak melupakan perannya sebagai seorang istri yang mendampingi laki-laki sebagai suaminya dan juga sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya. Dalam perspektif Islam, menjadi perempuan karir tidak dilarang akan tetapi tidak boleh melalaikan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu untuk mengurus rumah tangga serta mendidik anak-anaknya. Proporsi waktu bekerja dan waktu untuk keluarga hendaknya diberikan secara seimbang. Ini dikarenakan tugas perempuan yang bekerja merupakan pekerjaan yang berat karena diharuskan untuk berperan ganda dengan memperhatikan kodratnya sebagai perempuan yang harus memenuhi dua tuntutan penting pada saat yang sama. Mereka dituntut untuk berperan baik sebagai ibu rumah tangga yang bertanggung jawab akan keluarganya, menjalin komunikasi yang baik dengan keluarga, bisa memprioritaskan keluarga dari segala hal tapi tetap bisa mempertahankan kredibilitas dan profesionalitas dari pekerjaannya.

Hari Kartini 21 April ini adalah momentum bersejarah yang sangat nyata bahwa emansipasi perempuan Indonesia saat ini telah berjalan sesuai dengan perjuangan RA Kartini yaitu agar Perempuan Indonesia mampu bersaing untuk menghasilkan suatu karya. Akan tetapi bentuk dari emansipasi itu tidak boleh dijadikan kedok kebebasan yang sebebas-bebasnya oleh para perempuan Indonesia pada masa sekarang. Perempuan Indonesia harus mampu menyaring pola kebudayaan yang telah masuk dalam semua aspek kehidupan, peradaban dan pola kehidupan masyarakat Indonesia, dan juga harus tetap mentaati semua aturan-aturan agama dan masyarakat. Hal inilah yang mendorong perempuan Indonesia dituntut untuk harus bisa berpikir dan bertindak secara rasional. Jangan sampai emansipasi itu menjadi boomerang yang mematikan peranan fitriah perempuan itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Untuk semua perempuan Indonesia, mari kita lanjutkan semangat perjuangan RA Kartini dengan gerakan, karya dan kerja yang berkualitas dan bermanfaat untuk keluarga, agama, nusa dan bangsa Indonesia.

Iklan
Iklan