Oleh : Alesha Maryam
Pemerhati Masalah Sosial
Ibarat lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya, rakyat terus tertimpa kemalangan tiada bertepi. Setelah berjibaku dengan pandemi, kini rakyat dihadapkan pada masalah yang tidak kalah perih, yakni kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Per 1 April, pemerintah menaikan harga BBM jenis Pertamax dari Rp9.000 per liter menjadi Rp12.000–Rp13.000 per liter.
Kenaikan Pertamax dengan jumlah atau presentase besar menegaskan tata kelola migas yang sangat kapitalik, menimbang harga keekonomian (agar bisa ekspor) dan mengabaikan kemaslahatan umat. Bukan hanya Pertamax, pemerintah mengisyaratkan kenaikan harga Pertalite dan LPG 3 kg sebagaimana disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan pecan lalu. Meski belum diumumkan kapan akan naik, Luhut mengatakan kenaikan itu akan dilakukan bertahap. Di sisi lain, pemerintah berencana menyubsidi penuh harga Pertalite.
Apakah kebijakan menaikkan BBM dan subsidi Pertalite merupakan langkah bijak? Mengapa kenaikan harga BBM sering menjadi solusi seakan tidak ada pilihan lain?
Dampak Kenaikan Minyak Dunia?
Harga minyak dunia yang terus naik menjadi alasan pemerintah ikut menaikkan harga BBM. Menurut pemerintah, jika kenaikan BBM tidak dilakukan, hal itu akan memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan asumsi harga minyak dalam APBN sudah sangan jauh dengan harga minyak di lapangan.
Kenaikan BBM jenis Pertamax memang tidak secara langsung berimbas pada kenaikan harga-harga barang yang memerlukan distribusi menggunakan BBM bersubsidi. Namun, tingginya harga Pertamax akan berdampak pada migrasi masyarakat secara kolektif. Masyarakat menengah atas yang semula menggunakan Pertamax bisa beralih ke Pertalite, karena harga lebih murah dan disubsidi pemerintah. Dari sinilah masalah baru bisa muncul, permintaan terhadap Pertalite bisa meningkatkan sehingga berpotensi langka akibat ketersediaan Pertalite yang terbatas. Jika Pertalite terbatas dan langka, masyarakat pun “terpaksa” beralih ke Pertamax yang ketersediaannya selalu ada. Tidak pelak, hal ini dapat memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.
Pengamat Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menilai masyarakat jangan bergembira dulu dengan kebijakan penetapan Pertalite sebagai BBM bersubsidi. Pertalite akan bernasib sama seperti Premium, tiba-tiba hilang di pasaran karena Pemerintah tidak kunjung membayarkan utangnya ke Pertamina. Pola yang terjadi terhadap Premium itu rentan terulang di Pertalite. Meskipun harganya murah, seiring kenaikan harga minyak dunia, Pertalite berpotensi menjadi langka dan akhirnya publik terpaksa membeli BBM nonsubsidi yang jauh lebih mahal.
Makin Kapitalistik
Penyesuaian harga Pertamax yang mengikuti harga keekonomian dunia makin menegaskan bahwa kebijakan pemerintah tunduk pada mekanisme pasar global. Negara hanya sebagai regulator yang mengikuti kepentingan kapitalisme global. Semua hajat publik terkapitalisasi dan terkelola dengan paradigma pasar bebas. Alhasil, pengelolaan BBM yang semestinya ada di tangan Negara pun tergadai. Dari hulu ke hilir, pengelolaannya banyak diserahkan kepada swasta. Meski saat ini Pertamina masih terlihat mendominasi sektor hilir, pada faktanya kilang-kilang minyak yang ada banyak dimiliki swasta.
Mahalnya BBM dan kelangkaannya sebenarnya bukan karena negeri ini miskin minyak. Akar masalahnya terletak pada paradigma dan visi misi tata kelola minyak yang sangat kapitalistik. Siapakah yang paling diuntungkan atas kenaikan BBM? Tentu saja swasta atau asing.
Oleh karenanya, perbedaan harga antara Pertamina (selaku BUMN) dann swasta, selisihnya tipis. Mau di SPBU swasta atau milik Negara, harga yang tertera mungkin tidak akan jauh berbeda.
Kelola dengan Islam
Dalam tinjauan syariat Islam, BBM adalah salah satu sumber daya alam milik umum karena jumlahnya yang terhitung masih melimpah dan masyarakat membutuhkannya. Dengan kata lain BBM adalah barang publik yang harus dikelola Negara demi maslahatan rakyat. Dengan demikian, Islam melarang pengelolaannya diserahkan kepada swasta atau asing. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Berserikatnya manusia dalam ketiga hal tersebut bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya sebagai suatu yang dibutuhkan orang banyak (komunitas) yang jika tidak ada, mereka akan berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya. Artinya, berserikatnya manusia itu karena posisi air, padang rumput, dan api sebagai fasilitas umum yang dibutuhkan secara bersama oleh suatu komunitas. (Al-Waie, 2019)
Dengan demikian, apapun yang memenuhi sifat sebagai fasilitas umum dan masyarakat membutuhkan dan memanfaatkannya secara bersama, pengelolaannya tidak boleh dikuasai individu, swasta, ataupun asing. Negaralah pihak yang bertanggung jawab atas pengelolaan harta milik umum tersebut.
Dalam hal minyak bumi, negara berkewajiban mengelola dan mendistribusikan hasilnya kepada masyarakat secara adil dan merata, serta tidak mengambil keuntungan dengan memperjualbelikannya kepada rakyat secara komersial. Kalaupun negara mengambil keuntungan, itu untuk menggantikan biaya produksi yang layak dan hasilnya dikembalikan lagi kepada rakyat dalam berbagai bentuk.
Dengan tata kelola minyak yang berlandaskan pada syariat Islam, negara akan mampu memenuhi bahan bakar dalam negeri untuk rakyat. Negara juga memberikan harga yang murah bahkan gratis. Dalam Islam, minyak bumi dan gas alam adalah harta milik umum yang pengelolaan dan ketersediaannya dikelola langsung oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.