Oleh : Ummu Wildan
Pemerhati Masalah Sosial
Jagat maya heboh setelah seorang influencer Indonesia mengundang penikmat hubungan ini di podcastnya. Mayoritas bereaksi kontra terhadap ide hubungan asmara sesama jenis yang ditutorialkan. Namun ada juga yang pro. Diantaranya adalah dengan alasan mereka tidak mengganggu siapapun dan yang penting mereka bahagia.
Siapapun pasti ingin bahagia, lintas budaya bahkan lintas agama. Berbagai cara pun ditempuh untuk meraihnya. Orang yang mengira bahagia itu ketika memiliki banyak harta akan menghabiskan banyak waktu dan tenaga agar bisa mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Orang yang mengira bahagia itu dengan bersama orang yang dicintai akan melakukan segala hal untuk bisa sehidup semati dengannya.
Namun tidak sedikit kenyataan berbicara sebaliknya. Kekayaan tak meniscayakan kebahagiaan. Qorun, lelaki terkaya yang pernah ada tak tenang tidurnya hingga ia pun harus mengunci rapat hartanya dalam bangunan yang kuncinya harus dipikul dengan bantuan orang lain. Begitupun jabatan tak menjanjikan ketenangan. Fir’aun tak lelap tidurnya. Ketakutan yang luar biasa menghantui sejak sebelum kelahiran Nabi Musa as. hingga Nabi Musa as. dewasa dan meruntuhkan kekuasaannya.
Rasa cinta antara manusia menuntut untuk dipenuhi. Termasuk juga yang dirasakan oleh penyuka sejenis. Yang tampak oleh netizen adalah kebahagiaan terpampang di wajah mereka. Netizen bisa melihat senyum mereka ketika menikah, berjoget India di depan suami, atau bahkan hal-hal kecil saat diwawancarai berdua. Namun apakah yang tampak di media sosial memang apa adanya atau sekedar pencitraan semata?
Ada beberapa hal yang perlu diketahui sebelum netizen memberikan komentar “yang penting mereka bahagia” kepada para pasangan sejenis. Netizen perlu memahami apakah kebahagiaan yang diperoleh adalah kebahagiaan hakiki atau semu. Ibarat orang kehausan yang melihat air, perlu diperhatikan apakah air yang akan digunakan untuk melepas dahaga adalah air laut atau air tawar. Bila yang dimaksud adalah air laut maka kehausan takkan pernah hilang dan malah penderitaan yang diperpanjang.
Para pelaku hubungan sesama jenis berada dalam situasi terancam secara kesehatan. Data medis menunjukkan bahwa hubungan mereka adalah perilaku seksual menyimpang yang mengancam kesehatan. Statistik penderita infeksi menular seksual, beragam jenis kanker, hingga HIV dan AIDS menunjukkan bahwa mereka berada pada posisi teratas orang yang berisiko terinfeksi.
Dari sudut pandang fitrahnya seorang manusia pasti mereka mengakui adanya Sang Pencipta. Namun di sisi lain mereka memandang rendah Tuhannya dengan klaim jiwa mereka terjebak di tubuh yang salah. Begitupun aturan agama yang mengharamkan hubungan mereka tak mereka hiraukan. Seolah-olah mereka lebih mengetahui hakikat makhluk ketimbang Sang Khaliq yang Maha Mengetahui.
Hubungan asmara sesama jenis sangat jelas berbahaya bagi manusia. Namun mereka dapat tumbuh subur dengan berlindung dibalik HAM. Disebutkan HAM adalah hak dan kebebasan fundamental bagi setiap orang tanpa memandang status apapun. Kebebasan berperilaku adalah salah satu kebebasan yang dijamin. Seseorang dibebaskan untuk berperilaku selama tidak mengganggu orang lain. Begitupun dalam hal perilaku seksual. Orang-orang dibebaskan berperilaku seksual selama ada persetujuan dari kedua belah pihak (sexual consent).
Ide-ide ini berseberangan dengan Islam. Setiap Muslim diwajibkan terikat pada hukum syara’. Setiap perbuatan memiliki ketentuan yang wajib ditaati. Ada yang berupa perintah. Ada pula yang berupa larangan. Setiap kepatuhan akan diganjar pahala. Setiap pelanggaran diganjar dosa. Namun tak cukup di situ, pelanggaran-pelanggaran tertentu mewajibkan hukuman yang ditegakkan di dunia agar hal tersebut tidak akan menjadi penyebab yang bersangkutan disiksa di neraka. Selain itu, hukuman itu akan mencegah orang-orang untuk melakukan pelanggaran serupa. Alhasil pelanggaran itu tidak akan bisa tumbuh subur mengingat ketegasan yang diberlakukan.
Sang Pencipta telah menetapkan hubungan asmara yang dihalalkan adalah antara lawan jenis dalam lembaga perkawinan yang sah. Dengan demikian kelestarian manusia akan selalu terjaga. Manusia akan terjaga regenerasinya. Begitupun dengan manusia yang saat ini ada akan tetap berada pada fitrahnya. Kesehatan fisik maupun mental terpelihara.
Hanya saja dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini, hubungan dengan Sang Pencipta dipinggirkan. Dia hanya dianggap berhak atas urusan akhirat saja, sementara manusia diberi hak menetapkan mana perkara yang boleh maupun tidak. Amerika Serikat saja yang dulunya melarang hubungan ini dan memandang pelaku mengidap penyakit, berubah haluan sejak 1994. Setelah tidak dianggap sebagai penyakit, pernikahan sejenis dianggap legal sejak 2015.
Penetapan larangan terhadap hubungan sesama jenis hanya mungkin bisa dilakukan dalam sistem Islam secara kaffah, dari sistem sosial, peradilan, bahkan hingga pemerintahan. Ketika suatu perbuatan diharamkan secara pasti maka tidak ada yang bisa merubahnya hingga hari kiamat. Selamanya hubungan asmara sesama jenis ini dilaknat dan pelaku dihukum sesuai dalil syara. Hukuman mati yang membayangi pelaku pun akan mencegah massifnya penularan penyakit ini. Begitupun keharaman menyetujui atau bahkan sekedar mendiamkan tidak akan berubah karena dalilnya jelas dari Al Quran dengan penunjukan yang pasti.
Jadi kaum Muslimin yang menginginkan agar hubungan ini tidak menjamur hendaknya memperjuangkan penerapan sistem Islam secara kaffah. Berharap pada sekularisme hanya akan menjauhkan panggang dari api.