Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Polemik Vaksin Booster Bagi Para Pemudik

×

Polemik Vaksin Booster Bagi Para Pemudik

Sebarkan artikel ini

Oleh : Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Remaja

Presiden RI, Joko Widodo menyatakan, umat Islam di Indonesia dapat kembali menjalankan shalat tarawih berjamaah di masjid dengan tetap menjalankan protokol kesehatan pencegahan penularan Covid-19. Selain itu, masyarakat juga dipersilakan untuk mudik lebaran namun dengan syarat telah mendapatkan vaksinasi dua dosis dan satu dosis penguat (booster).

Kalimantan Post

Pemerintah mengungkap sejumlah alasan pemberian vaksinasi dosis lanjutan atau booster menjadi salah satu syarat mudik lebaran 2022. Prasyarat itu kemudian menuai protes publik yang mulai membandingkan dengan syarat penonton gelaran Pertamina Grand Prix of Indonesia atau MotoGP Mandalika 2022 yang tidak perlu booster. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) lantas mengingatkan bahwa mudik merupakan aktivitas massal yang dilakukan puluhan jutaan orang di Indonesia secara bersamaan dalam waktu dekat.

“Karena mudik itu mobilitas yang bersamaan, bukan berkerumunannya,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Siti Nadia Tarmizi kepada CNN Indonesia.com, Kamis (24/3) malam. Nadia menambahkan, prasyarat vaksinasi diperketat lantaran pemberian vaksin terbukti mampu menekan laju penularan dimasyarakat baik di Indonesia maupun di Luar Negeri.

Adapun pada aktivitas mudik lebaran mendatang, Kemenkes telah mengumumkan bagi warga pemudik yang sudah menerima vaksin virus corona booster, maka tidak perlu melampirkan hasil negatif pemeriksaan Covid-19 saat melakukan perjalanan mudik. Sementara warga yang baru menerima vaksin dua dosis wajib melakukan pemeriksaan rapid test antigen, dan warga yang baru menerima vaksin Covid-19 satu dosis harus melampirkan hasil negatif Covid-19 dari tes PCR.

Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito menambahkan, pemberian vaksin booster juga mampu memberikan proteksi tambahan bagi warga yang berniat pulang kampung guna menemui orang tua yang merupakan kelompok rentan terhadap penularan Covid-19. “Pemerintah memberikan perhatian yang sama untuk meningkatkan cakupan vaksinasi booster di berbagai daerah agar kegiatan mobilitas masyarakat antar daerah termasuk mudik dapat aman Covid-19,” kata Wiku.

Sejumlah kritik juga datang dari para anggota dewan, seperti Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay yang menilai tidak semua pemudik bisa mendapatkan vaksinasi Covid-19 booster jelang Lebaran Idulfitri.

Saleh mengakui bahwa program vaksin booster sudah berjalan. Namun, menurutnya, penyuntikan vaksin booster ke masyarakat tidak bisa dilakukan secara bersamaan karena persoalan waktu dan kapasitas vaksinator di berbagai daerah yang terbatas.

Ia memandang, langkah pemerintah mengizinkan masyarakat untuk Lebaran Idulfitri 1443 Hijriah tahun ini merupakan kebijakan yang bagus. Nmaun demikian, di sisi lain, Saleh memandang, kebijakan tersebut perlu dibarengi dengan aspek kearifan, khususnya berkenaan dengan syarat vaksin booster. Menurutnya, syarat itu bisa menjadi persoalan publik, mengingat banyak masyarakat yang belum mendapat giliran untuk mendapatkan vaksin booster hingga saat ini.

Kebijakan yang mensyaratkan vaksin booster bagi pemudik memang terlihat kurang berkeadilan. Sementara, di sisi lain, pemerintah banyak melakukan kebijakan pelonggaran protokol Covid-19. Sebagai contoh, pemerintah membolehkan pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) bebas karantina bagi mereka yang sudah melakukan vaksinasi dosis kedua dan hasil tes PCR negatif. Mereka yang melakukan perjalanan luar negeri saja tidak disyaratkan wajib vaksin booster.

Baca Juga :  Gen Z Sadar Politik, Malah Diusik?

Padahal, pola perjalanan tidak jauh berbeda. Sama-sama mengandung faktor risiko penularan, tetapi perlakuan berbeda. Itulah sebagian opini yang mengemuka di ruang publik. Perhelatan perayaan lainnya begitu juga. Saat Natal, tahun baru, dan Imlek beberapa waktu lalu, pemerintah tidak menetapkan syarat vaksinasi booster. Masyarakat saat itu hanya diwajibkan menunjukkan aplikasi PeduliLindungi, kartu vaksin dosis lengkap, dan hasil negatif tes antigen.

Pengamat politik Fatma Sunardi menyatakan upaya mendorong kesetaraan vaksinasi global, termasuk vaksin booster, dalam kepemimpinan saat ini akan sulit diwujudkan. “Kesetaraan akses vaksin di level global akan sulit diwujudkan. Akibatnya, penanggulangan pandemi akan terhambat. Ini menunjukkan wajah buruk kepemimpinan kapitalisme global yang tidak hanya menyengsarakan, bahkan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan,” ujarnya kepada MNews, Sabtu (26/3/2022)

Hal ini ditegaskannya merespons pernyataan Menlu Retno Marsudi yang kembali menekankan pentingnya upaya untuk mendorong kesetaraan vaksinasi global saat memimpin pertemuan pertama COVAX Advance Market Commitment Engagement Group (AMC EG) di tahun 2022, Selasa (15/3) lalu. Fatma menjelaskan faktor utama penyebab terjadinya ketimpangan akses vaksin justru karena berkumpulnya sumber daya produksi vaksin di negara-negara maju.

“Negara-negara maju yang memiliki kapital besar sekaligus pusat produksi vaksin global telah menjadikan vaksin sebagai komoditas sekaligus alat diplomasi untuk melancarkan target-target ekonomi maupun politik mereka,” ulasnya. Apalagi, ia memaparkan, aroma bisnis vaksin global kuat membayangi distribusi vaksin. “Dampaknya negara-negara berkembang dan miskin menjadi terbatas dalam mengakses vaksin sehingga muncul ketimpangan vaksinasi,” urainya.

Fatma lantas mengutip pernyataan Representative of C20 Working Group Vaccine Access and Global Health Lutfiyah Hanim yang menjelaskan bahwa negara-negara maju memiliki capaian vaksinasi yang jauh lebih tinggi dari negara-negara berkembang. “Bahkan, kawasan Eropa dan Amerika Utara memiliki tingkat vaksinasi yang jauh dari kawasan Afrika,” katanya. Ia memperhatikan masalah ketimpangan akses vaksin ini bersifat struktural yang hanya bisa diselesaikan jika semua negara memiliki kemampuan manufaktur untuk memproduksi dan memenuhi vaksin sendiri.

Melihat pesatnya penyebaran Omicron, seyogianya kita tidak boleh sekadar memaksimalkan vaksinasi ketiga, apalagi yang mendapatkan vaksin ini pihak-pihak tertentu saja, tidak semua warga. Usaha yang paling tepat menangani masalah ini adalah dengan menutup rapat pintu penyebaran secara total. Pintu utama masuknya virus ini melalui pelaku perjalanan luar negeri, maka perlu upaya memberhentikan lalu-lalang dalam dan ke luar negeri.

Memang, kebijakan tegas ini akan berakibat buruk bagi ekonomi Indonesia. Apalagi pertumbuhan ekonomi negeri ini baru saja beranjak naik. Tentu keputusan penutupan total pintu ke dalam dan luar negeri adalah pilihan sulit. Belum lagi orientasi pemegang kebijakan masih sebatas kepentingan ekonomi. Namun, jika negeri ini ingin selamat dari serangan Omicron, pilihan keputusan itu sangat penting.

Inkonsistensi kebijakan dengan perlakuan berbeda terhadap jenis kerumunan akan menambah daftar panjang ketakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Secara tidak langsung, pemerintahlah yang sejatinya berkontribusi besar atas ketidakpatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan atau kebijakan yang berkaitan dengannya. Ini sebagai akibat dari sikap plin-plan dan inkonsistensi kebijakan dalam menanggulangi pandemi Covid-19.

Baca Juga :  Hukuman Bagi Pembunuh dan Koruptor

Vaksinasi adalah salah satu ikhtiar mencegah penularan Covid-19. Namun, konsistensi pemerintah dalam menegakkan aturan dan kebijakan protokol kesehatan juga menjadi salah satu faktor keberhasilan agar negeri ini bisa terbebas dari Covid-19. Jika pemerintah ingin masyarakat tidak mengabaikan protokol kesehatan, berikanlah contoh dan keteladanan yang baik dengan bersikap adil dan konsisten.

Jika pemegang kebijakan tidak segera mengambil sikap tegas, bukan tidak mungkin kejadian Covid-19 selama dua tahun itu akan terulang. Mengambil satu kebijakan, menutupi dengan kebijakan lain, begitu seterusnya. Ujung-ujungnya rakyat yang jadi korban. Andai penguasa dapat memahami bahwa rakyat adalah manusia dan amanah yang harus mereka jaga dan tidak layak menjadikan rakyat sebagai kelinci percobaan. Mereka adalah tanggung jawab yang akan dimintai pertanggungjawaban.

Abdullah bin Umar mengatakan bahwa Rasulullah SAW berkata, “Ketahuilah bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas mereka, seorang wanita pemimpin bagi rumah suaminya dan anaknya, dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang budak adalah pemimpin bagi harta tuannya, dan ia bertanggung jawab atasnya. Maka setiap dari kalian adalah adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR Abu Dawud).

Pemimpin yang sesungguhnya merupakan pemimpin yang benar-benar memberikan keteladanan pada rakyatnya dengan bersikap adil dan amanah. Pemimpin sejati adalah pemimpin yang menegakkan aturan tegas pada siapa saja tanpa melihat jabatan, status sosial, atau motif kepentingan.

Kita membutuhkan pemimpin betulan, bukan pemimpin kebetulan yang tidak dilandasi dengan kepemimpinan berkeadilan, mengabaikan hak-hak rakyatnya, serta membeda-bedakan perlakuan karena terjebak kepentingan politik atau ekonomi. Mengingat pentingnya kepemimpinan yang adil, Rasulullah saw. pernah berpesan,

“Orang-orang yang berbuat adil, nanti pada hari kiamat akan berada di atas mimbar cahaya di sisi Allah, yaitu mereka yang berbuat adil dalam hukum mereka, dalam keluarga mereka, dan terhadap apa-apa yang mereka urus.” (HR Ahmad, Muslim, dan Nasa’i)

Sikap adil juga mengindikasikan derajat ketakwaan bagi seorang hamba sebagaimana firman Allah SWT, “Dan berlaku adillah karena keadilan lebih dekat dengan takwa.” (QS Al-Maidah: 8).

Islam tidak akan mementingkan masalah ekonomi semata. Hal ini sebagaimana penyampaian Rasulullah SAW, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari).

Hadis itu jelas menyatakan bahwa keselamatan rakyat adalah hal paling utama. Oleh karena itu, pemimpin seharusnya mengambil kebijakan tepat. Jadi, seorang pemimpin tidak boleh mementingkan masalah ekonomi semata saat wabah sedang mengintai rakyat. Ekonomi bisa dicari, tetapi nyawa rakyat tidak bisa dibeli. Sosok pemimpin juga harus mengerahkan usaha sungguh-sungguh dalam menangani pandemi. Bukan hanya mengoptimalkan salah satu langkah saja, seperti hanya fokus pada vaksinasi, melainkan harus mementingkan segala aspek.

Iklan
Iklan